, , , ,

Kala Air Bersih Mengalir Sampai ke Simare-mare

Hembusan angin laut melengkapi keindahan mentari senja dari bukit di Gang Kerinci, Jalan Ketapang, Kelurahan Simare-mare, Sibolga Utara, Sumatera Utara, pekan lalu. Tiga tangki air berwarna biru (rooftank) kapasitas 3.000 liter dibangun di bukit ketingian sekitar 50 meter itu. Ia menampung air dari master meter (meteran komunal), sebelum dialirkan ke 58 rumah warga.

“Sekarang air bersih mudah didapat di Simare-mare, cukup putar air keran. Kualitas air juga bagus,” kata Tambupolon memulai cerita dengan logat kental Batak.

Tambupolon berusia 56 tahun. Rambut hitam ikal, kulit sawo matang. Pekerjaan sehari-hari tukang becak motor. Hampir dua tahun dia jadi ketua Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di Gang Kerinci. Dia bersama pengurus KSM mencatat penggunaan meteran air, menagih uang penggunaan air, memeriksa saluran dan melayani keluhan pelanggan setiap ada pelaporan.

Puluhan tahun lalu, katanya, sebelum ada meteran komunal dari Indonesia Urban Water, Sanitation and Hygiene (IUWASH), warga Gang Kerinci berebutan bahkan bertengkar untuk mendapatkan air bersih. Tambupolon harus merelakan tak narik becak, untuk antri air.

“Pukul 7.00 pagi antri, siang baru dapat air. Terkadang tidak dapat. Warga sering bertengkar ingin saling dapat air,” katanya.

Air bersih tak bisa setiap hari. Kala kemarau seminggu, terkadang dua kali bantuan air bersih dari pemerintah daerah. Setiap hari warga paling sedikit mengeluarkan uang Rp5.000 untuk membeli 10 derigen air keperluan minum, mandi dan mencuci piring. Seminggu sekali, dia pergi ke sungai di Sarudik, kurang lebih tujuh kilometer dari Ketapang, menggunakan motor untuk mencuci baju.

“Sebulan paling tidak habis Rp400.000 untuk mencuci pakian ke sungi dan beli air bersih,” kata Tambupolon.

Hal serupa dirasakan Masni Nasution, warga sekampung Tambupolon. Dia tukang sapu di Sibolga Squar. Dulu, dia antri air dari subuh bahkan hingga malam hari. Mandi sekali sehari. Dengan rumah di ketinggian 50 meter, dia harus turun naik membawa derigen air 25 liter. Sekarang dia bersyukur. Tak perlu antri. Tak perlu ke sungai dan pengeluaran perbulan sekitar Rp30.000 untuk air bersih.

“Mendapatkan air bersih anugerah, harus disyukuri. Sejak Indonesia merdeka baru dua tahun ini air bersih kami sedikit berlimpah,” ucap Nasution.

Di Kelurahan Simare-mare, mayoritas warga sebagai nelayan. Haji Ali Said Lubis, sesepuh kampung, datang ke Ketapang pada 1960. Sejak datang, air bersih sudah susah. Warga harus mengambil di sungai, atau minta ke sumur warga di daerah lebih rendah.

“Jangankan mandi, mencucipun harus ke sungai. Saya bahkan membuat dua bak besar untuk menampung air hujan. Belasan tahun lalu beli air Rp150-Rp250 per ember. Sejak ada master meter sebulan hanya bayar Rp25.000-Rp30.000.”

Belasan kali Lubis dan warga Gang Kerinci, Ketapang meminta PDAM Tirta Nauli Sibolga membuat saluran air hingga ke rumah-rumah warga. Tak ada tanggapan. Hingga 2013, IUWASH memberikan solusi, air bersih bisa diakses warga di Ketapang. “Sekarang sudah enak dapat air bersih.”

Junita, warga Gang Pelita cukup memutar keran untuk memperoleh air bersih. Foto: Tommy Apriando
Junita, warga Gang Pelita cukup memutar keran untuk memperoleh air bersih. Foto: Tommy Apriando

Tambupolon mengatakan, warga bersyukur ada air bersih dengan meteran kumunal. Walapun setiap satu meter kubik air, berdasarkan kesepakatan kena biaya Rp2.140. Awalnya, ada warga menolak. Mereka tak percaya air bersih bisa diakses di kampung yang berbukit batu.

“Itu omong kosong dan janji-janji,” kata Tambupolon menirukan keraguan warga kala itu.

Setelah terbukti, mereka ikut menjadi pelanggan. Sistem master meter terbukti menjawab tantangan lokasi. Warga Ketapang, terletak di perbukitan bisa mengakses air bersih.

Dulu, PDAM melayani warga Ketapang menggunakan mobil tangki air dengan mengisi hydrant umum setempat. Itupun jauh memenuhi kebutuhan masyarakat.

Serupa pengalaman warga Kampung Pelita, Ketapang, Kelurahan Simare-Mare, Sibolga Utara. Romauli Boru Aritonang masih ingat ketika derigen air dan ember pecah karena berkelahi dengan warga satu kampung. Gara-gara rebutan air bersih. Dia tak bisa menahan air mata ketika bercerita kesulitan air bersih kala itu.

Dia tak bekerja demi antri air bersih. Mulai pagi bahkan sampai malam. Sebulan harus merogoh kocek Rp150.000 untuk membeli air bersih. Seminggu sekali, seharian ke Sungai Lobu berjarak empat kilometer atau Sungai Sarudik sekitar tujuh kilometer dari rumah.

“Untuk mencuci naik motor, biaya sampai Rp50.000. Sebulan sekitar Rp350.000 hanya untuk air bersih dan mencuci,” katanya.

Dua tahun ini, dia merasakan berbeda. Air bersih diperoleh dari meteran komunal. Oleh warga kampung, di Gang Pelita, dia didapuk jadi Ketua KSM. Dua tanki air ukuran 3.000 liter air, mengaliri 58 pelanggan. “Sekarang saya bisa berjualan sayur, tanpa harus mengantri seharian membeli air bersih,” katanya.

Dulu, warga Gang Pelita beberapakali mengajukan menjadi pelanggan untuk mengakses air bersih PDAM. Warga siap membayar berapaun, namun tak kunjung ada tanggapan.

Junita Hutagalung, tetangga Boru Aritonang mengatakan, sebelum ini setiap hari mengangkat air sampai lima derigen berkapasitas 25 liter. Rumah di Perbukitan Simare-Mare. Sejak pakai meteran komunal, air langsung ke rumah.

“Sebulan saya hanya bayar Rp11.000. Dulu jarang mandi, Sekarang tinggal putar keran. Pagi dan sore bisa mandi,” kata Hutagalung.

Riki Pasa Barus, Urban Water and Water Sanitation Specialist IUWASH mengatakan, sistem meter komunal dengan perpipaan ditambah ground tank (reservoir) oleh PDAM Tirta Nauli Sibolga tawaran IUWASH.

Dari satu meteran induk PDAM, ditampung di tank, lalu air disalurkan ke rumah-rumah warga, mengggunakan meteran masing-masing. Koneksi air dari master mester hingga ke rumah, harus membayar instalasi jaringan pipa dengan investasi sekitar Rp300.000. Setiap tangki dilengkapi meter induk, terhubung ke keran rumah penduduk.

“Diharapkan master meter jadi solusi terbaik dan direplikasi pemerintah daerah,” ujar Riki.

Data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 2012, Indonesia di tempat terburuk dalam pelayanan ketersediaan air bersih dan layak konsumsi se-Asia Tenggara. Kondisi ini, katanya, tantangan tersendiri bagi pemerintah Indonesia yang tengah mendorong Akses Universal 100-0-100. Ini terusan program MDGs yang berakhir 2015.

Akses Universal menargetkan 100% air minum perpipaan terakses masyarakat, 0% daerah kumuh, dan 100% masyarakat mendapatkan akses sanitasi yang baik.

Di Simare-Mare, paling padat penduduk di Pesisir Sibolga, ada 766 jiwa dengan luas 71 hektar. Kebanyakan warga sebagai petani dan nelayan.

Teruna Jaya Tarigan, City Koordinator Sibolga IUWASH mengatakan, pemilihan Ketapang sebagai proyek master meter berdasarkan survei dan permintaan PDAM Tirta Nauli Sibolga. Permintaan air bersih Simare-Mare, sangat tinggi tetapi belum terpenuhi.

Master meter, katanya, dikelola masyarakat, pemeliharaan dan kolektif iuran bersama KSM. “Artinya masyarakat sendiri menjadi pengelola dan pemelihara master meter yang dibangun agar berkelanjutan,” katanya.

Dia mengatakan, lebih 45 tahun Simare-Mare tak terlayani air bersih. “Bagi mereka air bersih sebuah kebahagiaan dan keberkahan,” ucap Tarigan.

Saat ini, di Simare-Mare, hampir 150 keluarga bisa mengakes air bersih. Mereka tak perlu berkelahi lagi untuk mendapatkan air bersih.

Para ketua pengurus tiga KSM di tiga lokasi Master Meter di Kelurahan Simare-Mare, Sibolga. Foto: Tommy Apriando
Para ketua pengurus tiga KSM di tiga lokasi Master Meter di Kelurahan Simare-Mare, Sibolga. Foto: Tommy Apriando

Replikasi meteran komunal

Begitu pula pengalaman Donna Boru Sinaga. Dia harus menuruni perbukitan sekitar 100 meter di Gang Rukun Damai, Kelurahan Aek Parombunan, Sibolga Selatan, untuk mendapatkan satu derigen air bersih. Dia membawa satu ember besar berisi baju untuk dicuci di sumur komunal sekitar 50 meter dari rumah.

“Dulu ambil air tergantung kemampuan kita mengangkat. Belum lagi harus bayar. Itu sudah 18 tahun lalu,” katanya.

Sekarang, tumpukan baju kotor bisa dicuci di kamar mandi. Dia cukup memutar keran, air keluar deras.

Donna bersama sekitar 80 keluarga sekitar satu tahun lalu baru mengakses air bersih hasil tangung jawab sosial Bank Sumatera Utara bekerjasama dengan PDAM Tirta Nauli Sibolga. Mereka mereplikasi kesuksesan master meter di Simare-Mare.

Kini, setiap bulan Donna hanya mengeluarkan uang Rp30.000 untuk membayar air dan pulsa listrik. Sebab, untuk mengalirkan air dari master meter daerah bawah ke tanki penampungan di perbukitan Gang Rukun Damai perlu pompa air.

“Jika pulsa listrik habis, warga ambil air, mandi dan mencuci di sumur komunal. Jika ada petugas, diisi dulu pulsa, barulah air mengalir kembali.”

Kabul Sumbawa, Kepala Bagian Teknik PDAM Tirta Nauli Sibolga mengatakan, pemilihan Gang Rukun Damai, karena ada permohonan. Warga, katanya, puluhan tahun tak bisa memperoleh air bersih dan air minum.

“Baru saat ini karena dulu kapasitas PDAM tak mampu, rumah warga di perbukitan. Replikasi di Gang Rukun Damai menghabiskan dana Rp200 juta dari Bank Sumut. Tidak ada biaya kepada warga. Untuk iuran perbulan disepakati melalui KSM,” katanya.

Jarak master meter ke tanki penampung 160 meter. Ada dua tanki kapasitas 6.000 liter. “Satu replikasi masih tahap pembangunan di Simare-Mare, atas inisiatif Pemerintah Sibolga.”

Hingga kini, PDAM Sibolga melayani 79% pelanggan, 21% target pakai master meter, karena posisi di pesisir laut dan perbukitan. Sejauh ini, di Simare-Mare ada 145 keluarga dengan tiga master meter.

Sumur resapan yang dibangun Dinas LHKP Sibolga di MAN Aek Parombunan untuk menyimpan dan meresapkan air hujan. Foto: Tommy Apriando
Sumur resapan yang dibangun Dinas LHKP Sibolga di MAN Aek Parombunan untuk menyimpan dan meresapkan air hujan. Foto: Tommy Apriando

Sumur resapan

Siswa-siswi Madrasyah Aliyah Negeri (MAN) Aek Parombunan, Sibolga, tampak serius belajar ketika saya tiba di halaman sekolah mereka. Di belakang sekolah, tepat di pinggir bukit, pepohonan begitu lebat. Ada satu sumur resapan kedalaman sekitar dua meter.

“Jika hujan, tutup sumur dibuka, banyak air masuk, teresapkan ke tanah,” kata Marlin Ferbriani Siagian, guru Biologi di MAN Sibolga.

Selain meteran komunal, Sibolga juga menggalakkan sumur resapan. Daud Daniel Hutapea, Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan dan Pertanaman (LHKP) Sibolga mengatakan, pembangunan sumur resapan di hulu Sibolga Rp180 juta dana APBN. “Kami lihat hulu atau sumber air Sibolga harus dilindungi dan dijaga kualitas maupun kuantitas.” Dengan sumur resapan, katanya, bisa menahan dan menangkap air hilir lebih baik. Di Kelurahan Parombunan, katanya, banyak perubahan tata guna lahan, untuk perumahan.

“Sumur resapan bisa meresap air, hingga limpasan tak terbuang percuma ke selokan atau sungai. Sumur resapan bisa meminimalisir banjir di hilir dan meningkatkan baku mutu air,” ucap Daniel.

Sumur resapan dibangun sejak 2015. Secara teknis, bangunan masih ada kesalahan. Belum ada lubang menangkap limpasan air lebih banyak ke sumur. Saat ini, tangkapan air ketika hujan dengan posisi tutup terbuka. Ke depan, dari masukan IUWASH, akan disesuaikan agar fungsi maksimal.

Daniel mengatakan, pasokan air bersih di Sibolga cukup aman, curah hujan 4.400 milimeter pertahun. Namun ada penelitian menyatakan, jika tiga minggu tak hujan debit air turun.

“Sumur resapan solusi menanam air, untuk tingkatkan kualitas dan kuantitas air.”

Tambupolon, Ketua KSM Gang Kerinci menujukkan master meter untuk 55 pelanggan. Foto: Tommy Apriando
Tambupolon, Ketua KSM Gang Kerinci menujukkan master meter untuk 55 pelanggan. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,