,

Perubahan Iklim? Begini Perkembangannya di Aceh

Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Vincent Guerend saat bertemu Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, 30 Maret 2016 menyebutkan, negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa memberikan perhatian serius terhadap perubahan iklim.

“Kami juga mengumumkan proyek bantuan Uni Eropa di Aceh yaitu ‘Support to Indonesia’s Climate Change Response’ atau dukungan untuk Tanggapan Indonesia terhadap Perubahan Iklim, senilai 6,5 juta Euro atau Rp96,5 miliar periode 2016-2019,” ungkapnya.

Bantuan tersebut diberikan untuk mendukung inisiatif Provinsi Aceh yang berupaya mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, serta meningkatkan kapasitas pemerintahan dalam pemanfaatan lahan. “Hal ini akan mendukung upaya-upaya nasional dalam mitigasi perubahan iklim melalui perencanaan dan penerapan pembangunan rendah karbon.”

Guerend menuturkan, Uni Eropa sangat mendukung Aceh karena provinsi di ujung barat Indonesia ini masih memiliki sumber daya hutan yang berfungsi baik, utuh, dan luas, sehingga dapat menjadi standar Indonesia dan seluruh dunia dalam hal mitigasi perubahan iklim. “Hutan Aceh cukup alami dan terjaga, dibandingkan hutan-hutan lain, juga kaya akan satwa dan potensi sumber energi seperti air, angin, serta matahari.”

Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, menyambutkan baik kerja sama dan bantuan yang diberikan Uni Eropa, yang dinilai penting bagi pelestarian dan pemanfaatan hutan tersisa di Aceh. “Hutan Aceh harus dijaga agar tidak rusak.”

Terkait perubahan iklim, Pemerintah Aceh telah menyiapkan tiga peraturan gubernur yaitu tentang pemantauan dan pengawasan lingkungan, pola kemitraan, serta peraturan kriteria dan tata cara pemberian insentif.

Pemantauan dan pengawasan lingkungan, menjadi fokus utama mengingat kondisi lingkungan hidup di Aceh yang penting untuk dijaga. Pertambangan yang masih belum ramah lingkungan turut berperan dalam merusak lingkungan. Terlebih, masyarakat Aceh masih mengandalkan ekstraksi sumber daya alam dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Dalam Rencana Aksi Daerah untuk Gas Rumah Kaca (RAD GRK) Aceh disebutkan, sumber emisi Gas Rumah Kaca Aceh paling besar disumbangkan dari areal penggunaan lain (62%), hutan lindung (11%), hutan produksi (10%), dan gambut non-kawasan hutan (9%). Sisanya, berada di kawasan hutan dan lahan lainnya.

Hutan Leuser yang harus dijaga kelestariannya. Foto: Junaidi Hanafiah

Kepala Dinas Kehutanan Aceh, Husaini Syamaun, dalam keterangannya mengatakan untuk mendukung program pelestarian hutan dan penyempurnaan tata kelola hutan, Aceh telah membentuk tujuh kesatuan pengelolaan hutan (KPH) yang merupakan UPTD di Dinas Kehutanan guna mengelola pelestarian hutan di tingkat tapak.

“Selain itu, bersama 29 negara di dunia, Aceh telah menandatangani Deklarasi Rio Branco 2014. Deklarasi yang merupakan komitmen Aceh untuk mencegah deforestasi (80 persen) hinga 2020.”

Dari tujuh KPH yang dibentuk, enam di antaranya berbasis daerah aliran sungai (DAS) sementara satu KPH yaitu Taman Hutan Raya Pucoet Meurah Intan berada di Kabupaten Aceh Besar dan Pidie.

“Dengan berbasis DAS, hutan Aceh akan dikelola dari hulu sungai sampai ke pinggir laut. Hal ini akan memudahkan Dinas Kehutanan melakukan intervensi sehingga tumbuhah di sekitar DAS, baik yang masuk kawasan hutan atau tidak, tetap dijaga.”

Berdasarkan keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 103/MenLHK-II/2015, total batas kawasan hutan Aceh mencapai 8.697,80 kilometer. Terdiri dari batas fungsi, batas luar dan eclave. “Hutan Aceh harus diselamatkan karena benteng terakhir keanekaragaman hayati hutan alam tropis di Sumatera. Dinas Kehutanan terus berupaya menyelesaikan tapal batas dengan melakukan penertiban dan mempercepat pengukuhan,” ungkap Husaini.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,