Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dan kalangan akademisi serta LSM sepakat membuat terobosan baru di bidang perlindungan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Satwa purba seperti biawak tak bertelinga (Lanthanotus borneensis) menjadi salah satu inspirator bagi para pihak dalam merevisi Undang-Undang No 5 tahun 1990.
Hal ini terungkap dalam Rapat Konsultasi Publik Regional Kalimantan terkait penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, di Pontianak, Selasa (22/3/2016).
Nama Lanthanotus borneensis yang lebih dikenal dengan sebutan biawak tak bertelinga adalah satwa endemik Kalimantan. Di Kalimantan Barat, habitat satwa ini baru ditemukan di Kabupaten Landak dan Kapuas Hulu
Namun, Yayasan Titian Lestari menyebut habitat fosil hidup Kalimantan ini sudah mulai tergerus perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Landak. “Sebagian habitatnya sudah berubah fungsi menjadi kebun sawit,” kata Sulhani, Direktur Yayasan Titian Lestari di Pontianak, Rabu (23/3/2016).
RUU Perubahan UU No 5/1990, kata Sulhani, memang belum menjangkau sumber daya genetik. Padahal, ini merupakan potensi keanekaragaman hayati yang seharusnya menjadi obyek konservasi.
Manajer Program Kalimantan Barat WWF-Indonesia, Albertus Tjiu mengatakan, revisi UU/5 1990 ini menjadi bagian dari upaya semua pihak untuk menyempurnakannya. “Kita ambil contoh seperti Lanthanotus borneensis yang belum dapat porsi maksimal dari sisi perlindungannya,” katanya.
Padahal, jelas Albert, satwa ini endemik Kalimantan dan baru diketahui kembali keberadaannya di Kapuas sekitar 2014 lalu. Lanthanotus sudah dimasukkan ke dalam Bab Perlindungan Penyangga Kehidupan, khususnya pada pasal-pasal sumber daya genetik.
Pada Pasal 17 draft revisi UU No 5/1990 disebutkan, penetapan status perlindungan sumber daya genetik dilakukan dengan membuat daftar spesies target yang diprioritaskan bagi pelindungan sumber daya genetik. “Nah, di pasal ini kita usulkan Lanthanotus masuk menjadi salah satu sumber daya genetik penyangga kehidupan,” jelasnya.
Mendekati tiga dekade
UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya telah berumur 26 tahun. Awalnya, Undang-Undang ini pada awalnya mampu melindungi kawasan konservasi dan spesies yang dilindungi dengan cukup efektif.
Namun dalam perkembangannya, UU No. 5/1990 ini perlu disesuaikan kembali mengingat banyak perubahan yang telah terjadi dalam kurun waktu hampir tiga dekade.
Konflik sosial akibat penunjukan atau penetapan kawasan konservasi kerap terjadi. Demikian pula konflik antara manusia dengan satwa liar. Di sisi lain, UU ini belum mampu mengakomodasi pengakuan terhadap beberapa praktik dan inisiatif pengelolaan konservasi sumber daya alam di tingkat masyarakat berbasis kearifan lokal.
Staf Ahli Menteri Bidang Hubungan antar Lembaga, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ilyas Asaad mengatakan upaya revisi UU No 5/ 1990 ini telah diinisiasi sejak tahun 2003. “Akhirnya, DPR RI bersama KLHK menyepakati pada 2015 untuk memasukkannya ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2016,” katanya di Pontianak, Selasa (22/3/2016).
Untuk memudahkan perumusan revisi UU ini, kata Ilyas Asaad, KLHK telah membentuk tim penyusun RUU yang terdiri dari berbagai pihak. Tim penyusun RUU telah menghasilkan dokumen naskah akademik dan draft RUU tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem.
Draft naskah akademik tersebut tidak saja merupakan penyempurnaan dari UU No 5/1990 tetapi juga memasukkan substansi dari RUU Sumber Daya Genetik. Sejauh ini, tim penyusun telah melakukan serangkaian konsultasi publik di beberapa region, yaitu: Jawa (Jakarta), Sumatera (Medan), Sulawesi (Makasar) dan Papua (Jayapura).
Masukan dari masyarakat, baik dalam pelaksanaan konsultasi publik dan pasca kegiatan akan dijadikan sebagai bahan oleh Tim Penyusun RUU untuk menyempurnakan draft RUU tersebut.
“Konsultasi publik di region Kalimantan ini ditujukan dengan semangat yang sama, yakni mensosialisasikan dan mendapatkan masukan publik Kalimantan atas draf RUU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem,” kata Sustyo Iriyono, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Barat.
Menurutnya, langkah ini bertujuan memerkaya materi dan substansi RUU ini sebagai kontribusi dari berbagai pihak di Kalimantan, termasuk dalam upaya-upaya penegakan hukum terkait konservasi keragaman hayati dan ekosistemnya.
Konsultasi Publik diselenggarakan oleh KLHK, bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM), WWF-Indonesia, Fauna & Flora International (FFI) Indonesia Program, Yayasan Titian, dan GIZ-FORCLIME.