Mongabay Travel: Kojadoi, Pesona Jembatan Batu di Pulau Tanpa Kendaraan Bermotor

Dari puncak bukit batu cadas di sisi utara pulau terhampar panorama menakjubkan. Jembatan batu terlihat meliuk indah di tengah laut, rumah-rumah penduduk terlihat padat bersusun, bukit batu di ujung timur pulau hingga laut hijau dan biru di sekeliling pulau Kojadoi membuat mata seakan tak berkedip memandang.

Pulau Kojadoi merupakan satu dari 17 pulau yang berada di Kabupaten Sikka, Flores, NTT. Dari total tersebut, hanya delapan yang berpenghuni yaitu Kojadete, Dambilah, Sukun Pemana, Palue, Babi, Sukun, Pangabatang dan Kojadoi. Pulau Kojadoi sendiri memiliki panjang sekitar 300 meter dan lebar seratus meter saja.

Pulau ini dapat ditempuh setengah jam dari pelabuhan Laurens Say, Maumere dengan kapal cepat. Jika menggunakan kapal engkol, pulau ini membutuhkan waktu minimal dua jam pelayaran.

Hal unik yang ada di Kojadoi adalah jembatan batu sepanjang 680 meter yang menghubungkan dusun Kojagete di daratan sebelah utara dan dusun Kojadoi di Pulau Kojadoi, di sebelah selatannya. Jembatan ini terbuat dari campuran batu dan karang yang dibangun oleh TNI AD pada tahun 1979.

Dalam perjalanan waktu, warga bergotong royong secara swadaya menimbun jembatan ini dengan bantuan. Pada tahun 2014, Pemerintah Daerah Sikka memberikan bantuan untuk perbaikan jembatan unik ini.

Dari kejauhan saat air laut pasang, jembatan ini terlihat seperti garis sedikit melengkung yang menghubungkan pulau Kojagete dan Kojadoi. Dua buah bukit batu di utara dan selatan pulau ini terlihat mengapit sepenggal daratan rata di tengahnya.

Saat ini lebar jembatan telah memiliki lebar sekitar dua meter, dengan ketinggian hingga tiga meter. Dengan kondisi saat ini, warga Kojadoi dapat melintasi jembatan ini meski air laut sedang pasang.

“Seluruh fasilitas umum seperti puskesmas, sekolah, pasar dan kantor desa berada di dusun Kojagete di pulau Besar sehingga masyarakat mau tak mau harus melintasi jembatan ini,” jelas Hamusehen,  salah satu tokoh masyarakat Kojadoi kepada Mongabay.

Jembatan batu yang unik, yang menghubungkan antara pulau Kojadoi dengan Koja. Foto: Ebed de Rosary
Jembatan batu yang unik, yang menghubungkan antara pulau Kojadoi dengan Kojadete. Foto: Ebed de Rosary (atas dan bawah)

Jalan batu

Nama Pemberian Raja

Konon Kojadoi, nama pulau ini merupakan pemberian dari Raja Maumere. Kojadoi berasal dari dua kata dalam Bahasa Maumere, yaitu “Koja” yang berarti Kenari dan “Doi” yang berarti Kecil. Kojadoi berarti pulau Kenari Kecil karena di utaranya terdapat pulau Kojagete, pulau Kenari Besar.

Lebar tanah rata di pulau ini hanya sekitar 100 meter saja. Hal ini menyebabkan bangunan rumah pun dibuat bertingkat dua dengan konstruksi panggung. Rumah warga umumnya berdinding bambu dan kayu beratap seng. Untuk memudahkan mobilitas pemiliknya yang kebanyakan nelayan, di bawah panggung rumah yang menjorok ke laut, terdapat sampan yang digunakan oleh pemiliknya.

Penghuni Pulau Kojadoi bukan merupakan suku asli Sikka atau Flores. Semua penghuni pulau ini merupakan Suku Buton dari Sulawesi Tenggara yang umumnya beragama Islam. Semua lelakinya berprofesi sebagai nelayan, dan perempuannya mencari ikan atau kerang maupun sedikit berladang memanfaatkan lahan di Pulau Besar.

Menurut Hanawi, Kepala Desa Kojadoi di Kojadoi dihuni 448 kepala keluarga dengan lebih kurang 1.500 jiwa. Meski terlihat padat, namun terdapat dua jalan semen di pulau mungil ini, yaitu di sisi timur dan barat masing-masing dengan lebar sekitar 1,5 meter.

Untuk menambah penghasilan sehari-hari, para perempuan melakukan aktifitas menenun. Tak heran kalau siang hari suasana pulau cukup lengang dan hanya terdengar dentingan alat tenun.

Disaksikan Mongabay, hampir semua rumah terlihat kaum wanita sedang melakukan aktifitas menenun di kolong rumah panggung maupun di dalam rumah.

“Kain-kain tenun ini biasanya kami jual di Maumere. Biasanya paling cepat dalam seminggu kami bisa menghasilkan sebuah kain tenun,” tutur Halimah seorang penenun.

Selain melintasi jembatan batu yang dibangun dari batu karang, pengunjung pun dapat menikmati pemandangan matahari terbit (sunrise) dari atas bukit batu di sisi utara pulau serta berkeliling bukit di selatan pulau yang ditanami jagung dan vegetasi lain oleh warga.

Di Kojadoi pun, pengunjung pun dapat melihat sisa-sisa reruntuhan bangunan bekas gempa dan tsunami dahsyat yang menghantam Flores pada 12 Desember 1992. Beberapa puing masih dibiarkan tergeletak di pesisir pantai sebagai kenangan dahsyatnya tsunami yang melanda.

Satu lagi keunikan Kojadoi adalah tidak adanya kendaraan bermotor di tempat ini. Sinyal telepon selular pun hanya bisa ditangkap di bukit dan dermaga. Cocok bagi para wisatawan yang hendak melupakan keriuhan dunia modern sejenak.

“Banyak wisatawan yang mengunjungi pulau ini setelah snorkeling dan menyelam di pulau Pangabatang, selanjutnya mereka datang di Kojadoi untuk menikmati keindahan alam,” pungkas Hanawi.

Artikel yang diterbitkan oleh
,