Guna mencegah kebakaran hutan dan lahan gambut, pemerintah akan membuat sistem peringatan dini (early warning system) khusus gambut. “Kami bangun early warning tetapi lebih ke gambut. Kalau di atas tanah udah ada, kalau yang di bawah gambut belum, misal, berapa tinggi permukaan air gambut, berapa temperatur di bawah. Jadi nanti sistem itu akan diklopkan,” kata Nazir Foead, Kepala Badan Restorasi Gambut di Jakarta, pekan lalu.
Dia mengatakan, model ini sudah ada tetapi baru di Kalimantan Tengah, kerja sama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Universitas Palangkaraya dan Universita Hokkaido, Jepang.
Haris Gunawan, Deputi Litbang BRG ke Jepang, guna melihat kemungkinan aplikasi model ini di seluruh wilayah gambut di Indonesia. “Itu memantau tingkat kelembaban, tinggi muka air, temperatur, curah hujan dan lain-lain. Ini kita tertarik dan coba adopsi.”
Sistem yang ada di Kalteng itu, kata Nazir, server ada di Jepang. BRG sekaligus mengusahakan agar server di Indonesia. Kerjasama ini, katanya, dilakukan antara BRG, Kementerian Lingkungan Hidup dan BPPT. “Mungkin nanti yang pegang BPPT,” ucap Nazir.
Sebelum ini, BNPB dan KLHK sudah membangun sistem peringatan dini seperti melihat cuaca, angin, prediksi daerah mana terbakar.
Siti Nurbaya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menilai, aplikasi sistem ini bisa diterapkan di lapangan. “Sistem yang ada saat ini, kalau ada api dikejar lalu dimatikan. Masa’ mau begitu terus mengejar memadamkan, kita harus memiliki sistem lebih sistematis,” katanya.
KLHK pun perlu membuat instrumen lebih sistematis menindaklanjuti ini. ”Dalam dua tiga minggu ke depan bersama dengan Menko Polhukam, Menko Perekonomian dan World Bank mencoba develop sistem supaya strata pemerintahan aktif dan harus dipaksa dengan instrumen.”
Adapun instrumen itu, terkait alat-alat monitoring, sumber daya manusia yang masuk dalam satuan tugas pemadaman kebakaran. Langkah ini, katanya, masuk dalam taraf kabupaten hingga desa. ”Operasi terpadu jalan terus, sudah terfasilitasi.”
Siti menargetkan, instrumen ini selesai dalam satu-dua bulan kedepan. Pasalnya, Mei mulai memasuki kemarau.
Dia mengatakan, ada dua fokus utama dalam perbaikan sistem ini. Pertama, sistem monitoring dan penerapan, mengacu pada pembuat kebijakan yang harus diambil pemerintah daerah. Kedua, pemberdayaan masyarakat menjaga lahan dan hutan agar meminimalisir kebakaran. “Dengan pembangunan masyarakat mandiri seperti pembangunan kecamatan. Kita pakai aset sosial dan respon masyarakat,” katanya.
Kejar target
Sementara itu, kini BRG sedang bergegas mengerjakan berbagai hal guna memenuhi target restoratasi gambut, tahun ini sekitar 600.000 hektar. Sesuai Peraturan Presiden (Perpres), empat wilayah prioritas disiapkan, yakni Kabupaten Pulang Pisau (Kalteng), Kabupaten Meranti (Riau), Musi Banyuasin dan Ogan Komering Ilir (Sumatera Selatan). BRG daerah pun mulai proses pembentukan.
Myrna Safitri, Deputi Edukasi,Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG mengatakan, penilaian sedang berlangsung pada keempat kabupaten prioritas dengan melihat tingkat kerusakan gambut. “Data sudah ada tetapi tersebar, kami sedang mengumpulkan. Lalu identifikasi dengan desa-desa di situ, bagaimana kondisi sosial masyarakat, perangkat infrastruktur dan lain-lain,” katanya.
Tak hanya itu, katanya, BRG sedang pembuatan peta, sembari bikin rencana strategis (renstra) sekaligus bahasan pembentukan BRG di daerah. “Sedang siapkan organisasi di daerah yang akan dibentuk gubernur, sekaligus menggalang keterlibatan masyarakat dalam restorasi.”
BRG menargetkan, peta indikatif restorassi, selesai April. “Sebagian besar data pemerintah. Lalu konsultasi input dari pemerintah dan pakai data peta lain,” katanya.
Untuk renstra, ucap Myrna, target selesai Juni 2016. “Sembari kegiatan BRG di daerah dilakukan, kami punya kesempatan buat rapat dengan tim pengarah teknis, 14 Maret ini ada rapat koordinasi BRG dengan pemda di tujuh provinsi dengan sejumlah kementerian terkait di Manggala,” ujar dia.