,

Ramai-Ramai Suarakan Perlindungan Yaki di Hari Macaca Internasional

Sekitar sepuluh organisasi konservasi Macaca di berbagai negara di dunia, pada Rabu (16/03/16), memperingati Hari Macaca Internasional (Macaque International Day) untuk pertama kalinya. Kegiatan itu dilatarbelakangi kecintaan dan kerja keras mereka dalam upaya pelestarian Macaca di seluruh dunia. Selain itu, lewat perayaan hari Macaca, mereka berharap berbagai pihak dapat mengetahui keistimewaan satwa jenis ini, sekaligus melibatkan diri dalam upaya pelestarian Macaca.

Di kota Bitung, Sulawesi Utara, Yayasan Selamatkan Yaki, membuka stand informasi di pasar Girian, membagikan 200 stiker berisi pesan penyelamatan yaki, talkshow radio serta presentasi di SD GMIM Kasawari, bersama Pendidikan Konservasi Tangkoko (PKT). Dalam kegiatan-kegiatan tersebut, mereka menjelaskan informasi mengenai status populasi, perlindungan dan ancaman yang sedang dihadapi yaki.

Dikatakan Prisilia Morley Loeijens, Education Assistant Yayasan Selamatkan Yaki, lewat kegiatan tersebut pihaknya ingin membangkitkan kesadaran masyarakat mengenai eksistensi Macaca, khususnya yang ada di Sulawesi Utara.

Menurut dia, sampai saat ini, yaki (Macaca nigra) masih diperhadapkan oleh sejumlah ancaman, mulai dari perburuan, perdagangan, dijadikan peliharaan maupun untuk dikonsumsi. Meski demikian, pihaknya masih melakukan penelitian sehubungan dengan angka pasti perburuan dan perdagangan yaki.

“Kami terima banyak laporan dari masyarakat, salah satunya setelah membuat dan menyebarkan protokol yaki. Frekuensi laporan itu berbeda. Ada yang sebulan pernah mendapat hingga 3 kali laporan,” kata Prissilia kepada Mongabay, Rabu (16/03/16).

Hari Macaca di SD GMIM Kasawari Bitung. Foto : Yayasan Selamatkan Yaki
Hari Macaca di SD GMIM Kasawari Bitung. Foto : Yayasan Selamatkan Yaki

Memang, sejak beberapa waktu silam, Yayasan Selamatkan Yaki telah mengeluarkan petunjuk bagi masyarakat ketika melihat yaki diperjualbelikan maupun dipelihara.

Dalam protokol itu disebutkan, ketika melihat yaki di pasar, masyarakat diminta untuk memotret dengan jelas daging atau yaki hidup dan penjual. Pengambilan gambar akan lebih baik jika menempatkan pedagang dan yaki dalam posisi bersebelahan.

Masyarakat juga diminta mencatat waktu dan tanggal penemuan, kuantitas yang dijual, rincian lokasi, termasuk data dan posisi di dalam pasar. Jika memungkinkan, masyarakat juga diminta untuk mencantumkan rincian penjual, termasuk nama dan tempat tinggal.

Poster protokol yaki. Sumber : Yayasan Selamatkan Yaki
Poster protokol yaki. Sumber : Yayasan Selamatkan Yaki

Sementara itu, ketika melihat yaki yang dijadikan peliharaan, Yayasan Selamatkan Yaki menghimbau kepada masyarakat untuk memotret secara jelas satwa tersebut. Kemudian, mencatat perkiraan umur, jenis kelamin, mengamati perilaku satwa, cara dipelihara, waktu dan tanggal penemuan, rincian lokasi, serta nama dan kontak pemilik.

Di saat bersamaan, dalam pengambilan gambar dan informasi, Yayasan Selamatkan Yaki juga memperingatkan masyarakat untuk menghindari situasi yang menempatkan mereka dalam keadaan berbahaya. Serta, mengupayakan pengumpulan informasi tanpa menarik perhatian. Sebab, disebutkan dalam protokol itu, segala resiko menjadi tanggung jawab pribadi.

Setelah mengikuti petunjuk tersebut, masyarakat diminta menghubungi pihak berwenang, semisal Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut, Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST) maupun Yayasan Selamatkan Yaki.

Prisillia melihat, dari tahun ke tahun, kesadaran masyarakat terkait pelestarian yaki sudah mulai terbangun. Lewat pengetahuan itu, masyarakat sudah bisa melibatkan diri secara langsung dalam kampanye dan topik-topik penyelamatan yaki.

Pengenalan Yaki di Pendidikan Formal

Cindy Samiadji, relawan di Pendidikan Konservasi Tangkoko (PKT) mengatakan, pendidikan formal bisa menjadi salah satu jalan yang cukup baik untuk menyampaikan pesan-pesan penyelamatan yaki. Sebab, menurut dia, lewat pendidikan di sekolah-sekolah, pengetahuan mengenai topik-topik konservasi akan bisa dikenal sejak dini.

PKT merupakan program pendidikan dari Macaca Nigra Projects (MNP). Slogan mereka adalah “Belajar dari Alam, Berbuat untuk Alam”. Awalnya, tahun 2011, pendidikan konservasi hanya pada sekolah di sekitar Cagar Alam Tangkoko. Kini, mereka mengadakan program pendidikan yang tersebar di kota Bitung, kabupaten Minahasa Utara hingga kota Manado.

Siswi di pasar Girian dalam rangka Hari Macaca Internasional. Foto : Yayasan Selamatkan Yaki
Siswi di pasar Girian dalam rangka Hari Macaca Internasional. Foto : Yayasan Selamatkan Yaki

Kepada siswa sekolah, PKT sering mengatakan bahwa yaki memiliki peranan menjaga hutan, sehingga dengan terjaganya hutan maka keberlangsungan hidup manusia juga dapat terjaga.

Menurut Cindy, lewat aktifitas pendidikan konservasi, para siswa telah mengetahui bahwa yaki adalah satwa dilindungi yang tidak boleh diburu, diperdagangkan, dikonsumsi maupun dipelihara. Lewat penyebaran pengetahuan itu, pihaknya menyakini, generasi penerus akan memiliki pengetahuan dan keterlibatan yang lebih baik dalam program-program konservasi, khususnya dalam pelestarian dan penyelamatan yaki.

Selain melalui proses belajar-mengajar formal, PKT juga menyampaikan pesan-pesan konservasi melalui musik, mengajak siswa-siswi membaca puisi dan memerankan teatrikal dengan topik penyelamatan yaki.

“Informasi harus dibagikan lewat berbagai sumber, misalnya pendidikan, seni dan berbagai media informasi lainnya. Sebab, lewat media tersebut, pesan-pesan penyelamatan yaki akan lebih mudah dicerna,” kata Cindy yang juga aktivis di Kaum Muda Pecinta Alam (KMPA) Tunas Hijau.

Ancaman Terhadap Populasi Yaki

Meski pesan-pesan penyelamatan yaki gencar disampaikan sejumlah pihak, namun ancaman terhadap satwa endemik Sulawesi utara ini, diyakini masih terus berlangsung. Stephan Miloyski Lentey, Field Station Manager Macaca Nigra Projects (MNP), mengatakan, laju kepunahan yaki sangat pesat. Sebab, dalam 40 tahun populasi monyet pantat merah itu merosot sekitar 80%.

Ia menilai,  penurunan populasi tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor. Misalnya, pertama, berkaitan dengan pola makan sejumlah orang di Sulawesi Utara. Stephan meyakini, ada semacam rantai hubungan antara perburuan, perdagangan dan konsumsi, yang menyebabkan kepunahan yaki lebih cepat dari macaca jenis lain.

Faktor kedua adalah perambahan hutan, dengan alasan legal maupun ilegal. Permasalahan ini, menurut Stephan, diperparah dengan alasan klise dalam hal penjagaan kawasan, semisal kekurangan personil dan dana. “Artinya, selama terus berputar pada masalah itu, pemerintah tidak akan berbuat apa-apa,” kata dia.

Peringatan Hari Macaca Internasional di Inggris. Foto : Yayasan Selamatkan Yaki
Peringatan Hari Macaca Internasional di Inggris. Foto : Yayasan Selamatkan Yaki

Stephan berharap, pesan-pesan yang disampaikan di hari macaca internasional ini dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Sebab, setengah dari Macaca yang ada di seluruh dunia, 12 di antaranya ada di Indonesia, dan 7 di Sulawesi. Yaki, Macaca nigra, hanya bisa ditemui di habitatnya secara langsung di Sulawesi Utara.

“Kekuatan BKSDA, sebagai pihak yang memiliki wewenang, harus didukung oleh seluruh masyarakat. Karena pengetahuan soal yaki maupun satwa liar lainnya tidak bisa dijelaskan secara sederhana. Makanya, perlu terus ada upaya pencerahan.”

Lambatnya Proses Hukum

Meski menghadapi pesatnya ancaman kepunahan, penegakan hukum terkait perburuan dan perdagangan yaki dirasa belum sesuai harapan. Billy Gustavianto, Staff Informasi dan Edukasi Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST), memberi contoh, kasus perburuan yaki yang diduga dilakukan oleh pemilik akun facebook bernama Devy Sondakh terbilang lambat penanganannya. Padahal, BKSDA Sulut telah melaporkan kasus tersebut sudah 1 tahun lebih.

Ia meyakini, jika kasus dugaan perburuan satwa dilindungi tersebut bisa diselesaikan, akan timbul presepsi positif dari masyarakat terkait upaya perlindungan satwa liar, khususnya yaki.

“Harapannya, jangan ada lagi kasus perburuan yaki, baik untuk diperdagangkan, dipelihara maupun dikonsumsi. Kita harusnya sadar, bahwa satwa ini dilindungi. Kedepannya, aparat diharapkan harus lebih tegas. Sehingga, selain penyebaran informasi, penegakan hukumnya juga harus jalan lebih baik,” demikian diharapkan Billy.

Diyakini, kendala penegakan hukum terkait kasus tersebut salah satunya berhubungan dengan penamaan yaki di PP No 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Dalam lampiran peraturan tersebut tidak dicantumkan Macaca nigra ataupun yaki sebagai satwa yang dilindungi.

Namun, menurut Stephan Lentey, untuk memahami PP No.7 tahun 1999, perlu pemahaman sejarah penamaan yang baik dan jeli. “Tiap makhluk punya nama ilmiah. Dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan maju lebih cepat dari pada penyusunan aturan di Indonesia. Cynopithecus niger dalam PP tersebut adalah nama lama dari Macaca nigra (yaki) dan Macaca nigrescens. Artinya, memburu  Macaca nigra atau yaki sama juga memburu Cynopithecus niger,” pungkas Stephan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,