, , ,

Menilik Banjir-Longsor Sumbar, dari Masalah Drainase sampai Kerusakan Hutan

Hujan lebat menyusul banjir melanda Sumatera Barat 21-22 Maret 2016, menyebabkan kerusakan parah. Ribuan rumah terendam, puluhan hektar sawah rusak, saluran irigasi dan Intake PDAM jebol dan empat orang dilaporkan meninggal terbawa arus maupun tertimbun longsor. Ia terjadi di ketujuh kabupaten/kota, yakni Padang, Bukittinggi, Pariaman, Padang Pariaman, Agam, Pesisir Selatan dan Pasaman Barat.

BPBD menaksir kerugian bencana mencapai ratusan miliar rupiah, antara lain Padang sekitar Rp45,8 miliar, Padang Pariaman (Rp25-Rp30 miliar), Pariaman (Rp10 miliar), Pesisir Selatan (Rp5 miliar) dan Agam kerugian Rp638 juta.

“Dua daerah lain, Bukittinggi dan Pasaman Barat, masih penilaian,” kata Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Sumbar, Pagar Negara.

Data BPBD Sumbar, banjir terparah lima kecamatan di Padang, yakni, Kecamatan Koto Tangah, Kuranji, Nanggalo, Padang Barat dan Padang Utara.

Jembatan terputus di Pasir Jambak, dibangun darurat. Foto: Vinolia
Jembatan terputus di Pasir Jambak, dibangun darurat. Foto: HUmas Kota Padang

Ratusan rumah warga, beberapa sekolah dan ratusan kendaraan bermotor terendam, jembatan putus dan bantalan rel kereta api rusak sepanjang 10 meter.

Di Kota Pariaman, satu jembatan rusak berat, puluhan rumah terendam. Di Padang Pariaman, seorang warga Rimbokalam, Nagari Anduriang, tewas tertimbun longsor, dua menderita luka-luka dan sejumlah akses jalan lintas Sumatera, tertimbun.

Di Bukittinggi, Kelurahan Pulai Anak Aie, ratusan rumah terendam. Ketinggian banjir mencapai satu meter. Banjir juga menggenangi beberapa kawasan lain.

Di Kabupaten Agam, banjir melanda dua Kelurahan Gasan Kaciak, Tanjung Mutiara dan Kampung Pisang, Ampek Nagari. Agam juga longsor menerjang tiga nagari, Panta Kecamatan Matur, Panta Sungai Jariang, dan Nagari Malalak.

Banjir dan longsor di Pasaman, tepatnya Kelurahan Berangin, Lubuk Sikaping. Longsor menutup badan jalan. Jalan penghubung Bukitinggi-Pasaman-Medan, sempat lumpuh total.

Khusus Pesisir Selatan, banjir di Kanagarian Kapuh Utara, Kecamatan Koto I Tarusan, Air Haji Barat, Kecamatan Linggo Sari Baganti dan beberapa daerah lain.

Untuk mencegah banjir bandang, pascabanjir dan longsor Gubernur Sumbar, pada 24 Maret, mengeluarkan surat edaran kepada 19 kabupaten/kota untuk membersihkan hulu dan daerah aliran sungai (DAS) minimal dua kali.

“Kita berupaya mengambil langkah-langkah kesiapsiagaan terutama daerah berpotensi banjir bandang. Kami bekerjasama dengan pemda, TNI/polri dan masyarakat,” katanya. BPBD mengimbau, masyarakat sekitar DAS, dan tebing waspada dan memperhatikan curah hujan.

 Anak-anak mndorong mobil mogok di tengah kepungan banjir. Foto: Vinolia
Anak-anak mndorong mobil mogok di tengah kepungan banjir. Foto: Vinolia

Penyebab banjir

Prof Isril Berd, Ketua Forum DAS Padang, mengatakan, topografi Padang terdiri atas lereng bagian Bukit Barisan dengan luas 1.414,96 kilometer persegi. Dari luas ini, hanya 30% layak huni, atau area pemukiman, selebihnya 70% perbukitan.

Kondisi topografi ini, menjadi salah satu faktor penyebab banjir. “Bentangan alam Padang banyak landai, tempat air berkumpul atau cekungan kerendahan. Ini tumpuan air mengalir dan sasaran banjir seperti Kuranji dan Koto Tengah,” katanya. Total sekitar 3.600-4.000 hektar luasan rawan banjir.

Merujuk data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), intensitas hujan 21-22 Maret lalu 370 milimeter, tergolong ekstrem, normal 1.100-1.800 meter kubik air. Kondisi itu, katanya, memaksa per satu hektar tanah menahan 3.700 meter kubik air. Bisa dikatakan melebihi daya tampung hutan. “Seluas lapangan bola harus menampung 3.700 meter kubik air, ketika intensitas hujan tinggi tak tertampung drainase hingga limpahan menjadi banjir. Ini diperparah pasang laut saat itu, pasang naik, air mengalir bertemu menjadi sasaran aliran air,” katanya.

Selain itu, enam DAS terletak di Padang, menjadi salah satu pemicu. Enam DAS, masing-masing Timbalun, Bungus, Arau, Kuranji, Air Dingin dan Kandis. DAS ini berhulu dan bermuara di Padang, tak melintasi daerah lain.

Dengan kondisi ini, banyak hal mungkin terjadi di Padang, terkait hujan dan banjir. Kalau hujan hulu perbukitan, air cepat mengalir ke Padang.

“Jika curah hujan tinggi di lereng, banjir dan longsor sulit dielakkan, contoh longsor di Airdingin.”

Faktor penyebab lain, hutan di perbukitan tak lagi berkualitas. Dia mengatakan, banyak hutan gundul karena penebangan, alihfungsi menjadi pertanian atau bekas longsor perbukitan menjadi pemicu banjir dan longsor.

“Hutan makin berkurang karena penebangan tak terkontrol. Apalagi penebangan di lereng, sangat berbahaya,” katanya.

Hutan di hulu Sungai Batang Aie Dingin, Kecamatan Koto Tangah Padang, ditebang. Kayu bertumbangan. Ini jadi salah satu pemicu banjir dan longsor. Foto: Dipernakbunhut Padang
Hutan di hulu Sungai Batang Aie Dingin, Kecamatan Koto Tangah Padang, ditebang. Kayu bertumbangan. Ini jadi salah satu pemicu banjir dan longsor. Foto: Dipernakbunhut Padang

Salah satu fakta hutan tergerus, temuan tim Dinas Pertanian Peternakan Perkebunan dan Kehutanan (Dipernakbunhut) Padang kala pemeriksaan ke hulu Sungai Batang Aie Dingin, Kecamatan Koto Tangah Padang, Minggu (4/4/16). Penyisiran awalnya bertujuan membersihkan kayu-kayu melintang sepanjang sungai sisa banjir 22 Maret, malah menemukan kawasan hutan konservasi sudah gundul. Diduga areal jadi peladangan sekitar 10 hektar.

“Kami sangat terkejut, apalagi termasuk hutan konservasi BKSDA, cukup jauh dari Perkampungan Aie Dingin, sekitar 15 kilometer,” kata Dian Fakhri, Kepala Dipernakbunhut Padang. Dinas, katanya, melaporkan temuan ini secara tertulis kepada BKSDA Sumbar.

Perjalanan tim 11 dari jalan setapak Aia Dingin-Solok, menggunakan motor trabas menuju Lubuak Gambia. Perjalanan terus ke hulu Sungai Batang Aie Dingin, lalu menyeberangi sungai. “Sesampai di seberang kami berjalan menuju barat, barulah ditemukan hutan gundul, sebagian besar batang-batang kayu masih berserakan.”

 

Upaya pencegahan

Untuk mengatasi longsor, kata Isril, bisa memperbaiki geofisik DAS dengan normalisasi sungai. “Mana yang patut dibuat terasering, mana aliran sungai perlu betonisasi, daerah terbuka dihutankan kembali.”

Sedang mencegah banjir, Padang mesti punya peraturan daerah terkait DAS dan tak perlu merujuk aturan provinsi. Jika pemerintah kekurangan anggaran, katanya, bisa bertahap sekaligus mendorong masyarakat membuat sumur resapan air di rumah dan perkantoran.

Banjir, katanya, juga membuktikan daya tampung drainase Padang, kurang. Pemerintah harus perbaikan dan perluasan drainase.

“Tahun 1910, Belanda, sudah membuat banjir kanal mengatasi banjir Padang. Sekarang Walikota Padang ke-13 memiliki tanggung jawab membuat program mengatasi banjir.”

Peta Kerawanan Longsor kota Padang. Sumber: Forum DAS Padang
Peta Kerawanan Longsor kota Padang. Sumber: Forum DAS Padang
•Kondisi Topografi kota Padang Luas Wilayah : 694,96 km2 + 720 km2 wilayah laut = 1.414,96. Sumber: Forum DAS Kota Padang
• Kondisi Topografi kota Padang Luas Wilayah : 694,96 km2 + 720 km2 wilayah laut = 1.414,96. Sumber: Forum DAS Kota Padang

Dia menyarankan, pembenahan mengatasi banjir perlu analisa hingga, pembangunan tak sia-sia dan bisa mencegah banjir optimal, misal, pembangunan drainase berkapasitas besar dibandingkan jumlah air.

“Saya melihat drainase di kota-kota besar lain, ukuran sangat besar. Drainase dapat dimasuki satu mobil. Beda di Padang, drainase rata-rata kecil.”

Seharusnya, kapasitas air menjadi analisa utama ketika membangun drainase. “Katakanlah air limpahan 1.000 meter kubik, daya tampung drainase 600 meter kubik, lebih 400 jadi genangan.”

Selain itu, katanya, setelah gempa tsunami 2009, orang takut tinggal di pantai, terjadi perubahan pemukiman. Arah pengembangan ke timur (Aiepacah, red). “Daerah timur menjadi pemukiman berarti konservasi terganggu. Ini menyebabkan frekuensi dan ketebalan banjir daerah sini bertambah.”

Daerah resapan air

Eko Alvarez, Pakar Arsitektur Universitas Bung Hatta, mengatakan, persoalan banjir di Padang tak sekadar masalah curah hujan tinggi atau topografi kota rendah melainkan dipicu pengawasan lemah pada 30% daerah resapan air. Padahal, sudah menjadi ketentuan Pasal 29 UU Penataan Ruang.

“Pasal itu harus dipakai. Termasuk, masing-masing izin mendirikan bangunan (IMB), sediakan lahan serapan air 30%.”

Wilayah resapan air, katanya, tak sekadar keindahan melainkan mengendalikan air tanah dengan meresapkan air hujan ke bumi.

Hulu Sungai Batang Kandis rusak. Foto: Dinas Pertanian Peternakan Perkebunan dan Kehutanan Padang
Hulu Sungai Batang Kandis rusak. Foto: Dinas Pertanian Peternakan Perkebunan dan Kehutanan Padang

Setiap orang, dapat membantu 30% ruang terbuka hijau terwujud. Caranya, masing-masing rumah dan bangunan, menyediakan areal resapan. Bila satu rumah mampu meresapkan air hujan 10 kubik dalam satu jam, intensitas air mengalir ke riol akan berkurang.

Begitu pula ruko-ruko baru sepanjang jalan utama dipastikan tak memiliki wilayah serapan. Wilayah serapan beralihfungsi menjadi lahan parkir. Alhasil, masing-masing warga belum berkontribusi meminimalisir ancaman banjir di Padang.

Kondisi ini, diperparah pembuangan sampah sembarangan. Tidak heran terjadi banjir di sejumlah daerah yang sebelumnya tak pernah banjir.

“Biar begitu, sejumlah kawasan memang terkendala infrastruktur dan belum tuntas normalisasi sungai seperti Kuranji dan Kototangah.”

Baru-baru ini, dibangun jalan bypass dengan posisi lebih tinggi dari lingkungan. Kondisi ini, menyebabkan air melaju ke muara, terganjal dan mengancam perumahan sebelah timur jalan.

“Di samping normalisasi, infrastruktur dan bentuk pembangunan lain, selektif memberikan IMB dan tegas pengawasan sangat penting mengurangi dampak banjir di Padang.”

Faktor lain, tangkapan air Hutan Raya Bung Hatta (TRHT) menurun karena tanaman berkurang. Di balik pengendalian banjir Padang, katanya, penting menjaga hutan di dinding timur Padang itu. TRHT harus dipertahankan. “Selain normalisasi sungai, melestarikan hutan, penataan kota, serta kontrol pembangunan harus diperketat.”

Causa Uslaini Direktur Walhi Sumbar, mengatakan, banjir Sumbar tak hanya faktor iklim atau curah hujan ekstrem, juga kondisi lingkungan. Menurut dia, perlu kajian ulang tata kota. “Karena daerah resapan tak sebanding pertumbuhan pemukiman, kemampuan lahan menyimpan air terbatas dan memicu banjir,” kataya.

Banjir harus menjadi evaluasi konsep drainase Pemerintah Padang . “Ada drainase tak terintegrasi banjir kanal. Air malah menggenang.”

Walhi juga menyoroti, pemerintah mengutamakan mitigasi gempa dan tsunami, seakan melupakan bencana lain seperti, banjir, longsor dan kebakaran yang masuk bencana utama Sumbar.

Hutan di hulu Sungai Batang Kandis rusak. Foto: Dinas Pertanian Peternakan Perkebunan dan Kehutanan Padang
Hutan di hulu Sungai Batang Kandis rusak. Foto: Dinas Pertanian Peternakan Perkebunan dan Kehutanan Padang
Sumber: Forum DAS Padang
Sumber: Forum DAS Padang
BPBD Sumbar, telusuri kawasan banjir di beberapa daerah di Kecamatan Koto Tangah. Foto: BPBD Sumbar
BPBD Sumbar, telusuri kawasan banjir di beberapa daerah di Kecamatan Koto Tangah. Foto: BPBD Sumbar
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,