Kapal Angkut Asing Resmi Dilarang Beroperasi. Ada Apa?

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mulai melarang operasional kapal-kapal angkut ikan hidup yang mendapatkan izin Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) dari Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB). Pelarangan tersebut akan diberlakukan setelah Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan terbaru resmi keluar.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Slamet Soebijakto di Kantor KKP, Kamis (31/03/2016) menjelaskan, pelarangan yang diberlakukan kepada kapal asing tersebut akan berlaku untuk seluruh wilayah perairan Indonesia. Setelah dilarang, kata dia, kapal-kapal asing hanya bisa berlabuh di checkpoint area yang ada di beberapa pelabuhan.

“Kalau sebelum dilarang, kapal-kapal asing bebas melaut ke manapun yang mereka mau. Nah nantinya, mereka hanya bisa masuk maksimal sampai checkpoint saja,” ucap dia.

Agar pelarangan tersebut memiliki kekuatan hukum, Slamet memastikan, pihaknya tidak akan menerapkannya sebelum Permen KP terbaru resmi dikeluarkan. Namun dia berjanji, Permen tersebut, maksimal pada 20 April 2016 sudah bisa keluar dan diberlakukan.

Adapun, Slamet menyebutkan, maksud dari batasan operasional kapal asing hanya sampai checkpoint area saja, karena pihaknya ingin proses ekspor produk perikanan budidaya bisa lebih cepat. Sementara, untuk kapal pengangkut ikan hidup dari petani atau nelayan di sejumlah perairan itu akan dilakukan oleh kapal Indonesia.

Untuk checkpoint area sendiri, menurut dia, hingga saat ini masih dibicarakan. Tetapi, minimal, dia berjanji jumlahnya akan sama seperti tahun lalu, yakni 4 lokasi. Namun dari 4 tersebut, Slamet memberi sinyal bahwa Kendari dan Natuna akan kembali menjadi checkpoint area.

Dari hasil evaluasi yang dilakukan, Slamet menuturkan, ada 28 kapal pengangkut ikan yang selama ini beroperasi. Namun, semuanya dinyatakan sudah tidak memiliki SIKPI lagi. Dari 28 kapal tersebut, 12 di antaranya kapal asing dan dinyatakan terlarang untuk masuk ke wilayah Indonesia, kecuali hanya sampai checkpoint area saja.

Belum Mandiri

Walau sudah menyatakan terlarang untuk kapal asing, Slamet Soebijakto tidak menampik kalau kapal-kapal pengangkut ikan Indonesia hingga saat ini masih belum mandiri. Hal itu diketahui, setelah DJPB melakukan evaluasi pada awal 2016 dan hasilnya adalah kapal-kapal angkut Indonesia masih memiliki ketergantungan yang kuat kepada kapal-kapal asing, terutama dari Hong Kong.

“Seharusnya, dengan tidak beroperasinya lagi kapal-kapal dari Hong Kong, itu kesempatan bagus buat kapal Indonesia. Tapi kenyataannya, kapal kita masih belum siap untuk melakukan effort sendiri,” jelas dia,

Slamet berharap, setelah Permen KP nanti diterbitkan, pengusaha Indonesia bisa lebih mandiri lagi dalam mengoperasikan kapal-kapal pengangkut ikannya. Karena, potensinya diketahui sangat besar.

Khusus untuk kapal pengangkut, dia mengungkapkan bahwa akan ada kapal-kapal milik Perindoyang siap mengangkut ikan hidup dari keramba dan kemudian diekspor ke negara tujuan. Namun, untuk rencana tersebut, dia belum merinci lebih jauh.

Frekuensi Kapal Angkut

Lebih lanjut Slamet memaparkan, draf Permen KP terbaru yang masih dalam pembahasan sekarang, juga akan memuat aturan tentang frekuensi kapal angkut ikan hidup yang ada di seluruh Indonesia. Dengan diaturnya frekuensi, maka diharapkan nantinya akan ada rute yang jelas dan itu berkaitan dengan kapal milik eksportir juga.

Kapal bersandar di pelabuhan di Labuan Bajo, Flores, NTT. Foto Tommy Apriando
Kapal bersandar di pelabuhan di Labuan Bajo, Flores, NTT. Foto Tommy Apriando

“Poin lain yang juga akan dimuat dalam Permen, adalah aturan mengenai penggunaan bahan peledak dan bahan kimia dalam industri perikanan budidaya. Aturan itu penting, karena berkaitan dengan perikanan berkelanjutan yang dicanangkan KKP saat ini,” tandas dia.

Berkaitan dengan pelarangan kapal angkut asing serta pengaturan frekuensi kapal angkut, Eko Prihananto mengaku pesimis. Menurut pemilik PT Putri Ayu Jaya yang bermarkas di Natuna, Kepulauan Riau itu, jika Pemerintah ingin menerapkan aturan seperti itu, maka armadanya harus dilengkapi dulu.

“Jika hanya mengandalkan armada yang sudah ada sekarang, rasanya itu tidak mungkin. Karena, kalau masih seperti sekarang, biaya produksi kita juga akan bertambah lebih besar. Sementara, resikonya juga masih tetap tinggi,” tutur dia.

Yang dimaksud dengan resiko, kata Eko, adalah proses pengangkutan ikan hidup dari keramba utama hingga sampai di kapal eskpor yang siap mengirim ke negara-negara tujuan ekspor. Dia mencontohkan, untuk kapal dari Hong Kong yang biasa beroperasi di Indonesia, diperlukan waktu total 8 hari untuk proses pengambilan hingga pengiriman.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Chandra Halim, pemilik CV Chandra Papua Barat yang bermarkas di Raja Ampat. Menurut dia, untuk bisa melaksanakan kebijakan tersebut, KKP harus melengkapinya dengan armada yang kuat.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,