, ,

LIPI Teliti Limbah Tandan Sawit jadi Plastik Ramah Lingkungan

Pemerintah berupaya mencari cara mengurangi sampah seperti menciptakan bioplastik atau plastik ramah lingkungan yang mampu terurai alami. Salah satu penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan, bioplastik dari tandan kosong sawit yang mudah terurai alami.

”Indonesia kaya bahan alam untuk kandungan polymer (unsur membuat plastik) seperti padi, tebu, sawit, jagung dan kentang,” kata Kepala Pusat Penelitian Kimia LIPI Agus Haryono, pekan lalu.

Pembuatan plastik dari tandan sawit ini diambil polyasam laktat (PLA). Proses fermentasi menggunakan mikroba.  Permukaan plastik memiliki unsur tak padat, katanya,  jadi bakteri mudah masuk dan memecah polimer hingga terdegradasi dan terurai.

Percobaan Agus memperlihatkan, plastik terkoyak dalam delapan minggu. ”Komposisi ini dapat diatur, rentang bisa dua tahun. Makin cepat, bahan alami bertambah.”

Meski ramah lingkungan, katanya, proses pembuatan plastik masih belum ramah bagi pemodal yang mau berbisnis. ”Harga masih mahal, delapan kali lipat plastik biasa.”  Namun, katanya, harga mahal karena pembuatan skala kecil. “Akan makin murah ketika permintaan plastik tinggi. Efesien perlu (produksi) skala besar,” kata Agus.

Penelitian ini masih proses. Bioplastik PLA masih kaku, tak lentur seperti plastik biasa. ”Masih bisa ditipiskan, bisa dikombinasikan dengan plasticizer alam agar lebih lembut,” katanya.

Plasticizer merupakan bahan sawit yang mampu menambah kelenturan dan lebih aman. Meski demiian, banyak plasticizer dari bahan kimia turunan phthalate. Phthalate ini mulai dilarang di berbagai negara seperti Uni-Eropa.

Bioplastik “biobased” LIPI ini berwarna coklat tua. ”Kita lagi cari cara warna alami yang mampu menembus warna itu, meski sulit.”

Tak hanya kantong plastik, katanya, bahan dasar ini, dapat dibuat berbagai bentuk, seperti penggaris, bahan kursi dan alat keseharian. Semua tergantung komposisi, misal, tempat makan harus kualitas foodgrade.

Standar plastik ramah lingkungan

Hingga kini, Indonesia, belum memiliki standar plastik ramah lingkungan. Masih banyak plastik di Indonesia tak berbasis bioplastik “biobased.”    Bioplastik, pun tak harus biodegradable ataupun compostable.

Ada beberapa istilah. Pertama, degradable, material akan terpotong-potong menjadi fragmen atau bagian lebih kecil. Kedua, biodegradable, material terpotong dikonsumsi mikroorganisme (bakteri dan jamur). Ketiga, compostable, material diolah profesional menjadi kompos. Keempat, recyclable, material dapat didaur ulang menjadi bahan berguna.

Agus mengatakan, masih terjadi perdebatan soal plastik terdegradasi. Ada pendapat mengatakan, plastik terdegradasi berarti mudah terurai menjadi serpihan kecil berukuran mikro (mikroplastik). Ada beranggapan, plastik harus bisa terurai menjadi gas dan oksigen.

Sampah serpihan kecil

Kebanyakan plastik di Indonesia, didesain menggunakan minyak bumi hingga masih ada sisa-sisa degradasi yakni mikroplastik.

Soal mikroplastik belum ada solusi. Unsur ini tak mampu terurai jadi terapung-apung di lautan. ”Indonesia itu penghasil mikroplastik terbesar nomor dua dunia,” kata Agus.

Padahal, pemakaian Indonesia per kapita 17 kg per tahun, di bawah Malaysia dan Singapura dengan pertumbuhan konsumsi 6-7% per tahun. Begitu juga Eropa cenderung lebih besar, 50-100 kg per tahun.

Mikroplastik merupakan serpihan berukuran kurang 0,5 mm. Ukuran ini seringkali menjadi konsumsi biota laut yang bisa masuk ke rantai makanan hingga ke tubuh manusia.

”Bahaya, bisa bereaksi terhadap protein tubuh dan bertahan lama.” Kondisi ini, katanya, bisa menyebabkan, kelamin ganda, pengurangan sperma dan karsinogenik.

Para peneliti LIPI yang memperlihatkan bioplastik dari tandan sawit. Foto: Febriana Arum
Para peneliti LIPI yang memperlihatkan bioplastik dari tandan sawit. Foto: Febriana Arum
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,