, , , ,

Begini Nasib Nelayan yang Bertetangga dengan Pembangkit Listrik Batubara di Cirebon

Siang itu, penghujung Februari. Panas terik. Gemuruh terdengar dari cerobong pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), PT Cirebon Energy Power, Cirebon, Jawa Tengah. Asap hitam pekat membumbung tinggi. Kontras dengan langit biru.

Beberapa nelayan tampak masih sibuk dengan aktivitas mereka. Ada yang memperbaiki jaring. Ada yang menyiapkan perahu kayu untuk berlayar malam hari. Sebagian bercanda gurau di balai bambu persis samping dermaga. Puluhan perahu nelayan bersandar di tepian sungai kecil. Lokasi itu terpaut hanya beberapa ratus meter dari pembangkit listrik batubara itu. Tepat di Desa Waruduwur, Kecamatan Mundu, Cirebon, Jawa Tengah.

“Bagaimana hasil tangkapan hari ini pak?” tanya saya.

“Saya melaut dari pukul 12.00 malam sampai siang hanya dapat lima kilogram. Cari ikan sekarang susah,” kata Tono, seorang nelayan. Dia memperlihatkan hasil tangkapan dalam ember. Asep juga serupa. Lelaki paruh baya itu merasa hasil tangkapan ikan kian berkurang. Mereka menduga pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) jadi penyebab.

“Sebelum ada PLTU, saya biasa cari kerang ijo di pesisir pantai. Sehari bisa dapat Rp200.000. Sekarang, sudah lama tak melaut. Kalau ada yang ngajak melaut ya ikut. Kalau gak ada ya sudah,” katanya lirih. Dia menanam kerang hijau di tengah laut tetapi hasil kurang memuaskan.

Roman mengatakan hal sama. Sejak PLTU Cirebon beroperasi 2012, perekonomian nelayan Cirebon turun drastis.

“Penghasilan di laut berkurang. Dulu di darat udang banyak. Sekarang, kami harus cari ikan sampai ke tengah laut. Bisa mencapai lima Km dari pantai,” katanya.

Namun mereka tak ada pilihan. Satu-satunya keahlian hanya melaut. Meski pendapatan berkurang, nelayan tetap dilakoni. Meski beberapa orang lain terpaksa menjadi TKI ke berbagai negara.

Hal lain mereka rasakan soal kesehatan. Menurut dia, banyak warga mengeluh sesak nafas. Beberapa anak tumbuh terhambat. Hawa panas makin terasa.

“Memang tak mengeluarkan bau, tapi tetap terasa. Batubara banyak menumpuk di jetty tempat bongkar muat hingga mencemari laut. Jadi ikan gak ada disana.”

PLTU batubara, berada di dekat pemukiman warga. Foto: Indra Nugraha
PLTU barubara, berada di dekat pemukiman warga. Foto: Indra Nugraha

Mencari ikan ke tengah laut, jarak jauh, hingga ongkos operasional perahu makin mahal. Jika melaut, dia setidaknya menyiapkan 15 liter solar. Itupun belum tentu dapat ikan banyak. Dulu, sekali melaut paling membutuhkan lima liter solar.

Aan Anwarudin, Direktur Eksekutif Rakyat Penyelamat Lingkungan mengatakan, dampak paling parah dari PLTU Cirebon dirasakan nelayan pinggiran. Mereka tak mempunyai perahu, hanya mengandalkan tangkapan ikan di pinggir pantai.

“Kalau nelayan yang mempunyai kapal mungkin gak begitu terasa. Meski ada juga dampak. Nelayan pinggiran yang tak mempunyai kapal terasa sekali. Kehidupan mereka makin sulit.”

PLTU Cirebon berkapasitas 1x 660 Mega Watt. Berada di lahan 100 hektar terletak 10 Km timur Kota Cirebon. Ada dua desa berdekatan dengan PLTU Cirebon, yakni Desa Kanci Kulon Kecamatan Astanajapura penduduk 6.349 jiwa dan Desa Waruduwur, Kecamatan Mundu, berpenduduk 4.051 jiwa, sebanyak 3.193 nelayan.

Kejayaan terasi rebon meredup

Cirebon, dulu terkenal dengan terasi rebon. Cerita kejayaan industri rumahan terasi rebon kini tinggal kenangan. Para perajin kesulitan mendapatkan udang rebon.

“Saya bikin terasi lima tahun terakhir. Biasa lumayan banyak. Mencari rebon mudah. Kalau pakai jaring, biasa 10-15Kg. Kalau lagi pasang, udang banyak bisa ratusan kg,” kata Kartina, perajin terasi rebon.

Sebelum ada PLTU, dia bisa memproduksi 100 terasi bulat per hari. Satu bulatan Rp10.000-RP12.000. Dalam tiga hari, biasa produksi terasi habis. Meski pemasaran hanya di sekeliling kampung. Tak jarang ada pengepul datang membeli terasi udang rebon. Kini, sehari hanya produksi 10 bulatan. “Bahan baku udang rebon susah.”

Terasi udang rebon buatan warga Kanci terkenal berkualitas bagus. Tanpa bahan kimia. Udang rebon dijemur seharian sampai benar-benar kering. Setelah itu ditumbuk lalu dicetak menggunakan tangan. “Tanpa bahan pengawet, juga pewarna.”

Kartina sedang membuat terasi rebon. Sejak PLTU ada, udang rebon susah didapat. Usaha bikin terasi inipun meredup. Foto: Indra Nugraha
Kartina sedang membuat terasi rebon. Sejak PLTU ada, udang rebon susah didapat. Usaha bikin terasi inipun meredup. Foto: Indra Nugraha

Protes PLTU II

Belakangan, warga resah dengan rencana pembangunan PLTU Cirebon II. Betapa tidak, dengan PLTU sekarang saja, tangkapan ikan berkurang drastis, belum lagi soal kesehatan. Mereka khawatir, PLTU unit dua yang bersebelahan dengan PLTU sekarang, berdampak makin parah.

Kartina, perajin terasi rebon, khawatir dengan PLTU II membuat tangkapan udang makin berkurang. “Kalau PLTU II jadi otomatis saya kehilangan pekerjaan,” katanya.

Senada diucapkan nelayan Roman. Dia mengatakan, PLTU I sudah membuat nasib nelayan tak menentu. Apalagi jika PLTU II dibangun.

“Sebetulnya saya menolak tapi itu bukan tempat kita. Kalau bisa janganlah,” katanya.

PLTU II berkapasitas 1 x 1.000 MW, meliputi Desa Kanci Kulon dan Kanci, Kecamatan Astanajapura dan Waruduwur Kecamatan Mundu serta Astanamukti , Kecamatan Pangenan.

Semula target operasi 2019. Jika dibangun, PLTU ini akan jadi PLTU terbesar di Indonesia. Lahan milik Perum Perhutani.

Roman mengatakan, sejauh ini belum mendapatkan sosialisasi resmi perihal pembangunan PLTU II. Kabar yang beredar membuat mereka resah.

“Kecurigaan saya mereka akan membangun lebih dari satu unit. Bisa jadi empat. Karena lahan 249 hektar, sangat luas,” kata Aan, Direktur Eksekutif Rapel.

Sejauh ini, katanya, penolakan masyarakat terus terjadi. Dalam konsultasi publik terakhir, ada 16 nelayan hadir. Delapan menolak. Dia curiga nelayan yang diundang sudah disiapkan pengembang.

“Yang jelas, PLTU I berdampak buruk dirasakan masyarakat. Seperti Kanci Kulon semula mencari ikan, udang dan kerang-kerangan di pinggiran kini menjadi sulit.”

Belum lagi dampak kesehatan. Banyak kaum perempuan dan anak-anak terpapar ISPA, kualitas air menurun. Banyak warga mengeluh gatal-gatal. Meskipun, katanya, perlu penelitian lebih lanjut apakah dampak PLTU atau bukan. “Pemerintah harus segera mencari solusi terkait energi terbarukan. Stop penggunaan batubara dalam PLTU.”

Dwi Sawung, Walhi Jabar mengatakan, melalui kebijakan energi nasional 35.000 MW, Presiden Joko Widodo merencanakan PLTU II di Cirebon. Saat ini memasuki tahap persetujuan Amdal dan sosialisasi pembebasan tanah. Pembiayaan kontruksi PLTU II di Cirebon didanai Japan Banks for International Coorporation (JBIC’s)

Di Cirebon, katanya, banyak nelayan kecil kehilangan mata pencaharian karena wilayah tangkapan ikan tercemar. Pencemaran ini, membuat banyak jenis ikan tak terlihat di sekitar PLTU seperti kakap, bleanak, ketukang, sembilang, bandeng, udang dan keting.

Sedang pemerintah seolah membantah persoalan sosial, ekonomi, lingkungan dan kesehatan dampak operasi PLTU.

“Pembuangan limbah cair PT Cirebon Energy Power biasa malam hari pukul 12.00 sampai 1.00 dini hari. Pembuangan limbah rutin setiap 15 hari sekali melalui pipa, jika limbah itu dibuang bau sangat menyengat dan dikulit terasa perih dan gatal-gatal,” katanya.

Untuk mendapatkan bahan baku pembuatan garam warga mengaliri ladang menggunakan air sungai yang langsung terhubung dengan laut. Saat ini, debu dan limbah PLTU mencemari air laut hingga ladang garam menghitam.

“Berdasarkan dokumen hasil monitoring diketahui beberapa senyawa kimia organis seperti fenol, sulfat dan unsur logam berat seperti krom, cadmium, tembaga telah mencemari air laut. Pencemaran senyawa kimia dan logam berat juga diduga mencemari sumur-sumur warga,” katanya.
Mongabay berusaha mengkonfirmasi soal ini kepada PLTU. Berkali-kali menelepon dan berkirim pesan ke Yusuf Haryanto, Human Resources and CSR Manager PT CEP PLTU Kanci Cirebon, tetapi tak ada tanggapan.

Lahan hutan Perhutani, yang bakal dibangun PLTU unit II. Foto: Indra Nugraha
Lahan hutan Perhutani, yang bakal dibangun PLTU unit II. Foto: Indra Nugraha
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,