, ,

Hutan Negeri Menanti Keseriusan Perbaikan Tata Kelola

Kala melintasi tepian hutan Sebangau, Kalimantan Tengah, November lalu, suasana hening. Tak ada kicauan burung, jangkrik atau binatang-binatang hutan lain. Panas terik serasa membakar kulit. Dari kejauhan tampak pepohonan kecoklatan, ada juga kehitam-hitaman dengan ranting-ranting polos. Ya, pepohonan itu hanya batang dan ranting, tanpa daun. Kebakaran hutan telah melenyapkan dedaunan maupun kehidupan di sana. Pohon-pohon itu mati, semati suasana sekitar.

Pemandangan itu, hanya satu titik di antara kebakaran hebat pada 2015. Lebih dua juta hektar lahan dan hutan terbakar tahun lalu, hingga menjadikan Indonesia jawara dunia penyumbang emisi karbon terbesar. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, kebakaran 2015 sampai Oktober, menghasilkan emisi 1,1 gigaton Co2. Angka fantastis.

“Hutan-hutan dinikmati banyak negara di dunia. Kursi-kursi di Jepang, Korea, Amerika, dan dunia sebagian dari hutan Indonesia. Karena berlebihan, hutan Indonesia gundul, timbullah bencana seperti ini,” kata Wakil Presiden, Jusuf Kalla, kala berbicara soal kebakaran hutan, akhir tahun lalu.

Pemerintah menyadari, bencana kebakaran buah kesalahan tata kelola hutan dan lahan oleh pemerintah di masa lalu. Izin-izin keluar buat penebangan hutan, perkebunan sampai proyek satu juta hektar sawah yang membabat hutan alam di lahan gambut Kalteng.

Di hutan Indonesia, ada konflik lahan antara pemerintah-warga, maupun antara warga-pengusaha. Warga yang hidup dari hutan, malah terancam. Hak kelola tak diakui negara, hutan bakal hilang berganti ‘bisnis’ menjanjikan. Izin-izin eksploitasi alam tumpang tindih bahkan, jutaan hektar hutan lindung dan konservasi berizin buat dikuras.

Pembabatan hutan ini terjadi dari buat perkebunan (mayoritas sawit), pertambangan, hutan tanaman (hutan-hutan alam berubah bentuk jadi kebun kayu) sampai pembalakan liar.

Satu contoh, hasil koordinasi dan supervisi bidang meneral dan batubara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilakukan pada 31 provinsi ditemukan izin-izin tambang di hutan lindung dan konservasi. Sebanyak 379 lokasi atau sekitar 1.372.398 hektar ada di hutan lindung. Lalu, 1.457 lokasi atau sekitar 4.936.877 hektar di hutan konservasi. Itu baru sektor pertambangan, belum perkebunan, hutan tanaman dan lain-lain.

Kebun sawit di Kalteng ini ada dari membabat hutan alam…Nasibmu hutan…Foto: Save Our Borneo

Tak pelak, kala kemarau terjadi kebakaran hutan dan kekeringan, datang musim penghujan, banjir dan longsor mendera. Kantung-kantung penyerap dan penyimpan air dari hutan dan gambut menyusut, krisis airpun mengintai.

Hari ini, 21 Maret diperingati sebagai Hari Hutan Internasional. Dengan penetapan itu diharapkan semua pihak menyadari arti penting hutan. Indonesia, sebagai negeri dengan hutan tropis ketiga terbesar di dunia, sudahkah menyadari arti penting hutan?

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, hutan Indonesia mempunyai peran strategis sebagai sistem penopang kehidupan. Ia harus direfleksikan dalam pengelolaan arif, berwawasan lingkungan, seimbang antara konservasi dan ekonomi termasuk mendukung kemandirian energi dan kedaulatan pangan.

Dia menyadari begitu banyak persoalan dalam kebijakan kehutanan masa lalu dengan segala risiko yang dirasakan saat ini.

Kini, pemerintah melakukan perbaikan tata kelola kehutanan dengan mendorong pengelolaan di tingkat tapak.

“Sekarang terus koreksi kebijakan. Dengan mempertimbangkan pemanfaatan dan upaya konservasi serta penyertaan keterlibatan masyarakat. Unsur penting koreksi keberpihakan,” katanya.
Selama ini, banyak gugatan masyarakat atas kawasan hutan. “Ini sangat kita perhatikan. Pelibatan masyarakat hukum adat konsen kita. Agenda kita menyesuaikan koreksi-koreksi yang sedang berjalan.”

Dalam konteks internasional, katanya, pemerintah konsen mengembangkan ekonomi rendah karbon dan ketahanan iklim. Caranya, ucap Siti, dengan mengatur kebijakan alokasi, penggunaan energi, juga produksi kayu dan non kayu.

Sisi penegakan hukum lingkungan dan kehutanan, Siti mengakui masih terseok-seok tetapi tak berhenti. Dia memberi contoh, dapat laporan dari Riau, telah menangkap 41 orang karena membakar hutan dan lahan. Di Jambi, sekitar 10 orang diamankan. “Upaya penegakan hukum sedang bekerja. Memang kendala banyak sekali.”

Siti berharap, dengan peringatan ini, menjadi momentum menyadari kembali manfaat hutan dalam menopang fungsi ekologi, sosial dan ekonomi.

Hutan gambut di Muntok, Bangka, yang mulai dibabat buat tambang timah. Foto: Sapariah Saturi
Hutan gambut di Muntok, Bangka, yang mulai dibabat buat tambang timah. Foto: Sapariah Saturi

Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal KLHK mengatakan, penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi kekuatan besar memperbaiki tata kelola kehutanan.
“Sesuai arahan Presiden kerja harus di tingkat tapak. Ini merupakan kesatuan pengelolaan hutan yang jadi perwakilan pusat, provinsi dan kabupaten,” katanya. Kini, sudah ada 250 KPH dengan target 400. “Mereka ujung tombak kita. Ini kita dorong.”

Bank air

Staf ahli Menteri LHK Agus Justianto bicara hubungan hutan dan pasokan air. Dia mengatakan, hutan dan aliran sungai menyediakan 75% air bersih. Sepertiga kota-kota besar di dunia, katanya, memperoleh air minum langsung dari hutan dan 80% penduduk dunia terancam kelangkaan air bersih. Hutan merupakan penyaring air alami.

“Saya melihat kelestarian hutan tak bisa ditawar. Peraturan di Indonesia sebenarnya cukup mampu menjawab persoalan. Tinggal bagaimana bisa menyeimbangkan fungsi bagi kebutuhan saat ini maupun akan datang,” katanya.

Dia mengatakan, banyak gerakan bermuara pada kelestarian hutan seperti mengarusutamakan ekonomi berkelanjutan. Semua mengarah pada upaya melestarikan hutan.

Senada dengan Efransjah, CEO WWF. Dia mengatakan, hutan terjaga akan mampu menjamin ketersediaan air. Kala hutan rusak, krisis pertama datang adalah soal ketersediaan air bersih, longsor, banjir dan lain-lain.

Selain itu, katanya, KLHK, seharusnya mengubah pikiran kalau hutan tak hanya berbicara kayu juga non kayu dan aspek keterlibatan serta kesejahteraan masyarakat. Kini, katanya, pelahan KLHK mulai berubah menuju ke arah ini.

“Kita lama sekali berjuang dan masih gamang mengubah fokus dari kayu ke jasa lingkungan. Ini upaya sangat penting.”

Satyawan Pudyatmoko, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan, jika ingin memelihara siklus hidrologi yang baik, hutan Indonesia masih perlu banyak pembenahan. Banyak kawasan yang semestinya daerah tangkapan air terutama di pegunungan dan karst rusak atau berubah dari hutan menjadi non hutan hingga krisis air.

“Seperti di Jawa makin parah. Apalagi kalau dikaitkan gejala perubahan iklim. Kalau mau bicara sesuai tema Hari Hutan Internasional ini, paling tidak di Jawa ada dua cadangan air besar. Pertama, fungsi hutan di pegunungan. Kedua, fungsi hutan di karst. Karst itu memliliki cadangan air begitu besar,” katanya.

Dia mengatakan, pegunungan Jawa seperti Dieng, Merapi, Merbabu, Sindoro, Sumbing, Lawang Mangu, Lawu, Bromo serta Semeru, banyak dikonversi menjadi tanaman pertanian yang tak sesuai. Belum lagi daerah aliran sungai banyak kritis.

“Karena konversi dan penggunaan lahan tak sesuai, hutan tidak baik. Defisit air cukup kritis. Itu harus segera dibenahi. Hutan-hutan terutama di wilayah karst untuk mengendalikan banjir, menyimpan air dan menjadi pengeluaran ketika kemarau harus terjaga.”

Mulut Goa Pancur di Kecamatan Kayen, Pati ini terancam hilang karena hadirnya pertambangan semen di Pegunungan Kendeng Utara. Pemerintah rela menukar guling hutan karst ke lokasi lain demi bisnis lancar walau keterancaman air mengintai…Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,