,

Nestapa Hidup Biawak Tak Bertelinga

Kemunculan biawak tak bertelinga yang dijuluki fosil hidup, karena satwa seangkatannya sudah tidak ada lagi, tidak serta-merta membuat hidupnya aman. Meski berstatus dilindungi, nyatanya perburuan terhadap satwa langka ini tak kunjung berhenti.

 

Petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat mengeluarkan kadal bersisik dari wadah plastik putih transparan. Wadah tersebut sedianya tempat penganan. Tutup dan sekelilingnya dilubangi dengan cermat dan diberi tisu plus plester coklat.

Di wadah itu ada dua hingga tiga reptil yang tak lain adalah biawak tak bertelinga. Satwa dengan nama latin Lanthanotus borneensis atau Varanus borneensis yang merupakan hewan endemik Kalimantan. Total, ada 17 ekor yang di masukkan dalam enam kotak plastik tersebut.

BKSDA Kalbar menggagalkan upaya penyelundupan satwa langka tersebut di Bandara Internasional Supadio, Senin, 14 Maret 2016, sekitar pukul 16.30 WIB. “Ini penyelundupan kedua untuk dibawa ke luar negeri. Sebelumnya, warga Jerman tertangkap di Bandara Soekarno Hatta. Dia merekatkan hewan tersebut di sela paha, sehingga tidak terdeteksi saat melewati detektor logam,” kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Barat, Sustyo Iriyono.

Modus yang digunakan pengirim yang merupakan warga Kota Pontianak berinisial I tersebut, dengan memasukkan wadah-wadah plastik tersebut dalam kotak mie instan. Dalam dokumen, pengirim menuliskan isi mie adalah ‘Mie Ramin’. Tujuannya  Batam. “Mungkin karena di Jakarta pernah ketahuan,” ujar Sustyo.

Namun, Sustyo belum dapat memastikan apakah pengirim satwa ini, merupakan satu sindikat dengan warga Jerman yang tertangkap di Jakarta itu. Penyidik Pegawai Negeri Sipil BKSDA memerlukan waktu untuk mengusut lebih lanjut, siapa pemilik berinisial I tersebut, dan kaitannya dengan warga Jerman terdahulu.

Penggagalan penyelundupan sang fosil hidup kalimantan tersebut, kata Sustyo, tak lain karena kerja sama BKSDA dengan perusahaan jasa ekspedisi dan otoritas Bandara Supadio Pontianak. Satwa langka ini dilindungi Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

Tersangka nantinya dijerat pasal 21 ayat 2 huruf a dan c junto Pasal 40 ayat 2 Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. “Kini 17 biawak tersebut kami tempatkan di Kecamatan Toho, Kabupaten Mempawah. Sebuah tempat riset kecil, untuk sementara akan menampung makhluk nokturnal tersebut, sebelum dilepasliarkan.”

Dalam enam wadah plastik ini, si fosil hidup kalimantan coba diselundupkan dalam paket yang bertuliskan Mie Ramin. Foto: BKSDA Kalbar
Dalam enam wadah plastik ini, si fosil hidup kalimantan coba diselundupkan dalam paket yang bertuliskan Mie Ramin. Foto: BKSDA Kalbar

Dikembangbiakkan?

Sustyo mengatakan, hewan yang pertama kali ditemukan pada 1878 oleh Franz Steindachner (ahli zoologi asal Austria) ini mempunyai banyak peminat di Eropa. Harganya bisa mencapai 150 Euro. Kebanyakan para kolektor yang ingin menjadikannya sebagai satwa peliharaan. Walau langka, Sustyo mengatakan, hewan ini cukup memungkinkan untuk dikembangbiakkan. “Misalnya, keturunan F2 yang bisa dijual. Indukan yang berasal dari alam, tidak boleh,” katanya. Namun, wacana ini harus didukung payung hukum yang melindunginya dari ancaman perdagangan ilegal. Sustyo mencontohkan sebagaimana yang telah dilakukan pada arwana.

Manager Program Kalimantan Barat WWF Indonesia, Albertus Tjiu mengatakan, biawak tak bertelinga ini tergolong satwa purba. Terakhir kali, tercatat melalui pernyataan masyarakat berada di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Borneo Earless Monitor ini pernah ditemukan pada 30 Mei 2008 di bawah sampah daun dekat dengan sungai berbatu di daerah Landak, Kalimantan Barat. Secara viral, penampakan mahluk eksotis yang tubuhnya penuh gerigi tersebut marak dalam dua tahun terakhir. “Kita masih perlu banyak literasi mengenai satwa langka ini,” kata Albert.

Minimnya informasi mengenai mahluk ini menyebabkan belum banyak yang mengetahui populasinya di alam. Temuan 17 satwa yang hendak diselundupkan tersebut, kata Albert, merupakan kunci untuk melihat lebih jauh habitat dan jumlahnya “Para ahli menduga, habitatnya hanya ada di Serawak (Malaysia) dan Kalimantan Barat berdasarkan literatur yang ada di Sarawak Museum Journal tulisan Robert G. Sprackland, Jr (1970).”

Lanthanotus borneensis yang merupakan jenis nokturnal. Foto: Rahmadi Rahmad
Lanthanotus borneensis yang merupakan jenis nokturnal. Foto: Rahmadi Rahmad

Siaga

Terkait penyelundupan ini, Amir Hamidy, Kepala Laboratorium Herpetologi Bidang Zoologi Puslit Biologi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), sudah wanti-wanti. Ini dikarenakan permintaan dari luar negeri yang tinggi namun belum diimbangi dengan penegakan hukum yang maksimal. “Yang mengetahui biawak ini sebagai jenis dilindungi mungkin tidak semua masyarakat. Karena itu, informasi mengenai perlindungannya harus disampaikan.”

Amir menuturkan, yang repot diaturan kita, UU No 5 Tahun 1990 yang tengah direvisi,  adalah tidak adanya ketegasan. Harusnya, ada perbedaan hukum antara yang menyelundupkan satu ekor reptil dengan yang ratusan bahkan ribuan. “Kita harus siaga, karena dari dua penyelundupan yang terjadi, asalnya dari Kalimantan Barat. Ini sudah isu internasional, bukan lokal lagi.”

Penting untuk diketahui, Jerman, saat ini telah memiliki 23 pasang biawak tak bertelinga. Bila negara ini “berkonspirasi” dengan Malaysia dan Brunai Darussalam untuk mengusulkan status Lanthanotus borneensis naik ke Apendiks I dengan dalih sudah langka, waspadalah, di balik itu semua Jerman telah berhasil membiakkannya.

Selanjutnya, Jerman tinggal meregister saja ke Sekretariat CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) dengan mengatakan pembiakan yang mereka lakukan itu sukses. “Bila CITES mengakui, maka yang hanya bisa menjual biawak tak bertelinga hasil tangkaran nantinya hanya Jerman. Memang, dari sisi biawak ini sendiri akan ada perlindungan internasional. Namun, dari sisi politik, tentu saja Indonesia yang dirugikan, karena biawak kalimantan ini kekayaan hayati kita.”

Kadal tak bertelinga yang dijuluki fosil hidup. Foto: Rahmadi Rahmad
Biawak tak bertelinga yang dijuluki fosil hidup. Foto: Rahmadi Rahmad

Apa yang harus kita antisipasi? Bila Jerman coba usulkan statusnya ke Apendiks I, kita harus bersikeras, biawak ini tetap di Appendiks 3. “Apendiks I, artinya adalah tidak ada pemanenan dari alam, harus dari penangkaran yang teregistrasi dari Sekretariat CITES di Genewa, Swiss. Dan Jerman sangat mudah untuk mendapatkan lisensinya. Sedangkan Apendiks II dan III masih bisa dipanen dari alam.”

Menurut Amir, Indonesia memang telah menerapkan status perlindungan biawak tak bertelinga ini. Namun, dalam aturan perundangan tersebut, bisa juga sang biawak dimanfaatkan dari hasil breeding atau F2. “Bila dilihat, hidup biawak ini tidak terlalu sulit, kita bisa mempelajarinya untuk melakukan breeding. Namun, aturan resminya harus jelas, serta terdata penangkar dan tempatnya,” paparnya.

Sebagai informasi, sebelumnya pada 11 Oktober 2015, Holger Pelz, warga Jerman diamankan petugas Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, karena coba menyelundupkan 8 ekor biawak tak bertelinga. Pelz lolos dari pemeriksaan petugas di Bandara Supadio Pontianak namun ditangkap di Pintu 3, Terminal II keberangkatan ke luar negeri saat pemeriksaan x-ray.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,