,

Program Desa Peduli Api Fokus pada Pemberdayaan Masyarakat di Lahan Gambut

Program Desa Peduli Api (DPA) yang dicanangkan Pemerintah Sumatera Selatan yang didukung sejumlah pihak, bukan masuk dalam skema restorasi gambut seperti yang diinginkan Presiden Jokowi dengan membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG). “DPA lebih pada pemberdayaan masyarakat. Capacity building dan partisipasi masyarakat. Sementara restorasi gambut lebih pada perhutanan sosial,” kata Dr. Najib Asmani, staf khusus Gubernur Sumsel, Rabu (16/03/2016), menanggapi keinginan sejumlah pihak agar DPA mampu mendorong restorasi gambut.

“Gerakan DPA lebih pada sosial ekonomi masyarakat, dengan tujuan akhir tidak ada aktivitas pengrusakan atau pembakaran dan perambahan di lahan gambut, karena masyarakat yang menetap di lahan gambut hidup sejahtera,” kata Najib.

Program DPA ini merupakan peluang bagi semua pihak, khususnya perusahaan yang beraktivitas di lahan gambut, untuk membuktikan mereka mampu mensejahterakan masyarakat di sekitar konsesi, serta mampu bekerja sama dalam mengendalikan kerusakan atau kebakaran di lahan gambut.

“Saya percaya, jika semua pihak terlibat dan bekerja sama, kebakaran di lahan gambut tidak akan terjadi, dan perusahaan akan tenang beroperasi tanpa harus cemas dicabut izinnya atau diproses hukum,” ujar Najib.

Terkait dengan restorasi gambut, Nurhadi Rangkuti, pekerja budaya dan arkeolog, berharap gerakannya juga menggunakan pendekatan budaya. Masyarakat maupun perusahaan akan kian optimal mendukung upaya restorasi gambut, jika dilihat bukan sebatas fungsi ekologis, juga terkait dengan nilai-nilai budaya di masyarakat, termasuk soal keberadaan situs-situs sejarah yang harus dijaga.

Nurhadi menjelaskan wilayah gambut di pesisir timur Sumatera Selatan hingga ke Jambi, merupakan wilayah yang banyak ditemukan situs-situs proto Kerajaan Sriwijaya. Situs-situs tersebut menunjukkan adanya peradaban besar di wilayah pesisir timur sebelum lahirnya Kerajaan Sriwijaya. “Banyak temuan artefak menunjukkan adanya hubungan luas masyarakat setempat dengan dunia luar,” katanya.

Jika hal ini dibuktikan dan dijelaskan kepada masyarakat, maka restorasi gambut pasti berjalan di masyarakat. “Misalnya, mereka tidak mau mengelola lahan gambut karena mereka tahu ada situs proto Sriwijaya atau situs sejarah lainnya di sana,” ujar Nurhadi.

Harga jual getah karet yang terus menurun, mampukah mereka menahan diri tidak merambah atau membakar hutan? Foto: Berlian Pratama
Harga jual getah karet yang terus menurun, mampukah mereka menahan diri tidak merambah atau membakar hutan? Foto: Berlian Pratama

Sebagai informasi, ada 118 desa yang menjadi sasaran DPA. Sebanyak 96 desa berada di kawasan gambut. Desa ini tersebar di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) sebanyak 55 desa, Banyuasin (16 desa), Musi Banyuasin (Muba) dengan 25 desa. Pada 2015 lalu, kebakaran lahan gambut di wilayah 96 desa tersebut mencapai 377.333 hektare di Kabupaten OKI, 141.126 hektare (Banyuasin), dan 108.281 hektare (Muba).

Berdasarkan data yang dikeluarkan Pemerintah Sumatera Selatan pada 2016 sebagai pedoman gerakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutlah), semua desa yang mengalami kebakaran tersebut berada di sekitar perusahaan hutan tanaman industri (HTI), perkebunan sawit, perusahaan migas, dan hutan negara.

Desa di sekitar konsensi HTI tercatat: 13 desa (OKI), 3 desa (Muba), dan 1 desa (Banyuasin). Desa di sekitar konsesi perkebunan kelapa sawit: 15 desa (OKI), 10 desa (Muba), dan 12 desa (Banyuasin). Desa di sekitar HTI dan perkebunan kelapa sawit: 15 desa (OKI), 5 desa (Muba), dan 2 desa (Banyuasin).

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,