, , ,

Kakek Sadiman, Seorang Diri Hijaukan Bukit Gundul (Bagian 1)

Usia pria ini lebih 60 tahun, tetapi masih lincah kala beberapa waktu lalu diundang ke Jakarta untuk tapping di sebuah TV swasta. Untuk keperluan itu, dia harus berpidato.

Malam itu, dia mendapat penghargaan sebagai salah satu KickAndy Heroes bidang lingkungan, yang diserahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.

“Mbah, ini dihapalkan. Tidak persis sama, tidak apa-apa,” kata Yusanto kepada Sadiman, sembari memberikan secarik kertas konsep pidato.

Yusanto, keseharian guru SD Genengrejo. Selama ini dia menjadi penghubung Sadiman dengan “dunia luar.” Sadiman bukanlah pembaca koran, penikmat televisi, apalagi internet. Berbahasa Indonesiapun terbata-bata.

Waktu memberikan pidatopun tiba, sesuatu tak terduga terjadi. Usai memberi salam, dan mengucapkan terimakasih, tiba-tiba dia berkata pendek,” Lali (lupa).”

Sejurus sambil tetap tersenyum dan kembali melambaikan tangan dia turun panggung, diikuti keterkejutan orang-orang di studio. Tawa mereka pecah membahana.

Apakah Sadiman benar-benar lupa contekan pidato yang harus dihapalnya? Tampaknya dia  hanya tak terlalu suka banyak berbicara, lebih senang bekerja. Siti Nurbaya menyebut, pria  ini, seorang diri menanam 100 hektar bukit gundul dengan 11.000 pohon.

Saya berkesempatan menginap di rumahnya, Rabu (9/2/16). Dinding tanpa polesan cat, lantai semen ala kadar. Sebagian masih beralaskan tanah. Sadiman memperlihatkan catatan yang baru ditulis. Katanya, ada 500 keluarga dari 800-an nama warga yang mendapat air dari mata air kaki bukit. Semua itu dia hapal di luar kepala!

Bak penampung, sebelum air didistribusikan ke rumah warga di Desa Geneng. Foto: Nuswantoro
Bak penampung, sebelum air didistribusikan ke rumah warga di Desa Geneng. Foto: Nuswantoro

Impian Sadiman kecil

Tekad menghijaukan bukit gundul bermula ketika dia menyaksikan penebangan kayu hutan marak. Keprihatinan bertambah saat kebakaran hebat menghanguskan Bukit Gendol dan Ampyangan di desanya, Desa Geneng, Bulukerto, Wonogiri. Itu terjadi 1963.

Bukitpun gersang. Seingat dia, hanya tinggal dua petak tanah hijau di Bukit Kukusan dan Ampyangan, masing-masing 10 meter persegi.

“Saya berpikir, kapan ya hutan ini kembali hijau,” katanya. Kala itu,dia masih berumur 10 tahun.

Pohon besar langka, ditambah kebakaran hebat menyebabkan debit air merosot tajam. Untuk memperoleh air bersih, dia dan tetangga harus memikul dari sumber air berjarak sekitar 500 meter dari rumah.

“Mandi juga di sana, orang harus sabar mengantre. Tahun 1975-an masih seperti itu. Tahun 1980, ada bantuan pipa pemerintah yang mengalirkan air dari Bukit Gendol mendekat ke permukiman warga. Itupun sebagian warga masih harus mengangsu.”

Melihat kondisi ini, dia tak mau berpangku tangan. Tahun 1996, diam-diam mulai menanami bukit gersang itu seorang diri.

“Saya makin nekat ketika tahu sumber air tinggal sedikit itu diambil sebagian warga dekat bukit. Katanya hanya untuk air minum, ternyata untuk sawah. Saya geregetan, warga di bawah lalu dapat apa? Diminta digilir saja tidak mau,” katanya.

Dalam pemikiran Sadiman, tanaman yang tepat untuk bukit agar menghasilkan air adalah pohon berdaun lebat, berakar kuat, dan bergetah. Bukan pinus, atau cemara, seperti di lahan Perhutani.

Sadiman lantas memutuskan menanami bukit dengan ipik, loh, bulu, pre, terutama beringin. Selain kayu tak ditebang kecuali sebatas sebagai kayu bakar, tanah lembab hingga sulit terbakar.

Darimana ide ini? “Di satu lokasi ada dua pohon ipik, bawah bisa keluar air. Dibikin pancuran, cukup mengairi sawah milik dua orang,” katanya.

Hebatnya lagi, dia menanami lahan seluas itu terencana meski tak tertulis. Dia sengaja membagi dalam empat jalur. Sadiman hapal di lokasi mana saja menanam pohon-pohon itu. Diapun tahu lokasi pohon yang mati atau ditebang sengaja.

“Saya tanam 19 pohon di jalur tipe 1. Kini yang besar hanya tinggal dua. Sudah sepaha orang, ditebang,” katanya, sedikit geram.

Dari pengalaman, menanam beringin dalam satu kelompok sebanyak lima pohon menghasilkan air lebih deras dibanding satu kelompok berjumlah tiga pohon. Iapun lebih suka menanam pohon-pohon itu di lereng atau cekungan bukit dibanding tanah datar. Selain mencegah erosi, sumber air bisa segera muncul.

Sadiman memeluk pohon beringin yang dia tanam 20 tahun lalu. Foto: Nusawantoro
Sadiman memeluk pohon beringin yang dia tanam 20 tahun lalu. Foto: Nusawantoro

Dianggap gila    

Sadiman biasa memulai hari persis saat matahari menyembul dari Timur. Sinar menerpa punggung Perbukitan Bulukerto, juga dinding sisi timur rumahnya. Usai menyirami tanaman, dia lalu memberi makan kambing. Lalu berangkat ke hutan mencari rumput untuk kambing. Tak lupa dia membawa bibit pohon. Dia biasa pulang sekitar pukul 2.00 siang, atau sedikit sore kala harus menanam hingga titik terjauh. Saat musim hujan, dia pulang lebih cepat.

Menanami bukit dia lakukan tanpa diketahui istri dan kedua anaknya. Itu dilakukan selama 20 tahun. Karena tak tahu, istrinya sering membuang bibit-bibit beringin. Tak kehilangan akal, bibit beringinpun sengaja ditempatkan di pinggir jalan agar istri tak tahu saat Dia membawa ke hutan.

“Keluarga tak mendukung. Pohon beringin tak ada buah kok ditanam. Saya menanam beringin secara diam-diam. Kalau akhirnya istri tidak membuatkan teh, atau makan tak ada lauk, ya sabar saja,” katanya, terkekeh.

Selain mencari bibit beringin liar, Dia juga mencangkok, atau mendapatkan dari orang lain dengan menukarkan bibit cengkeh atau jati.

“Gara-gara ini saya juga dianggap gila. Bibit beringin tidak menghasilkan apa-apa ditukar cengkIh,” katanya.

Meski dikatakan gila, Dia tidak putus asa. Cemoohan dianggap angin lalu. Dengan tekun, dia terus menanam dan merawat pohon. Hasilnya, beringin generasi pertama sudah memiliki lingkar batang 2,5 meter. Airpun kini tak lagi sulit, bahkan musim kemarau sekalipun.

“Dulu cuma embes tangis (rembesan kecil), sekarang nggrojok (debit besar),” katanya, senang.

Dari hanya dua titik sumber air, kini lima titik sumber air berdebit besar. Belum lagi beberapa sumber air kecil.

Kini, Bukit Gendol dan Ampyangan, kembali hijau. Burung-burung yang sebelumnya menghilang kini mulai berdatangan kembali. Ada burung kutilang, burung hantu, ayam hutan, juga alap-alap (elang). Warga desapun senang. Mereka yang dulu mencemooh berbalik memuji.

Sariyanto, tetangga, mengakui air tak seperti dulu, kini mudah didapat.

“Sekarang mandi gampang, tanam apa saja di tegalan bisa karena air melimpah. Bisa ditanami padi, wortel, sayuran.”

Sadiman yang bersekolah hingga kelas satu STM itu menuturkan, apa yang dilakukan tanpa pamrih, dilandasi keinginan agar bisa bermanfaat buat orang lain.

“Kebutuhan sehari-hari yang tak putus itu ya air. Manfaatnya banyak sekali. Mereka yang memakai untuk air minum ada 800 keluarga. Kalau anggota keluarga ada lima orang sudah 4.000 orang memanfaatkan air dari bukit. Kalau setiap hari setiap orang 15 kali berurusan dengan air, itu sudah berapa? Begitu cara saya membayangkan manfaat air. Ini belum masuk ke sawah-sawah,” ucap Sadiman. (Bersambung)

Summer air dari bukit yang Sadiman hijaukan seorang diri. Foto: Nuswantoro
Summer air dari bukit yang Sadiman hijaukan seorang diri. Foto: Nuswantoro
Meski lanjut usia, Sadiman masih kuat memikul dua tumpuk rumput dan dedaunan. Foto: Nuswantoro
Meski lanjut usia, Sadiman masih kuat memikul dua tumpuk rumput dan dedaunan. Foto: Nuswantoro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,