Prasasti Talang Tuo merupakan prasasti Kerajaan Sriwijaya yang berisikan amanat kepada kita semua bagaimana cara menata lingkungan hidup yang berkesinambungan demi kemakmuran semua makhluk hidup. Dalam perkembangannya, kini amanat sakral tersebut telah menjadi spirit bagi Gerakan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di Sumatera Selatan.
Najib Asmani, Staf Khusus Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) Bidang Perubahan Iklim, usai deklarasi Gerakan Pengendalian Karhutla Sumatera Selatan di halaman Griya Agung, Jalan Demang Lebar Daun, Palembang, Senin pekan lalu menuturkan, isi Prasasti Talang Tuwo, kalau kita terjemahkan maknanya merupakan upaya restorasi terhadap hutan dan lahan gambut yang rusak. “Restorasi ini bertujuan agar bumi terjaga dan terciptanya kemakmuran semua makhluk hidup yang ada di dalamnya, untuk dunia dan akhirat.”
Prasasti Talang Tuo adalah peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang ditemukan oleh Residen Palembang Louis Constant Westenenk sekitar 17 November 1920 di Kaki Bukit Siguntang. Wilayah ini kini dikenal sebagai Taman Bukit Siguntang di Palembang. Prasasti ini, sekarang berada di Museum Nasional Indonesia dengan nomor inventaris D.145.p.
Bila dikaji dari teks yang dibuat tahun 684 masehi ini, amanat bukan hanya ditujukan kepada masyarakat Sumatera Selatan semata, melainkan juga masyarakat dunia, yang bila dilihat dari pengaruh Sriwijaya adalah Asia Tenggara.
Menurut Najib, ada beberapa tanaman yang dituliskan di prasasti beraksara Pallawa dan berbahasa Melayu sebanyak 14 baris itu. Misalnya, kelapa, pinang, aren, bambu, dan beragam pohon buah, hingga penataan saluran air. “Pola ini sudah dilakukan dan dipikirkan Sriwijaya saat hutan dan lahan gambut masih bagus. Ini amanat serius untuk kita semua.”
Sebelumnya, Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin mengatakan Gerakan Pengendalian Karhutla dijalankan dengan semangat Prasasti Talang Tuwo. Menurut Alex, semangat ini menunjukkan bila Pemerintah Sumsel tidak main-main menghadapi persoalan ini. “Ada ribuan relawan yang tergabung, mulai dari masyarakat, masyarakat peduli api, anggota TNI, Polri, BNPB, hingga jurnalis.”
Pembagian Miniatur Talang Tuwo
Secara simbolik, Alex Noerdin menyerahkan tiga miniatur Prasasti Talang Tuo kepada para pejuang yang bersedia mengatasi masalah karhutla. Selanjutnya, kajian terhadap Prasasti Talang Tuwo sehingga menjadi dasar gerakan lingkungan hidup di Sumatera Selatan ini dilakukan oleh sebuah tim yang dipimpin Najib Asmani.
Tim terdiri dari Nurhadi Rangkuti (arkeolog/Balar Palembang), Dr. Yenrizal (akademisi/UIN Raden Fatah Palembang), Dian Maulina (aktivis perempuan/akademisi), Dodi Suwandi R (seniman), serta Taufik Wijaya (Mongabay Indonesia).
Nurhadi Rangkuti, anggota tim menuturkan kajian lebih mendalam mengenai spirit Sriwijaya dalam menata lingkungan hidup akan dilakukan. Menurutnya, banyak pengetahuan masa lalu yang digali untuk diterapkan saat ini yang bukan hanya untuk masyarakat Sumsel semata, tapi juga bagi dunia. “Sriwijaya terbukti mampu memakmurkan rakyatnya dengan cara yang bijak yaitu menjaga dan menata lingkungan hidup.”
Forum jurnalis
Sekitar 22 jurnalis dari berbagai media cetak, elektronik, dan online di Palembang, juga telah membentuk forum bernama Forum Jurnalis Karhutlah Sumatera Selatan. Forum dibentuk setelah para jurnalis mengikuti “Workshop Jurnalis Karhutlah Sumsel” yang digelar Mongabay Indonesia, Pemerintah Sumsel dan UNDP-REDD+ yang digelar di Palembang, 5-7 Maret 2016 lalu.
“Sudah menjadi tugas kami memberitakan setiap peristiwa, termasuk masalah kebakaran hutan dan lahan gambut. Adanya forum diharapkan, pengetahuan masalah lingkungan hidup dan peta permasalahan yang terjadi dapat diketahui lebih pasti,” papar Muhammad Rasyidi Irfandi, Sekretaris Forum Jurnalis Karhutlah Sumsel, usai pelatihan, Senin (07/03/2016).