Palu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru diketuk sudah. Hakim Ketua H.A.S. Pudjoharsoyo menyatakan tiga pelaku perdagangan orangutan yang merupakan pesakitan di putusan sidang Selasa, 22 Maret 2016 itu, bersalah. Mereka melanggar Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, karena melakukan tindak pidana satwa liar.
Tiga pelaku ini ditangkap Ditreskrimsus-Polda Riau di Pekanbaru, 7 November 2015. Dari tangan mereka disita tiga bayi orangutan yang belum genap satu tahun asal Aceh Tamiang, Aceh. Ketiga bayi malang tersebut saat ini dititipkan di Pusat Karantina Orangutan-SOCP (Sumatran Orang Conservation Program) di Desa Batu Mbelin, Kecamatan Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara.
Dua terdakwa, Ali bin Ismail dan Awaluddin, dihukum penjara 2 tahun 5 bulan, subsider 3 bulan kurungan, dan denda Rp80 juta. Sedangkan Khairiroza bin Sofyan dihadiahi 2 tahun penjara, subsider 3 bulan kurungan, dan denda Rp80 juta.
Vonis ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan putusan tindak kejahatan satwa liar lainnya yang rata-rata satu tahun dalam sepuluh tahun terakhir di Riau. Kecuali, untuk empat pelaku pemburu gading gajah yang ditangkap Kepolisian Daerah Riau awal Februari 2015. Pengadilan Negeri Pangkalan Kerinci, Pelalawan, Riau, pada 21 Januari 2016, telah mengganjar para pemburu tersebut 2,5 tahun penjara dengan denda Rp20 juta.
Terhadap putusan tersebut, Wishnu Sukmantoro, Manajer Program Sumatera Tengah, WWF Indonesia mengapresiasi hukuman yang dijatuhkan hakim. “Tingginya angka perburuan dan perdagangan satwa liar di Indonesia, terutama Riau, sudah sepatutnya diimbangi penegakan hukum yang maksimal guna memberikan efek jera,” paparnya dalam pesan tertulis yang diterima Mongabay Indonesia, Rabu (23/3/2016).
Menurut Wisnu, WWF Indonesia bersama Koalisi Kebijakan Konservasi (Pokja Konservasi) mendorong Revisi UU No 5/1990 agar dibahas dalam Prolegnas 2016. Ancaman hukuman yang rendah dalam UU tersebut merupakan kelemahan utama sulitnya mencegah perdagangan dan perburuan satwa liar dilindungi. “Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang tengah menggelar konsultasi publik rancangan Undang-Undang Perubahan UU No 5/1990 di beberapa tempat diharapkan dapat menghasilkan regulasi yang maksimal nantinya.”
Herry D. Susilo, Ketua Forum Orangutan Indonesia (FORINA) pun memberikan apresiasi atas vonis yang diatas rata-rata itu. Menurutnya, perburuan orangutan saat ini sungguh mengkhawatirkan karena sangat mengancam populasi orangutan yang ada. “Untuk mendapatkan satu bayi orangutan, pemburu biasanya membunuh sang induk karena mereka hidup dan bergelantungan di pepohonan.”
Herry menambahkan, di sisi lain, problem utama yang harus disikapi serius adalah tingkat kelahiran orangutan yang begitu rendah. Orangutan akan melahirkan anaknya setelah usia tujuh tahun dengan jarak kelahiran berikutnya sekitar delapan tahun. “Ini yang menyebabkan turunnya populasi orangutan akan begitu sulit untuk ditingkatkan. Karena itu, perlindungan populasi dan habitat orangutan harus tersu dilakukan.”
Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di Asia, sedangkan tiga kerabatnya yaitu gorila, simpanse, dan bonobo ada di Afrika. Diperkirakan, sekitar 20 ribu tahun lalu, orangutan tersebar di seluruh Asia Tenggara, dari ujung selatan Pulau Jawa hingga ujung utara Pegunungah Himalaya dan Tiongkok bagian selatan. Kini, 90 persen orangutan hanya ada di Indonesia yaitu di Sumatera dan Kalimantan, sementara sisanya ada di Sabah dan Sarawak, Malaysia.
Terkait persebaran orangutan saat ini, sebagaimana dikutip dari SRAK (Strategi dan Rencana Aksi Konservasi) Orangutan Indonesia 2007-2017, para ahli primata sepakat, orangutan yang hidup di Sumatera atau Pongo abelii merupakan jenis berbeda dengan yang ada di Kalimantan. Populasi orangutan sumatera terbesar tercatat ada di wilayah Leuser. Jumlahnya yang diperkirakan sekitar 6.500 individu membuat IUCN (International Union for Conservation of Nature) menetapkan statusnya Kritis (CR/Critically Endangered).