, , ,

Koalisi: Reklamasi Teluk Jakarta Sarat Korupsi

Kamis malam (31/3/16) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) operasi tangkap tangan Ketua Komisi D DPRD Jakarta Mohamad Sanusi, terkait suap proyek reklamasi Teluk Jakarta. Dia ditangkap tak lama setelah menerima uang suap dari Trinanda Prihantoro, karyawan PT Agung Podomoro Land (APL).

Uang suap Rp1,14 miliar jadi alat bukti. Terdiri pecahan Rp100.000 sebanyak 11.400 lembar dan US$100 sebanyak 80 lembar. Sanusi juga dianggap menerima uang Rp1 miliar pada 28 Maret 2016.

Uang suap diberikan APL diduga untuk memuluskan pembahasan Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil (RZWP3K) Jakarta periode 2015-2035 dan Raperda Rencana Kawasan Tata Ruang Strategis Pantai Jakarta Utara. Belakangan, Presiden Direktur APL Ariesman Widjaya menyerahkan diri ke KPK. Ariesman mengakui ihwal pemberian uang itu.

Aktivis lingkungan hidup tergabung dalam Koalisi Selamatkan Jakarta menilai, operasi tangkap tangan ini bukti proyek reklamasi sarat korupsi.

“Bagi kami, ada penyuapan atau korupsi ini sekaligus mengkonfirmasi apa yang jadi keberatan dan konsen kami selama ini terkait reklamasi Teluk Jakarta. Substansi paling mendasar praktik korupsi melibatkan DPRD dan swasta tak lepas dari kebijakan izin Reklamasi Teluk Jakarta,” kata Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, Riza Damanik di Kantor YLBHI Jakarta, Sabtu (2/4/16).

Riza mengatakan, sejak awal keberatan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama mengeluarkan izin reklamasi. Reklamasi, katanya, bukan solusi pembangunan Jakarta.

“Izin reklamasi menabrak sejumlah kebijakan Pulau Kecil dan pesisir, tata ruang, lingkungan hidup dan lain-lain.”

Seharusnya reklamasi diawali Perda Zonasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Namun, Gubernur mengeluarkan izin reklamasi pulau G, F, I dan K tanpa ada perda. “Itu maladminsitrasi.”

Ahok bersegera mengirimkan surat ke DPRD mengusulkan raperda. Ketika DPRD menerima usulan, sebenarnya sudah salah kaprah. “DPRD seharusnya bisa meluruskan. Izin reklamasi keluar sebelum perda.”

Riza mengapresiasi tangkap tangan KPK. Dengan begitu, KPK mengambil isu reklamasi Teluk Jakarta sebagai hal strategis. Dia mendesak KPK mengungkap tuntas kasus ini, tak hanya berhenti pada Sanusi.

Muhamad Isnur dari LBH Jakarta berharap KPK bisa menyasar korporasi lain, tak berhenti di APL. “Jangan cuma dipidana tapi izin harus dicabut. Jokowi harus tegas pada Gubernur Jakarta.”

Reklamasi Teluk Jakarta, katanya, sebenarnya ditentang Menteri Susi Pudjiastuti dan Menko Maritim Rizal Ramli. Namun tak ada upaya tegas Presiden menghentikan proyek.

Wahyu Nandang Herawan dari YLBHI mengatakan, Sanusi harus bekerjasama dan tak menghambat proses hukum. “Bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk membongkar semua. Pasti yang terlibat banyak.”

Kondisi Jakarta Utara dari udara. Foto: Aji Wihardandi

Kejanggalan pembahasan Raperda

Syamsuddin Alimsyah dari Komite Pemantau Legislatif mengatakan, ada banyak kejanggalan dalam pembahasan raperda. Raperda ini murni usulan eksekutif yang masuk program legislasi 2015. Raperda ini resmi disampaikan 23 April 2015 pada rapat paripurna. Tak langsung dibahas. Saat itu mayoritas tak setuju meskipun lolos prolegda. Ada banyak persoalan harus dijawab Pemprov Jakarta.

“Raperda dibuat toh  izin reklamasi sudah selesai. Apa tujuan dibuat Perda? Apakah untuk melegalkan yang lalu? Atau menghilangkan yang lama dan memunculkan yang baru? Ini tak bisa dijawab pemprov saat itu,” katanya. Pembahasan raperda baru mulai lagi Juni tahun lalu.

Edo Rahman, dari Walhi Nasional mendesak Presiden menghentikan seluruh proyek reklamasi Teluk Jakarta karena diduga dilakukan dengan cara-cara salah.

Raperda dibahas setelah izin reklamasi keluar. Seharusnya, izin reklamasi tak bisa keluar sebelum ada RZWP3K. Setelah ada perda itu, lalu menentukan izin lokasi dan sumber material reklamasi, menyusun rencana induk, studi kelayakan dan penyusunan rencana detil.

“Yang terjadi sebaliknya, pengembang menyusun rencana detil penggunaan ruang pulau sebelum RZWP3K. Bahkan anak usaha APL, PT Muara Wisesa sudah memasarkan hunian kelas atas di Pulau G,” kata Edo.

Dampak lingkungan

Moestadiem Dahlan dari Walhi Jakarta mengatakan, reklamasi akan mengubah bentang alam hingga kawasan sepanjang 32 km sepanjang Teluk Jakarta berpotensi tenggelam.

“Kami jelas menolak. Saat ini empat pulau di Kepulauan Seribu hilang. Nelayan hanya bisa menjerit dan menangis.”

Dengan reklamasi, berarti ada relokasi. Penggusuran sekarang dampak reklamasi. “Berarti ada korporasi menginginkan itu terjadi menggunakan izin Gubernur.”

Aktivis Kiara Parid Ridwanuddin mendesak proyek reklamasi dihentikan. Tak perlu ada negosiasi. “Kalau dihentikan, 30 wilayah lain yang sedang menjalankan reklamasi akan mengikuti. Jakarta punya efek psikologi sangat besar. Kita akan mengawal persoalan ini,” katanya.

Rayhan Dudayev dari Indonesia Centre for Environmental Law tak begitu terkejut dengan penangkapan ini. Sejak awal proyek reklamasi itu tak transparan dan tak partisipatif.

“Kajian Lingkungan Hidup Srategis dan Amdal harus ada. Proyek reklamasi keseluruhan harus mencantumkan dokumen KLHS, kami belum lihat. Tak transparan. Katanya sudah dibuat, tapi legal substantif tak terpenuhi.”

Arieska Kurniawaty dari Solidaritas Perempuan mengatakan, beberapa waktu lalu hadir dalam rapat Baleg DPRD, membahas ranperda bersama aktivis dan nelayan.

“Dalam pertemuan terlihat nyata anggota DPRD ambisi mengalihkan nelayan menjadi ‘pelayan’ bagi penghuni di pulau-pulau yang akan direklamasi,” katanya.

Saat ini saja, katanya, alih kerja nelayan sudah terjadi. Perempuan pesisir mengeluhkan suami harus jadi pemulung, satpam pegawai mal dan lain-lain. “Mendorong perempuan nelayan bermigrasi bekerja ke luar negeri dengan perlindungan sangat minim.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,