Percepatan pengakuan wilayah adat dan perluasan kelola rakyat di Sulawesi Tengah memerlukan sinergitas para pihak baik pemerintah, organisasi masyarakat sipil maupun masyarakat. Selain itu, perlu integrasi kebijakan satu peta hingga pengambil kebijakan pada berbagai level mudah memahami wilayah masyarakat.
“Harapan kita terbangun komitmen pemerintah daerah, terutama kabupaten untuk mempercepat pengakuan wilayah adat, melalui peraturan daerah dan percepatan wilayah kelola rakyat dengan skema lain,” kata Direktur Yayasan Merah Putih, Amran Tambaru dalam Workshop “Membangun Sinergi Organisasi Masyarakat Sipil dan Para Pihak Mendorong Percepatan dan Pengakuan Wilayah Adat dan Perluasan Wilayah Kelola Rakyat di Sulawesi Tengah” di Palu, Senin (28/3/16).
Acara ini diselenggarakan JKPP, BRWA, Walhi dan AMAN berlangsung dua hari. Kegiatan ini agenda lanjutan untuk membangun paradigma baru dan kesepahaman bersama antarberbagai pihak guna percepatan pengakuan wilayah masyarakat adat dan kelola rakyat.
Amran mengatakan, perkembangan kerja pengakuan wilayah adat di Sulteng cenderung stagnan. Sejauh ini, katanya, baru ada dua peraturan daerah tentang pengakuan masyarakat adat di Kabupaten Morowali Utara dan Sigi Biromaru. “Perda ini tak bisa operasional karena terlalu umum, belum kongkrit pengakuan wilayah adat,” katanya.
Salah satu tantangan dihadapi aktivis masyarakat adat dalam mendorong regulasi pengakuan di daerah, katanya, belum ada sinergitas legislatif dan eksekutif. Seringkali, wacana pengakuan masyarakat adat menguat di legislatif justru buntu ketika di eksekutif. Seringkali, katanya, bupati memprioritaskan rancangan peraturan daerah pengakuan wilayah adat.
“Jadi perlu ada kesamaan paradigma karena biasa pemerintah daerah terjebak rujukan nasional, seperti RUU masyarakat adat sementara terus diusulkan. Padahal hampir semua UU secara sektoral memuat pengakuan masyarakat adat,” ucap Amran.
Andreas Lagimpu, tokoh dan pegiat masyarakat adat Sulteng mengungkapkan, tipologi masyarakat di kawasan hutan ada dua yaitu masyarakat adat dan lokal. Jadi, pendampingan masyarakat sekitar hutan mesti berbeda. Sejauh ini, ada kesalahapaman memaknai pengakuan wilayah adat karena tak disertai kemampun menunjukkan klaim wilayah dan hukum dalam internal masyarakat adat.
Secara internal, masyarakat adat harus bisa memastikan ketika tanah adat dikembalikan benar-benar terdapat instrumen dipatuhi atau masih berlaku. Hal ini penting, katanya, karena instrumen pengaturan internal pengakuan wilayah adat mesti jelas, mulai dari tanah individu, komunal, sampai penguasaan berbasis marga.
Andreas menegaskan, instrumen pengaturan internal penting guna memastikan pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat adat, benar-benar jawaban penyelesaian konflik agraria, bukan menambah masalah.
Serahkan peta wilayah adat
Ketua Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Nasional, Kasmita Widodo, menyerahkan simbolik peta wilayah adat Sulteng pada Ucik N. Sangkalia Staf Biro. Adm Pembangunan dan Sumberdaya Alam Sekretariat Daerah Sulteng. Peta swadaya partisipatif ini, terdiri dari 50 wilayah adat di Sulteng yang baru diusulkan. Menyusul pemetaan wilayah lain.
Kasmita menyampaikan, kini tugas para pihak bagaimana mengintegrasikan peta wilayah adat dan kelola rakyat agar menjadi rujukan bagi semua rencana pembangunan di Sulteng. Terlebih, kalau peta ini masuk Geoportal Sulteng, maka akan menjadi pengetahuan yang bisa diakses masyarakat.
Penyerahan disaksikan Kepala BRWA Sulteng Joisman Tanduru, Ketua AMAN sulteng, perwakilan instansi pemerintah dan aktivis LSM Sulteng. Penyerahan ini simbolisasi kesepahaman para pihak untuk membangun komitmen bersama percepatan pengakuan wilayah adat di daerah ini.
Redistribusi tanah
Lahan Musein, Kepala Kantor Wilayah BPN Sulteng, menyambut baik upaya mendorong pengakuan wilayah wilayah kelola rakyat. BPN melaporkan berhasil redistribusi tanah ex hak guna usaha (HGU) PT Sumber Alam Damaris, seluas 1.340 hektar. Distribusi lahan kepada masyarakat Desa Simpayang dan Desa Sumber Tani, Kecamatan Kasimbar, Parigi Mouotng, 672 bidang, luas 845 hektar, sisanya 495 hektar dilanjutkan 2017.
BPN Sulteng melaporkan akses reform melalui kelompok tani dari Pemda Sulteng berupa: 35.000 bibit, sesuai tanam tumbuh di sasaran lokasi seperti cengkih dan cokelat.
Saat ini, katanya, momentum terbaik mencari solusi masalah tanah dan wilayah masyarakat adat. Menurut dia, perlu komitmen padu dari semua pihak agar percepatan wilayah kelola masyarakat segera terwujud. BPN bersepakat dengan gagasan kebijakan satu peta. Peta sebaran wilayah adat, katanya, sangat bermanfaat bagi BPN sebagai informasi.
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN ATR No 9 tahun 2015, tentang penyusunan hak komunal, telah mengamanatkan tugas-tugas spesifik BPN menyangkut pengakuan wilayah adat. Percepatan hak kelola rakyat dan penyelesaian konflik pertanahan diakui masih berjalan lambat dan menemui banyak kendala. Meskipun begitu, sejauh ini sudah 84.000 bidang tanah teredistribusi di Sulteng.
Aktivis Walhi Nasional, Khalisah Khalid, menyampaikan, sejak 2015, Walhi mendeklarasikan gerakan tagih janji, untuk rezim Jokowi-JK. Presiden Jokowi menjanjikan program bernuansa reforma agraria, seperti hutan rakyat 17 juta hektar, redistribusi tanah 9 juta hektar. Kenyataan, masih jauh dari konsep reforma agraria hingga penting dikawal seluruh organisasi masyarakat sipil. “Dialog mulai level nasional hingga kabupaten untuk membangun komitmen bersama antara masyarakat sipil dan pemerintah.”
Urgensi satu peta jadi solusi
Beberapa masalah berkaitan dengan tata kelola ruang hidup bukan hanya mentautkan kepentingan tetapi beragam klaim penggunaan peta baik tematik maupun sektoral. Tak pelak menyebabkan beragam sengketa berkaitan tata guna lahan. Kebijakan satu peta penting guna mengatasi kondisi ini.
Staf Biro Administrasi Pembangunan dan Sumberdaya Alam Sekretariat Daerah Sulteng, Ucik N. Sangkalia menyampaikan, salah satu solusi konflik tata guna lahan adalah perbaikan tata kelola hutan, yaitu satu peta yang bisa dirujuk semua pihak. Selama ini, terjadi tumpang tindih peta untuk tema sama hingga perlu satu peta menjadi rujukan semua pihak dalam mengambil kebijakan lebih baik.
“Berdasarkan UU Informasi Geo Spasial, di Sulteng ada geoportal Sultengdikelola Administrasi pembangunan dan SDA, berada di sekretariat kantor gubernur. Kita harus tetap merujuk peta dasar dan Biro Pembangunan SDA adalah menghimpun. Kalau ada peta dari manapun, bisa maki masukkan peta dan kadastral kalau sudah mendapatkan pengakuan,” katanya.