, ,

JPIK: Permendag Jadi Celah Broker Ekspor Kayu Pakai Nama Industri Kecil

Mungkin saking ‘ketakutan’ dengan sertifikasi kayu, talkshow soal SVLK di pameran furnitur internasional di Kemayoran, Jakarta, dibatalkan. Padahal, para pembicara sudah datang. Penyelenggara menyampaikan AMKRI keberatan ada talkshow ini.

Laporan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) menunjukkan, Permendag 89 tahun 2015 menjadi celah para broker kayu ekspor mengatasnamakan industri kecil menengah (IKM). Dampak lain, Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) license, yang semula efektif April 2016 menjadi terhambat.

Dinamisator JPIK Muhamad Kosar, mengatakan, sejak keluar akhir 2015, penggunaan Deklarasi Ekspor didominasi sekelompok kecil perusahaan anggota Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) yang tak terlihat sebagai IKM. “Justru menjadi pedagang hitam dan broker yang jelas mengeksploitasi celah yang disediakan Kemendag untuk menghindari kewajiban sertifikasi legalitas kayu,” katanya di Jakarta, Kamis (10/3/16).

Dalam laporan JPIK bertajuk “Celah Dalam Legalitas” itu memuat hasil studi kasus pada empat perusahaan pengguna DE terbesar di Jepara dan Semarang. Mereka CV V&V Logistic, CV Devi Fortuna, CV Greenwood International dan CV Rejeki Tirta Waskhita. Pemantauan pada 1-10 Desember 2015.

“Hasil pemantauan kami menunjukkan mereka mengaku IKM tapi di lokasi tak produksi. Justru menjual dokumen DE. Mengorganisir IKM yang akan ekspor,” katanya.

CV V&V Logistic di Puri Anjasmoro Tawangmas, Semarang menggunakan DE sepanjang Januari hingga November 2015 sebanyak 1.305. Ia sebenarnya merupakan IKM pemegang Eksportir Terdaftar Industri Kehutanan. Tujuan ekspor terbanyak ke Amerika Serikat dengan perusahaan pembeli terbesar Nadeau Corporation. Jenis komoditi kabinet, kursi serta lemari. Penelusuran JPIK menunjukkan perusahaan sama sekali tak membuat mebel.

“Berdasarkan informasi staf Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jateng, CV V&V Logistic tak terdaftar dalam database. Terindikasi tak memiliki Tanda Daftar Perusahaan,” katanya.

Kosar mengatakan, perusahaan ini mengatasnamakan IKM. Catatan ekspor mereka berbekal DE sangat tinggi mengindikasikan, perusahaan menjual DE pada industri lain yang belum memiliki izin ekspor.

“Di lapangan catatan kapasitas ekspor sangat besar. Lebih cocok sebagai broker. Mengorganisir IKM kecil, menjual DE mengatasnamakan mereka.”

Salah satu perusahaan terindikasi membeli dokumen DE pada CV V&V Logistic adalah PO Mahogny di Jepara. Mereka IKM mengolah bahan baku kayu. Catatan JPIK, PO Mahogny menggunakan DE CV V&V Logistic Agustus 2015.

“Padahal mereka sebetulnya wajib memperoduksi barang. Kami tak melihat memproduksi barang tapi menggunakan DE untuk mengekspor barang ke AS. Lokasi semacam rumah.”

Perusahaan lain yang diselidiki CV Greenwood International di Purwosari, Semarang. Perusahaan mengekspor kayu ke AS tetapi tak ditemukan produksi.

“CV Greenwood memegang ETPIK sebagai produsen. Harusnya memproduksi mebel. Justru menjual DE pada IKM lain,” katanya.

Perusahaan ini sepanjang Januari-November 2015, menggunakan DE 658 dokumen. Modus sama dengan CV V&V Logistic.

Begitu juga CV Rejeki Tirta Waskitha di Jepara. Sebelumnya, pernah mendapatkan sertifikat verifikasi legalitas kayu (SVLK) dari PT Equality Indonesia 10 April 2014. Pada Agustus dibekukan. Pada 16 Desember 2014 dicabut karena menyalahi V-legal. Ia pemegang ETPIK produsen, namun sama sekali tak produksi.

“Karena tak lagi mendapatkan V-legal, ekspor pakai DE. Ini menunjukkan perusahaan bermasalah juga pakai DE. Jadi celah perusahaan yang tak memenuhi peraturan berlaku.”

Menurut Kosar, Rejeki Tirta tak beroperasi lebih setahun tetapi tetap ekspor menggunakan DE hingga September 2015. Total pengiriman 305 kontainer dengan pasar utama AS.

“Ini menunjukkan Permendag memberi kemudahan kepada Rejeki Tirta terus ekspor dengan berbekal DE. Padahal gagal memenuhi persyaratan legalitas kayu.”

Begitu juga CV Devi Fortuna di Bawu Batealit, Jepara, memiliki ETPIK produsen. Sepanjang 2015, ekspor ke AS menggunakan DE 975. Kenyataan, Devi Fortuna tak beroperasi sejak 2011. Tak ada produksi tetapi tetap ekspor. Pengguna DE terbesar di Jepara.

“Menurut pengakuan pemilik Devi Fortuna Jafar Sodiq, dia memiliki kesepakatan dengan Tri Budi Cahyono. Kala itu perusahaan bangkrut dan memiliki tunggakan pajak Rp150 juta harus dibayar hingga November 2015.”

Dalam laporan disebutkan, Tri Budi Cahyono, pemilik CV Gading Makmur di Tahunan, Jepara. Dia menawarkan menjalankan Devi Fortuna dengan membayar tunggakan pajak. Padahal Gading Makmur sudah lama tak beroperasi. Tri tercatat pernah mengambilaih CV Ndet di Jepara.

“Jelas Permendag ini fundamental melemahkan SVLK di Indonesia. Kami meminta Kemendag segera merevisi,” ucap Kosar.

Permendag ini, katanya, justru tak menguntungkan IKM tetapi hanya kelompok kecil alias broker kayu.

“Kemendag, Kementerian Perindustrian dan KLHK harus segera review perizinan terhadap seluruh industri pengolahan kayu. Baik industri primer maupun lanjutan. Review perizinan juga eksportir non produsen,” katanya.

Dia meminta, pemerintah mempertegas komitmen dalam pemberantasan illegal logging dan illegal timber trade. “Pemerintah harus investigasi lebih lanjut dan menindak perusahaan-perusahaan itu.”

Bob Purba, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI) mengatakan, investigasi itu menunjukkan Permendag dimanfaatkan broker. Permendag itu, katanya, secara substansi lebih lemah dibandingkan peraturan-peraturan sebelumnya.

Penghapusan ETPIK tanpa penerapan SVLK, katanya, memicu eksportir industri kehutanan tak jelas bebas ekspor. Sebab tak ada instrumen pemeriksaan untuk menjamin legalitas.

Faith Doherty, Pimpinan kampanye hutan Environment Investigation Agency mengatakan, Permendag ini telah melanggar tujuan dan mekanisme SVLK, serta perjanjian kerjasama Uni Eropa dan Indonesia (VPA) yang dibangun lebih dari satu dekade. “Permendag ini harus segera direvisi.”

Andy Roby, perwakilan Kedutaan Besar Inggris mengapresiasi laporan JPIK. JPIK membuktikan SVLK kredibel. “Laporan pemantau independen menjadi bagian integral SVLK. Ini justru membuat buyer khusus Eropa percaya SVLK. Kita yakin memberikan FLEGT lisence bagi Indonesia,” di Jakarta, Minggu (13/3/16).

Agus Justianto, Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, temuan JPIK justru membuktikan SVLK banyak keuntungan karena ada tim pemantau independen di luar pemerintah.

“Karena itu informasi JPIK sangat baik untuk berikan gambaran benar dari situasi implementasi SVLK. Pihak lain bisa mendapatkan informasi berkembang dan netral.” Dia berharap, temuan ini jadi bahan perbaikan agar tak ada lagi hal deskruktif.

Nurlaila Nur Mahmud, Direktur Ekspor Kehutanan Kementerian Perdagangan, mengatakan, akan mempelajari temuan JPIK soal Permendag yang menjadi celah bagi broker kayu beraksi. Kementerian ini, katanya, akan membahas lebih lanjut termasuk turun ke lapangan.

Hutan-hutan dibuat untuk sawit. Kemana kayu-kayunya? Menteri LHK Siti Nurbaya, berulang mengatakan, illegal logging bertransformasi lewat pembukaan hutan-hutan buat sawit. Nah, dengan penghapusan kewajiban SVLK dari produk mebel kayu dan kerajinan, apa tak membuka pasar besar buat kayu ilegal jadi legal? Terlebih, temuan JPIK memperlihatkan, permendag dimanfaatkan para broker kayu. Foto: Greenpeace

AMKRI keberatan, talkshow SVLK Batal

Talkshow bertajuk “SVLK Tiket Menuju Flegt Licence” semula diselenggarakan di Indonesia International Furniture Expo batal sepihak oleh penyelenggara. Hal ini menuai protes keras Multistakeholders Forestry Programme (MFP) Fase III yang semula menjadi panitia.

“Kami memprotes keras atas perlakuan sewenang-wenang penyelenggara IFEX 2016, Dyandra Promosindo. Dia beralasan pembatalan karena hal internal. AMKRI menolak diadakan acara itu,” kata Direktur Program MFP Fase III Smita Notosusanto di Jakarta, Minggu (13/3/16). AMKRI, selaku pemilik event dengan event organizer (EO), Dyandra.

AMKRI getol menyuarakan penolakan SVLK. Dyandra Promosindo dianggap mengekor AMKRI yang anti SVLK.

Kala Mongabay datang ke JIexpo Kemayoran beberapa saat sebelum acara mulai, penyelenggara menyatakan acara batal. Alasannya, narasumber tak ada konfirmasi kehadiran. Padahal staf ahli KLHK Agus Justianto, Perwakilan Kedutaan Besar Inggris Andy Roby serta Direktur MFP3 Smita Notosusanto berada di lokasi.

Talkshow sudah tercantum dalam agenda IFEX 2016 yang diterbitkan Dyandra Promosindo. Dyandra menolak merinci alasan internal pembatalan talkshow. Dalam surat tertulis dan ditandatangani Sae Tangga Karim, hanya disebut karena faktor internal penyelenggara.

Tak mau kalah dengan pembatalan, MFP III tetap menggelar acara. Namun format berbeda. Puluhan wartawan hadir ditempatkan di ruang pers. Ruangan semula lokasi acara dikunci.

“Dyandra Promosindo menyampaikan pembatalan diminta AMKRI. AMKRI selalu beralasan SVLK memberatkan IKM Mebel. Faktanya 93% eksportir mebel Indonesia sudah memiliki SVLK,” katanya.

Dengan membatalkan ini, kata Smita, Dyandra Promosindo dan AMKRI tak pro legalitas kayu. “Kami harus beritahukan kepada buyer di Eropa bahwa IFEX tak pro legalitas kayu dan kelestarian hutan Indonesia.”

Andy Roby, perwakilan Kedutaan Besar Inggris terkejut dengan pembatalan. Dia meyayangkan ada pihak menolak SVLK. SVLK justru akan memberikan manfaat besar bagi Indonesia. Terlebih jika FLEGT lisence Uni Eropa berjalan. “Indonesia tinggal selangkah lagi mendominasi pasar Uni Eropa, sayang jika harus mengalami kemunduran,” katanya.

Agus Justianto, staf ahli KLHK mengatakan, ada pihak-pihak resisten dengan SVLK seharusnya dialog terbuka. “Kami ingin mendorong implementasi SVLK. Sekarang Indonesia pada tahap akhir negosiasi dengan Uni Eropa.”

KLHK, katanya, sejak awal mendorong dan membangun sistem SVLK untuk pemberantasan pembalakan liar. Juga mendorong sertifikasi kayu-kayu Indonesia dan negosiasi dengan negara lain agar kayu legal Indonesia diterima.

“Dari sisi apapun, SVLK memberikan benefit besar bagi Indonesia. Apalagi kita menghadapi era perdagangan bebas, kita harus memperhatikan kompetisi dengan negara lain. Negara lain juga sudah mengikuti jejak kita menerapkan SVLK,” katanya.

Maria Murliantini, Managing Director Sun Alliance Furniture mengatakan sangat terbantu dengan SVLK. Sebelum ber-SVLK dia tidak mengetahui manajemen yang baik dalam pengelolahan kayu.

“Terpenting, barang kami produksi lebih diminati pasar internasional terutama Eropa. Kita bisa mendapatkam buyer sangat potensial.”

Sebelum SVLK, katanya, harus merogoh kocek untuk proses due dillegent mencapai US$2.000 per shipment. Dengan proses dua sampai tiga minggu menunggu di pelabuhan. Itupun kalau lolos. “Sekarang tidak. Kami sudah mengantongi SVLK sejak 2013, kami mendapatkan buyer potensial. Harga juga meningkat.”

Pada Senin (14/3/16), Dyandra mengirimkan rilis kepada media soal pembatalan talkshow membahas SVLK di IFEX 2016. Daswar Marpaung, Direktur Dyandra & Co menjelaskan, pada Sabtu (12/3/16), di Anomali Cafe Jiexpo Kemayoran, terjadi pertemuan kondusif antara event organizer Dyandra, diwakili Direktur Daswar Marpaung dan General Manager Sae Tanangga Karim dengan MFP diwakili Widya, Julia dan tiga orang lain.

Dyandra menyampaikan seluruh aspek tanpa ada ditutup-tutupi. Posisi Dyandra sebagai EO, pelaksana pameran, sedang pemilik event, AMKRI. “Dengan posisi itu, EO statusnya harus tunduk pada kebijakan pemilik event. AMKRI menilai topik “SVLK, Ticket Menuju Flegt Licence” kurang tepat dan tak bijaksana di tengah-tengah pameran “Indonesia International Furniture Expo” (IFEX) 2016. Mengingat fokus IFEX temu pebisnis lokal dengan pembeli luar dan dalam negeri,” katanya.

Keberatan dari AMKRI, katanya, sebagai host sangat beralasan. Terlebih dalam setiap dokumen pemberitahuan Dyandra, selalu dicantumkan,” penyelenggara berhak mengganti topik bahasan, tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu.” Klausul ini dibuat, katanya, guna melindungi kepentingan klien yakni AMKRI dan visi-misi pameran.

Dyandra menawarkan kepada MFP mengganti topik yang tak kontroversial dan diterima host. Tawaran ditolak MFP. Dyandra menyampaikan permohonan maaf karena tak dapat mengakomodir topik itu.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,