Saat sepeda motor melaju lambat dari Sorowako, Sulawesi Selatan, menuju tepi Danau Towuti, melintasi jembatan pabrik perusahaan nikel, PT Vale, bau belerang menyengat. Saya turunkan kaca helem melindungi mata dari debu.
Sekitar satu kilometer dari gerbang Kecamatan Towuti, berhenti sejenak mengagumi keindahan gunung. Tepat di hadapan Gunung Wawomeusa. Gunung ini seperti melindungi kampung. Menjaga sumber air dan mengalirkan ke beberapa sungai kecil. Memastikan irigasi pertanian tetap basah dan menciptakan proses kondensasi agar menurunkan gerimis setiap saat.
Ketika berada di Kampung Wawondula, pusat kecamatan dan membelakangi Wawomeusa, cerobong asap pembakaran biji nikel matte (nikel setengah jadi berbentuk pasir) membumbung keluar dari pabrik Vale.
Sisi lain, pemandangan hamparan bukit terbuka lebar. Tonggak-tonggak kayu berjejer tertancap di tanah merah. Persiapan lahan menanam merica.
“Hampir tak ada lagi hutan bisa kau dapatkan. Semua sudah dirambah jadi lahan merica,” kata Idawati. Idawati Syamsir adalah pendamping desa untuk pertanian berkelanjutan di Towuti.
Menuju Kampung Timampu, di Tepi Danau Towuti, saya bertemu penggarap lahan. Tanaman merica ada di belakang rumah, sekitar 500 pohon. Di bagian tengah lahan, lampu neon disiapkan dan kabel memanjang ke rumah dengan saklar di depan ruang tamu. Ini penerangan malam hari buat mengusir babi. “Babi tak makan, mungkin tertarik karena menggunakan pupuk kandang, dikira makanan,” katanya seraya tak ingin disebutkan nama.
Dia menunjukkan padangan berjarak beberapa puluh kilometer di hadapan kami ada pembukaan lahan baru. Dalam radius itu, sejatinya Wawomeusa dan beberapa bukit di sekitar dalam peta kehutanan Luwu Timur adalah hutan lindung. Kawasan sejatinya tak boleh digarap, harus dijaga.
“Itu dilarang pemerintah tapi orang-orang menggarap. Saya tahu ada beberapa aparat (polisi dan petugas kehutanan) juga punya lahan di tempat itu. Jadi kalau ada pemeriksaan, orang yang kerja untuk dia dan buka lahan disuruh keluar dulu. Setelah itu, baru dilanjutkan,” katanya.
Merica bak magnet, menarik kuat orang buat meminati. Satu kilogram kering harga Rp150.000. Di Desa Bantilang, desa seberang Danau Towuti, putaran uang mencapai miliaran rupiah sebulan.
Pada 2013, saya ikut rombongan Bupati Luwu Timur Andi Hatta Marakarma (mantan bupati dua periode hingga 2015), dia begitu bangga melihat keberhasilan masyarakat megelola merica. Dalam sambutan, dia mengingatkan untuk tak merambah hutan lindung.
Demam merica bak lepas kendali. “Dulu kita dikepung pembalakan liar. Sekarang pembukaan lahan. Saya kira membuka lahan jauh lebih jahat, karena semua tanaman kecil besar ditebang. Kalau pembalakan memilih pohon besar,” kata Idawati.
Demam merica, katanya, membuat orang-orang brmodal membuka lahan berhektar-hektar. Tak lagi menggunakan tenaga manusia utuh, tetapi membeli kendaraan alat berat untuk mengeruk tanah.
Unding, petani di Towuti, memiliki lahan ditanami sekitar 1.000 merica. Dia mengungkap hal serupa. “Saya mulai ketakutan kalau ke kebun dan melihat sekeliling, tak ada puncak bukit ditumbuhi pohon. Semua berganti patok kayu merica,” katanya.
Beberapa air sungai kecil mulai keruh karena membawa tanah. Pohon-pohon tak ada lagi. Air hujan langsung mengalir ke dataran rendah. “Saya sedih, liat gunung berubah warna. Jadi merah karena tanah kelihatan. Hitam karena pembakaran dan tanaman mengering,” kata Cici Liem, warga Towuti.
Pada 2013, ada kejadian mengagetkan warga di Wawondula. Jalan Ahmad Yani, air meluap dan menggenangi jalan, tinggi sekitar 20 sentimeter. “Itu baru hujan sedikit. Bagaimana jika hujan lama, semoga tidak longsor,” kata Unding.
Tampungan air
Saya melewati Danau Towuti. Danau seluas 561 kilometer persegi, kedua terluas di Indonesia setelah Toba. Ia berhubungan dengan Danau Matano, di bagian atas dan tengah Danau Mahalona. Tiga danau besar, Matano, Mahalona dan Towuti dan termasuk Danau Masapi oleh ahli Limonologi dikatakan sebagai Kompleks Danau Malili.
Kompleks danau ini laboratorium hidup untuk penelitian. Air berjaringan dengan baik, dari Matano, menuju Mahalona, lalu Towuti, dialirkan ke Sungai Larona menuju laut. Larona adalah sungai besar dengan tiga PLTA milik Vale.
Hulu Larona di Towuti. Aliran air jernih meliuk di belakang Gunung Wawomeusa. Panjang mencapai 60 kilometer–jika mengukur jarak Malili ke Towuti. Hulu inilah yang mengkhawatirkan. Erosi terjadi oleh pembukaan lahan.
Ketika berdiri di tepi Towuti dan menelusuri bagian selatan Matano, pohon-pohon berganti merica. Peisisir danau mulai ditutupi lumpur.
Amiruddin, petani dan pengusaha properti lokal mengatakan, pembukaan lahan tak selalu harus menyalahkan warga, juga perusahaan. “Dulu, air alami megalir dari masing-masing danau menuju sungai (Larona). Sekarang semua serba komersil, air diatur sedemikian rupa untuk PLTA,” katanya.
Amiruddin memperlihatkan saya gambar resolusi rendah di handphone-nya. Gambar itu, adalah Kampung Tole. Ada pohon beringin besar, dan beberapa nisan. “Ini kuburan orang tua kami. Dulu kuburan kakek saya hanya batu biasa, terus kami cor dengan semen. Ketika perusahaan buat pintu air di Petea, kuburan ini tenggelam. Untuk menjangkau harus pake perahu,” katanya.
“Kalau pintu Petea dibuka, air menggenangi sawah, sekitar 100 hektar. Ini sudah tak alami.”
Idawati mengusulkan solusi. “Saya kira kita harus duduk bersama meminimalkan pembukaan lahan tanpa melihat masa depan. Harus ada aturan pembatasan lahan. Kalau begini . kampung ini menuggu kerusakan.”