Para pelajar terlihat ‘memanen‘ ratusan kilogram sampah anorganik dari sawah (26/02/2016) di Subak Sembung, area persawahan yang kini jadi ekowisata di Kota Denpasar, Bali.
Persawahan yang berisi dominan padi dan sayuran ini sekilas bersih. Resik dan tertata karena saluran irigasi dirapikan. Namun dalam sejam saja puluhan pelajar ini mengumpulkan puluhan karung sampah mayoritas plastik. Bungkus makanan, botol minuman, sampai ban bekas.
Selain di tengah sawah, pematang, sampah plastik juga banyak ‘dipanen’ di saluran irigasi. Padahal area subak sekitar 100-an hektar ini relatif rajin dibersihkan dan dirawat karena masuk area ekowisata. Bagaimana dengan sawah-sawah lainnya?
Dahulu, ketika Bali masih punya banyak lahan hijau, warga menggunakan halaman belakang rumah (teba) untuk tempat pembuangan sampah. Itu pun nyaris semua produksi sampah adalah organik yang jadi pupuk untuk tanaman sekitarnya. Kini, halaman hijau hilang dan sampah dominan anorganik. Muncul lah banyak masalah.
Di hilir pun ada masalah besar. “Kami menunggu surat pemutusan PT NOEI dari provinsi. Mereka sudah gagal mengolah sampah di TPA jadi listrik,” kata Wisada, Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Denpasar.
PT Navigat Organic Energy Indonesia (PT. NOEI) menjadi satu-satunya investor pengolahan sampah di TPA Suwung, tempat pembuangan akhir terbesar di Bali. Empat Pemerintah daerah yakni Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita) membuat kerjasama penanganan sampah sejak 2007 lalu. Salah satu klausul adalah investor bisa mengolah sampah jadi listrik namun belum terpenuhi sesuai besaran yang dijanjikan.
Badan Pengelola Kebersihan wilayah Sarbagita mengatakan semua sampah dari Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan akan sepenuhnya bisa dimusnahkan pada 2012. Hal ini ditargetkan pengelola Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu (IPST) Sarbagita yang dikelola oleh PT. NOEI.
“Kami yakin jika gasifikasi sudah beroperasi, pada 2012 ditargetkan tidak ada sampah tersisa di TPA seperti yang menumpuk saat ini,” kata I Kadek Agus Adiana, Kepala Bidang Pengembangan Usaha Badan Pengelola Kebersihan Sarbagita (BPKS), kala itu pada 2011.
PBKS atau Public Private Partnership for Solid Waste Management ini dibentuk sebagai representasi pemerintah Bali untuk bekerja sama dengan pihak swasta dalam penanganan sampah di hilir.
Gasifikasi ini salah satu cara pengolahan yang digunakan di TPA Suwung selain pemisahan/klasifikasi manual dan sanitary landfill. Landfill mengambil gas metan dari tumpukan sampah lama. Tumpukan sampah ini ditutup dengan tanah untuk menghindari lepasnya gas metan yang sangat berbahaya bagi lingkungan.
Sementara gasifikasi adalah proses perubahan bahan bakar padat secara termokimia menjadi gas. Proses ini dipakai untuk menggerakkan gas engine sebagai pembangkit listrik. Ketika itu diyakini 500 ton sampah organik kering per hari akan musnah dan bisa menghasilkan listrik.
Pengoperasian IPST ini diresmikan pada 2007 bertepatan dengan diadakannya Konferensi PBB mengenai perubahan iklim (UNFCC) di Nusa Dua, Bali. Proyek ini juga tercatat sebagai proyek clean development mechanism (CDM) pertama dari Indonesia yang teregistrasi di PBB pada 2007. CDM ini adalah suatu mekanisme yang memberikan kesempatan terjadinya jual beli emisi penyebab gas rumah kaca.
Melalui CDM, negara berkembang akan mendapatkan keuntungan finansial dari upayanya mengurangi pelepasan gas rumah kaca ke udara. Gas metan dari sampah adalah gas yang dinilai paling berbahaya bagi lingkungan, karena itu pengolahan sampah mendapat prioritas dalam upaya mengurangi pemanasan global
Wisada yang mendampingi Walikota Denpasar IB Dharmawijaya Mantra saat diskusi peringatan hari sampah 2016 di Denpasar ini mengatakan pihaknya belum menentukan siapa atau apa teknologi penanganan sampah selanjutnya di TPA Suwung.
“Saya dua kali memadamkan kebakaran di TPA Suwung. Pengelola hanya ngambil gasifikasi, listrik tidak dapat dan limbah ke laut. Apa yang terbaik menuntaskan sampah ini?” tanyanya. Ia tertarik menggunakan teknologi yang baik untuk mengolah sampah seperti yang pernah dilihatnya di Jepang.
Menurut catatan DKP Denpasar, jumlah sampah Denpasar saja 1,3 juta meter kubik tiap tahun. Lebih dari 80% diangkut DKP ke TPA Suwung.
Kebanyakan berita soal peringatan hari sampah kemarin mungkin soal uji coba pengenaan biaya kresek di 22 Provinsi di Indonesia. Namun masalah sampah di hulu dan hilir makin mengkhawatirkan.
I Gusti Ngurah Surya Anaya, Direktur Bali Fokus, lembaga yang fokus pada penanganan limbah berbahaya mengingatkan agar teknologi baru yang akan digunakan di TPA Suwung nanti bukan insenerator yang malah menghasilkan dioksin, racun berbahaya. “Kita harus hati-hati membakar sampah,” ujarnya.
Dalam diskusi yang dihelat Kelompok Peduli Sampah (KPS) Bali ini belum disepakati apa strategi yang perlu diprioritaskan oleh Pemkot Denpasar. Walikota Denpasar menandatangani komitmen pengurangan dan mengelola sampah ini bersama dengan sejumlah komunitas dan lembaga lain yang hadir. KPS Bali diinisasi oleh sejumlah lembaga dan individu seperti Bali Fokus, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, Sloka Institute, Bank Sampah Bali Wastu, Yayasan Manikaya Kauci, dan Anom. Diharapkan meluas karena terbuka.
Pengelolaan sampah berbasis komunitas sudah berkembang namun masih ada sejumlah kendala. Beberapa desa sudah mulai mengelola sampah dengan cara pelayanan pengangkutan sampah berbasis banjar (seperti RT/RW) namun belum ada anggaran lain untuk pengelolaan lanjutan. Mereka berharap ada Peraturan Walikota yang mensyaratkan anggaran kebersihan dalam Anggaran Dana Desa (ADD).
Sementara itu juga ada puluhan bank sampah yang membeli sampah anorganik warga dengan menjadikannya tabungan. “Hampir tiap kecamatan ada bank sampah, tapi perlu terus didorong lebih banyak warga mau tukar sampahnya di sini jadi ada pendapatan untuk operasional dari selisih harga sampah ke pengepul besar,” ujar Riawati dari Bank Sampah Bali Wastu.
Di Ubud, Kabupaten Gianyar inisiatif pengelolaan sampah dilakukan Desa Padangtegal. Di sini ada hutan Monkey Forest yang terkenal dan menghasilkan pendapatan untuk desa yang sangat besar per tahunnya.
Dari penghasilan inilah usaha pengangkutan sampah dan pemilahannya dibiayai. Usaha seperti hotel, restoran, hotel, dan lainnya membayar sesuai jumlah sampah. Warga diwajibkan memilah sampah dari rumah atau membuat kompos sendiri. Namun yang terakhir ini belum berhasil.