,

Merayakan Hari Hidupan Liar Berarti Menyelamatkan Danau Limboto

Kamis, 3 Maret 2016, matahari terasa menyengat di jalanan Kota Gorontalo. Panas kian terik kala pohon-pohon habis ditebang. Sekumpulan orang mengadakan pertemuan di pesantren alam di Desa Bubohu, Bongo, Kecamatan Batudaa Pantai, Kabupaten Gorontalo.

Hari itu, tak banyak yang tahu bila setiap 3 Maret merupakan peringatan Hari Hidupan Liar Sedunia. Dan Gorontalo, sebagai salah satu daerah yang dilewati garis keramat Wallacea, dikarunai keanekaragaman hayati yang tinggi.

“Kita harus sebisa mungkin menghasilkan satu tujuan jelas guna melindungi hidupan liar di Gorontalo,” kata Danny Rogi, salah seorang di antara mereka.

“Wallacea menyimpan misteri kekayaan biodiversitas, dan hebatnya Gorontalo masuk dalam kawasan penting Wallace itu,” ujar Nur Syah Bone, anggota lainnya.

Kelompok ini menamakan diri Forum Biodiversitas Gorontalo. Latar belakang mereka berbeda, ada pemerhati satwa, pengamat burung, fotografer, pekerja sosial, pegawai negeri sipil, dan juga wartawan.

Mereka merayakan World Wildlife Day dengan menggelar dialog bertema satwa liar. Namun, kali ini khusus membahas penyelamatan satwa liar dan habitatnya yang ada di Danau Limboto. Sebab, danau bersejarah ini salah satu tujuan utama persinggahan burung-burung migran dari berbagai belahan dunia. Namun, kondisinya memprihatinkan lantaran diselimuti eceng gondok dan mengalami pendangkalan.

“Pihak-pihak yang terkait dengan Danau Limboto harus membuat regulasi mengenai pelarangan memelihara, menangkap, atau memburu satwa di Gorontalo. Pemerintah harus berani membuat lompatan kebijakan,” ujar Rosyid Azhar, fotografer di Gorontalo.

Iwan Hunowu dari Wildlife Conservation Society (WCS) mengatakan, Danau Limboto menjadi fokus pembahasan karena merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati yang tinggi seperti burung, ikan, herpetofauna, dan lainnya.

“Yang selama ini orang tahu, Limboto identik dengan ikan payangga yang mulai punah. Sebenarnya, danau ini favoritnya burung  migran karena ketersediaan pakan. Ini menjadi peluang ekowisata di Gorontalo untuk pengamatan burung liar. Gorontalo masuk lintasan terbang Jalur Asia Timur,” kata Iwan Hunowu.

“Apalagi dalam beberapa pertemuan, Gubernur Gorontalo selalu menyebut akan membuat pulau di tengah danau. Selain pemandangannya lebih baik, tujuannya juga agar satwa-satwa liar pindah ke pulau itu. Entah ini bergurau atau serius, namun upaya ini harus diantisipasi,” kata Debby Mano, salah satu wartawan di Gorontalo.

Catatan lainnya yang dihasilkan dalam diskusi adalah mengintensifkan komunikasi tentang pentingnya melestarikan biodiversitas Danau Limboto, dan menjadikan danau sebagai kawasan perlindungan satwa liar.

Ririn Hasan, penyuluh dari BKSDA Seksi Wilayah II Gorontalo yang ikut diskusi  mengatakan, pihaknya dalam waktu dekat akan menggelar sosialisasi ke sekolah-sekolah, khususnya ke tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD). “Kami sengaja mengedukasi pentingnya satwa bagi keseimbangan ekologi di Gorontalo, karena biasanya anak-anak usia dini didampingi orang tuanya.”

Iwan Hunowu menambahkan, pelibatan masyarakat sekitar danau juga penting untuk menjaga kelestariannya, yakni sebagai agen untuk melindungi satwa-satwa liar. Kegiatan semacam ini sudah diterapkan di Cagar Alam Tangkoko (Sulawesi Utara) atau di Puncak (Jawa Barat) untuk pengamatan burung raptor setiap tahun. “Belum lama ini, teridentifikasi sekitar 36 jenis burung migran, sebelumnya sekitar 10 sampai 14 jenis saja.”

Pemandangan Danau Limboto di pagi hari. Eceng gondok telah menyelimuti Danau Limboto hingga 70 persen. Foto: Christopel Paino

Permasalahan danau

Pada diskusi sebelumnya yang digelar Burung Indonesia dengan fotografer di Gorontalo tentang burung migran, mendapat tanggapan Fadly Alamri, dari Badan Lingkungan Hidup Gorontalo yang mengatakan, persoalan yang terjadi saat ini karena penegakan hukum yang tidak maksimal.

“Danau bersinggungan langsung dengan lima kecamatan yang didiami sekitar 2000-an orang. Sebagian besar tanah itu sudah bersertifikat yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).”

Untuk Provinsi Gorontalo, katanya, sudah terbentuk kelompok kerja (Pokja) tentang Danau Limboto. Satu hal yang saat ini dirancang adalah membuat zonasi danau dan jaring apung ramah lingkungan, mengatasi eceng gondok yang sudah 70 persen merambat dan menguasai danau, serta mengatasi problem sedimentasi. “Namun, persoalan yang tak kalah besar adalah masyarakat miskin di sekitar danau.”

Rahman Dako, pemerhati lingkungan di Gorontalo mengatakan, persoalan danau seharusnya dilihat dari hulu. Perkebunan sawit telah menguasai hutan yang ada di Kabupaten Gorontalo, yang aliran sungainya bermuara ke Danau Limboto. “Hutan di hulu sudah gundul. Ini persoalan utamanya.”

Berbagai upaya memang coba dilakukan untuk mengatasi persoalan Limboto, namun konflik kepentingan, baik di hulu maupun sekitar badan danau menyebabkan persoalan tak kunjung selesai. “Di hulu, adanya degradasi hutan yang tinggi serta izin galian C yang dikeluarkan di beberapa tempat. Sementara di pesisir, pengkaplingan dan penguasaan tanah oleh orang-orang tertentu masih terjadi, juga penggunaan jenis alat tangkap ikan yang merusak,” paparnya.

Daerah hulu Danau Limboto di Kecamatan Bongomeme, Kabupaten Gorontalo, yang mulai ditanami sawit. Foto: Christopel Paino
Daerah hulu Danau Limboto di Kecamatan Bongomeme, Kabupaten Gorontalo, yang mulai ditanami sawit. Foto: Christopel Paino
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,