Bulan Maret adalah bulan yang spesial. Hari Air Sedunia baru saja kita peringati pada tanggal 22 Maret yang lalu. Momen ini sekaligus dapat kita jadikan bahan renungan untuk melihat perairan laut yang tercemar akibat lemahnya praktik manajemen sampah daratan dan daerah aliran sungai.
Dalam sebuah rilis penelitian yang diterbitkan tahun 2015, para peneliti dari Universitas Georgia yang dipimpin oleh Jenna Jambeck membuat pemeringkatan negara-negara pembuang sampah plastik terbanyak ke laut. Dari estimasi total 275 juta metrik ton (MT) sampah plastik yang diproduksi dari 192 negara di seluruh dunia pada tahun 2010, diperkirakan terdapat antara 4,8 – 12,7 juta MT masuk ke lautan lepas.
Indonesia dalam penelitian tersebut, berada dalam posisi nomor dua dibawah Tiongkok dan berada satu peringkat di atas Filipina. Adapun ketiga negara ini memiliki kesamaan, yaitu sama-sama negara berkembang di Asia, berpenduduk urban padat, dan memiliki batas wilayah yang langsung berbatasan dengan laut.
Berbasiskan data 2010, Indonesia menjadi peringkat kedua negara “penyumbang” sampah plastik terbesar di dunia yaitu sebesar 3,2 juta ton, setelah Tiongkok yang sebesar 8,8 juta ton yang lalu disusul oleh Filipina diperingkat ketiga yaitu sebesar 1,9 juta ton.
Menarik saat mencermati, bahwa negara industri terbesar dunia seperti Amerika Serikat dalam peringkat ini hanya menempati peringkat ke-20. India, negara berpopulasi kedua terbesar di dunia juga berada di luar peringkat sepuluh besar. Padahal kedua negara ini pun sama-sama memiliki wilayah yang langsung berbatasan dengan laut. Amerika Serikat memiliki banyak kota besar di pesisir Pasifik maupun Atlantiknya.
Berbeda dengan Tiongkok, Indonesia dan Filipina, ternyata negara-negara ini mampu mengelola sampahnya secara efektif. Selayaknya negara maju, Amerika Serikat memiliki kemampuan untuk mencegah sampah plastik untuk memasuki laut, yaitu lewat infrastruktur pengelolaan sampah yang mampu menurunkan kuantitas kumulatif sampah plastik di darat.
Hasil penelitian Jambeck menyebutkan terdapat korelasi kemampuan sebuah negara untuk ‘menjerat dan mengumpulkan’ sampah plastik di darat dengan jumlah sampah di lautan. Semakin efektif pengelolaan maka, jumlah sampah di lautan akan semakin menurun.
Karena umumnya sampah di lautan dibawa dan mengikuti aliran air sungai, peneliti lain kolega Jambeck, Kara L. Law menyebutkan terdapat hubungan erat antara jumlah sampah yang ada di lautan dengan tingkat polutan sungai di tiap negara. Negara yang mampu mengelola sungai secara efektif, maka perairan lautnya akan semakin bersih dari sampah plastik.
Sampah Sungai dan Problem Negara Berkembang
Negara kepulauan seperti Indonesia dan Filipina (keduanya merupakan negara kepulauan terbesar di dunia), memiliki masalah klasik negara berkembang. Keterbatasan sumberdaya, kapital dan teknologi yang disandingkan dengan geografis pulau, menyebabkan sampah dan sampah plastik mudah lepas dari daratan dan terakumulasi di lautan lepas.
Ambilah contoh, perairan Teluk Jakarta, yang merupakan muara dari sekitar 13 sungai dan anak sungai yang melalui kota-kota berpopulasi padat lebih dari 20 juta orang. Perairan Teluk Jakarta saat ini tercemar sampah plastik berskala akut.
Tidak heran pasukan oranye sampai perlu diterjunkan tiap hari hanya untuk “menggiring sampah plastik.” Sampah yang hanyut di Teluk Jakarta, merupakan sampah-sampah yang dihanyutkan dari daratan dan sungai. Sampah-sampah ini juga termasuk sisa sampah yang lepas tak tertampung dari sekitar total 6.500-7.000 ton sampah per hari yang dihasilkan dari warga Jakarta dan sekitarnya.
Hal yang sama terjadi untuk provinsi kepulauan lain, seperti Bali. Provinsi ini setiap harinya menghasilkan sekitar 10 ribu ton sampah perhari yang dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Tanpa adanya perubahan teknologi dan model penanganan sampah terpadu, sebagian dari sampah akan terus masuk ke perairan, dan menjadi sumber pencemaran baru.
Masalah sampah plastik di lautan tidak lepas dari bagaimana kualitas sungai sebagai pembawa limbah. Sungai yang tercemar dan jarak yang relatif pendek antara hulu sungai dan muara sungai, secara khusus di pulau Jawa, Bali dan pulau-pulau kecil lainnya, menyebabkan sampah dan limbah sungai pun menjadi semakin cepat terbawa ke laut.
Indonesia mempunyai catatan buruk mengenai polutan sungai. Sungai Citarum pada tahun 2013 dinobatkan oleh Blacksmith Institute, sebuah lembaga non-profit bidang lingkungan di New York, sebagai sungai paling tercemar di dunia. Sungai Citarum, panjangnya sekitar 300 kilometer yang diawali dari lereng Gunung Wayang di tenggara Kota Bandung melewati kawasan pertanian, perikanan, pemukiman, kawasan industri, dan berakhir di Muara Bendera dan terus menuju Laut Utara Jawa. Sungai ini tercemar berat limbah industri tekstil yang tidak memiliki fasilitas IPAL (instalasi pengolahan air limbah)
Sungai lain yang tercemar berat adalah Ciliwung. Sungai ini memiliki panjang 120 kilometer yang berhulu di Gunung Gede, Kabupaten Cianjur melewati kawasan pemukiman, kawasan pabrik, melewati 3 kota besar yaitu Bogor, Depok, dan Jakarta, yang akhirnya bermuara di Teluk Jakarta.
Berdasarkan perhitungan SNI terdapat sekitar 1.733 ton sampah per hari yang dihasilkan kedua sungai tersebut yang “disetor” ke laut atau berarti terdapat setidaknya 632.545 ton sampah setiap tahunnya yang masuk ke laut.
Untuk melihat eskalasi yang terjadi, tidak saja Citarum (termasuk 28 km aliran sungai Cikapandung yang melintasi kota Bandung), Ciliwung dan Cisadane saja yang bermasalah. Menyitir dari data KLH 2013, maka terdapat 75 persen dari 57 sungai besar yang ada di Indonesia yang dikategorikan tercemar berat, 60 persen penyebabnya berasal dari limbah domestik rumah tangga.
Tingkat cemaran sungai dari limbah domestik tidak lepas dari sikap mental masyarakat yang menganggap sungai merupakan “halaman belakang” dan dapat digunakan sebagai tempat pembuangan sampah umum. Masyarakat yang tinggal di sepanjang bantaran sungai dan kali, tampaknya telah kehilangan etika untuk menjaga kebersihan lingkungan sungai.
Di negara berkembang lain seperti Tiongkok, hal yang sama pun terjadi. Sungai-sungai di Tiongkok memiliki tingkat polutan yang amat tinggi, baik dari sampah domestik maupun limbah industri. Tiongkok mempunyai dua sungai yang berpredikat masuk 10 sungai terkotor di dunia yaitu sungai Yellow dan sungai Songhua.
Sungai lain di Tiongkok yang tercemar berat adalah sungai Yenisei. Sungai ini dikenal berbahaya lantaran racun, radiasi, dan hasil cemaran rumah tangga. Sungai Yenisei telah terkontaminasi pada tingkat parah dan serius.
Saking kotornya sungai-sungai di Tiongkok akibat cemaran industri dan rumah tangga, sempat memunculkan cerita satire tentang orang yang tak jadi bunuh diri di sungai, bahkan berusaha kabur keluar karena terlanjur jijik dengan sampah yang ada di sungai.
Seperti Indonesia, Filipina pun mempunyai beberapa sungai yang sangat kotor dan mempunyai tingkat polutan yang sangat tinggi seperti sungai Marilao dan Pasig yang membelah metro Manila.
Sungai-sungai ini dipenuhi sampah domestik dan limbah industri yang membuat air sungai ini berada pada tahap berbahaya. Pemerintah pun turun tangan. Salah satunya mengontrol limbah rumah tangga yang masuk ke aliran sungai ini. Upaya yang dilakukan mirip yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki T. Purnama, yaitu memindahkan sebagian pemukiman kumuh yang berlokasi di badan sungai ke tempat yang lebih layak huni.
Selain limbah domestik, limbah Industri juga berperan besar memberi polutan bagi lautan. Industri yang tidak mengoperasikan IPAL secara optimal akan membuang limbahnya langsung ke sungai karena kapasitas IPAL tidak sesuai dengan kapasitas produksi. Jika terjadi demikian maka industri tersebut akan menyembunyikan saluran pembuangan limbah industrinya agar sulit dijangkau petugas hukum.
Undang-Undang di Indonesia yang berhubungan dengan lingkungan, pengelolaan wilayah badan sungai dan hunian sebenarnya sudah banyak. Tinggal bagaimana pemerintah memiliki ketegasan untuk melaksanakan dan menegakkan aturan yang ada. Termasuk di dalamnya kewajiban pemerintah untuk melakukan monitoring pembuangan limbah industri berdasarkan PP No.82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran.
Dengan mengatur limbah domestik daratan dan aliran sungai dengan baik, disertai dengan teknologi pemusnahan sampah yang efektif, semoga Indonesia dapat keluar dari daftar salah satu negara pencemar laut terbesar di dunia.
* L. P. Hutahaean, penulis adalah praktisi teknik planologi dan pengamat wilayah perkotaan