Mesat ngapung luhur jauh di awang – awang.
Meberkeun jangjangna bangun taya karingrang.
Kuku na ranggoas rejeng pamatukna ngeluk.
Ngapak mega bari hiberna tarik nguruyuk.
Itulah penggalan lirik manuk dadali, lagu daerah tatar Sunda. Lagu tersebut menggambarkan keistimewaan seekor manuk dadali yang menyerupai wujud garuda.
Burung garuda sendiri merupakan makhluk mitologi dalam kisah pewayangan. Banyak kisah dari berbagai versi menjelaskan tentang sosok tersebut. Menurut cerita Hindu – Budha, burung Garuda sering digunakan sebagai kendaraan para dewa, salah satunya dewa Wisnu.
Beberapa sumber menyebutkan, burung yang kemiripan sifat dan karakteristik dengan sosok mitologi burung garuda adalah elang Jawa. Karena itulah elang Jawa menjadi simbol negara Indonesia sebab menggambarkan keberanian, pengetahuan, keadilan, kebijaksanaan, kekuatan dan kemakmuran.
Elang Jawa (nisaetus bartelsi) merupakan salah satu satwa endemik Pulau Jawa yang hampir punah. Berdasarkan data yang dihimpun Mongabay, elang Jawa merupakan salah satu dari 75 spesies elang yang tersebar di seluruh Nusantara.
“Populasi elang Jawa di Jawa pada tahun 2010 sebanyak 325 pasang. Sebelumnya, tahun 2005 data menunjukkan ada 425 pasang. Sebetulnya kita belum me-review lagi. Tetapi dari data tersebut menunjukkan bahwa selama kurun waktu 5 tahun telah terjadi penurunan populasi cukup besar,” kata Kepala Pengelola Pusat Konservasi Elang Kamojang Zaini Rakhman di Garut.
Dia menuturkan ada beberapa faktor yang menyebabkan penurunan populasi elang Jawa. Dia menyebutkan populasi elang ini di Indonesia sekitar 600 ekor.
Perburuan dan Perdagangan
Permasalahan konservasi elang di Indonesa, lanjut Zaini, ada tiga. Pertama kerusakan habitat (pembukaan hutan dan lahan) . Kedua perburuan dan perdagangan atau pemeliharaan. Ketiga adalah penggunaan pestisida. Dia menambahkan, meskipun pengaruhnya kecil tetapi pihaknya menemukan beberapa kasus terkait pengaruh dari pestisida.
Jika dipersentasikan, kata Zaini 54 persen penurunan populasi elang disebabkan oleh maraknya perburuaan serta perdagangan, 42 persen akibat kerusakan habitat dan 4 persen sisinya pengaruh penggunaan pestidida.
” Yang paling tinggi sekarang adalah perburuan dan pemeliharaan. Dulu (2005) faktor kerusakan habitat cukup tinggi. Namun sejak tahun 2010, data saya menunjukan perburuan dan pemeliharaan dari tahun ke tahun malah makin meningkat,” ujar dia.
Padahal, menurut Zaini, elang Jawa merupakan tipikal satwa monogamus (hanya setia pada satu pasangan). Dia memaparkan pola perkembangbiakan elang Jawa cukup lama, hanya bertelur dua tahun sekali dan menghasilkan 1 – 2 telur saja.
Dia menuturkan daya jelajah elang Jawa idealnya berkisar 10 – 12 kilometer. Kemudian daerah teritorial (sarang) elang kata dia tidak lebih dari 1 kilometer. Dia melanjutkan semakin kecilnya daya jelajah elang, itu menunjukan bahwa habitatnya bagus dan kisaran umur elang 25 – 30 tahun di alam bebas.
Direhabitasi Untuk Dilepasliarkan
Sementara itu jumlah elang yang direhabilitasi di Pusat Konservasi Kamojang, kata dia, ada 42 ekor terdiri dari beberapa jenis elang diantaranya elang Jawa (Nisatus bartelis), elang laut (Haliaeetus leicogaster), elang bondol (Haliastur indus), elang ular (Spilornis cheela) dan elang brontok (Nisaetus cirrhatus).
Lebih lanjut dia mengatakan, elang yang berada di konservasi itu rata – rata hasil sitaan dan hasil penyerahan dari masyarakat.
Dia menjelaskan, pemerintah melalui Kementrian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (KLHK) dan Badan Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (BKSDAE) memiliki program IKU (indek kinerja utama) menargetkan populasi elang Jawa di alam bebas meningkatkan sebanyak 10 persen.
“Saya pikir ,ini begitu berat untuk meningkatkan populasi kalau misalnya perburuan dan perdagangan masih cukup tinggi. Makanya, kita membangun tempat koservasi elang. tujuannya untuk rehabilitasi elang dari perdagangan dan kepemilikan yang nantinya akan di lepasliarkan kembali,” ujarnya.
Penghobi Falconry
Selain ramainya perburuan burung di alam, kata Zaini, di Indonesia baru – baru ini menjamur hobi falconry atau pemeliharaan elang. Dia menjelaskan, memang ada negara – negara yang melegalkan untuk hobi tersebut.
“Seperti negara Korea, Jepang dan beberapa negara di Amerika dilegalkan. Kenapa bisa begitu? karena sumbernya (elang) juga legal hasil dari penangkaran. Nah, sekarang dimana sih penangkaran elang di Indonesia? engga ada toh? Terus falconer – falconer itu ngambil dari mana kalo tidak dari alam,” ungkapnya.
Memang falconry itu adalah budaya dan dilindungi UNESCO, kata Zaini, tetapi tidak semua budaya harus direfleksikan ke Indonesia. Harus ada kajian dampak positif dan negatifnya. Dia menjelaskan kontradiktif apabila pemerintah tidak menertibkan hobi ini.
“Hobi ini kian marak menurunkan populasi dan sumbernya pasti dari alam. Untuk melepasliarkan 1 ekor
elang saja, kita sulitnya minta ampun. Dilepas 1 sedangkan yang di tangkap di alam 10. Ini gimana toh?” ucap Zaini yang jga Direktur Raptor Indonesia (RAIN) dengan nada kesal.
Dia mengungkapkan ada beberapa jenis elang yang menjadi hewan peliharaan falconry, namun elang Jawa paling banyak diinginkan dipelihara karena prestise-nya yang tinggi. “Semua jenis elang di lindungi, sampai ada keputusan Presiden No.4 tahun 1993 menjadikan elang Jawa sebagai satwa nasional karena kelangkaan dan kemiripannya dengan garuda” katanya.
Berdasarkan data yang penah dirilis Mongabay, menyebutkan 2291 ekor elang dari 21 jenis diperdagangkan secara ilegal melalui internet sepanjang tahun 2015.
Menumbuhkan Kesadaran
Selain itu, Zaini menghimbau masyarakat yang memelihara elang agar diserahkan ke Pusat Konservasi Elang Kamojanguntuk direhabilitasi dan dilepasliarkan.
“Apresiasi masyarakat khususnya masyarakat Sunda mulai turun. Kini degradasi kearifan lokal masyarakat terhadap keberadaan elang sudah sangat kurang. Makanya, kita ingin mengembalikan itu kepada masyarakat lewat isu – isu tadi. Misalnya lewat ngamumule heulang (menjaga elang) supaya kesadaran masyarakat juga bisa meningkat dan keberadaan elang tetap ada agar ekosistem tetap lestari” paparnya.