,

Sejengkal Kawasan Untuk Keanekaragaman Hayati Di Cagar Alam Darajat

Mungkin tak banyak orang yang tahu sejak abad ke-20, Kabupaten Garut namanya telah termasyur dengan julukan Swiss Van Java. Julukan tersebut disandang karena Garut memliliki panorama alamnya yang indah, udaranya yang sejuk, hamparan lembah serta deretan pegunungan luas yang mengelilingi wilayah tersebut seolah menambah kenyamanan kawasan selatan Jawa Barat ini bak negara Swiss.

Berdasarkan data yang dihimpun, legenda komedi Charlie Chaplin pun pernah bertandang menginjakkan kakinya ke tanah Garut sebanyak dua kali tahun 1935 silam. Disebutkan alasanya karena ketertarikan akan keindahan dan eksotisme alam Garut.

Namun, seiring perkembangan zaman serta kemajuan teknologi yang semakin pesat, keadaan pun berubah. Dampak perubahannya terhadap lingkungan di kawasan Cagar Alam Darajat misalnya, banyak lahan yang beralih fungsi menjadi tempat wisata, pemukiman warga, perkebunan dan kawasan sumber daya alam panas bumi.

“Dulu wilayah Kamojang- Guntur-Papandayan-Darajat adalah satu landscape yang didalam nya dihuni flora dan fauna yang cukup lengkap. Tetapi sekarang berdasarkan data dari satelit, wilayah tersebut telah terpisah dan terfragmen. Banyak hutan yang hilang akibat alih fungsi lahan,” kata Direktur Konservasi Elang Indonesia, Gunawan disela – sela pemantauan di kawasan Cagar Alam Darajat, Senin ,(28/03/2016) lalu.

Baru – baru ini pihaknya melakukan survei dan inventarisasi keanekaragaman vegetasi dan satwa di kawasan cagar alam Darajat – Papandayan. Hasilnya menunjukan 4 ordo primata dan carnivora, 5 jenis reptil, 28 famili burung dan 5 jenis tumbuhan hidup di kawasan tersebut.

“Kami temukan satwa yang dilindungi antara lain macan tutul, surili, lutung jawa dan beberapa jenis elang. Temuan kami yang menarik adalah temuan ajag merah yang terperangkap kamera jebak. Keberadaan ajag merah ini sangat langka dan sulit ditemukan,” ungkapnya.

Seorang peneliti sedang mengamati burung menggunakan teropong di kawasan Cagar Alam Darajat, Garut, Jawa Barat, pada Maret 2016. Kawasan tersebut telah dilakukan inventarisasi dan pemetaan guna mendapatkan data tentang flora dan fauna yang masih ada. Foto : Donny Iqbal
Seorang peneliti sedang mengamati burung menggunakan teropong di kawasan Cagar Alam Darajat, Garut, Jawa Barat, pada Maret 2016. Kawasan tersebut telah dilakukan inventarisasi dan pemetaan guna mendapatkan data tentang flora dan fauna yang masih ada. Foto : Donny Iqbal

Gunawan mengatakan pemantauannya tersebut dilakukan selama 21 hari dengan menyisir beberapa jalur yang sudah ada. Dia menambahkan temuannya itu dilakukan dengan cara memasang kamera jebak di 19 titik lokasi yang berbeda. Dia juga melanjutkan luasan daerah yang di survei, sekitar 3/4 dari luasan Cagar Alam Darajat – Gunung Papandayan .

Sebelumnya, sudah ada penelitian tahun 1943 oleh Hoogerwerf, kata Gunawan, hasil penemuannya dulu di lokasi yang sama ditemukan 115 spesies burung.

“Data secara spesifik mengenai jumlah spesies dan hasil temuan 115 spesies burung itu tidak ada catatan aslinya. Namun apabila benar, mungkin telah terjadi kepunahan yang cukup besar. Kami hanya mendapatkan data dari pengamatan kami sebanyak 72 spesies burung,” Ujarnya.

Kondisi Hutan

Dia mengungkapkan degradasi dan kerusakan hutan lindung kian mengancam keberadaan satwa – satwa yang di lindungi. Menurutnya kondisi hutan yang kian rusak berpengaruh terhadap habitat keanekaragaman hayati karena berkaitan dengan ekosistem dan sumber  makanannya.                                                                                                                                                                                                                                                                                    “Berdasarkan data IUCN, surili, owa dan ajag statusnya terancam punah. Kemudian macan tutul dikategorikan kritis keberadaanya. Untuk surili habitatnya hanya ditemukan di Jawa Barat saja tidak di temukan di daerah lain,” jelas Gunawan.

Macan tutul (Panthera pardus), salah satu satwa dilindungi yang hidup di kawasan Gunung Ciremai. Satwa ini terancam karena terjadinya kebakaran di Taman Nasional Gunung Ciremai. Foto : CI Indonesia
Macan tutul (Panthera pardus), salah satu satwa dilindungi yang hidup di kawasan Gunung Ciremai. Satwa ini terancam karena terjadinya kebakaran di Taman Nasional Gunung Ciremai. Foto : CI Indonesia

Dia menjelaskan untuk temuan macan tutul yang terekam oleh kamera jebak ada sepasang dewasa dan dua macan lainya berusia remaja. Untuk mengetahui jumlah, kata dia, tidak mudah untuk mengetahui hal tersebut. Perlu ada kajian lebih mendalam, pihaknya hanya melakukan inventarisasi belum bisa menyimpulkan berapa jumlah macan tutul yang ada di kawasan tersebut.

Selain mamalia, kata Gunawan, ada beberapa jenis burung di Cagar Alam Darajat yang keberadaannya harus dijaga dari perburuan dan pemeliharaan. Dia menyebutkan ada 10 jenis burung dilindungi yang berada di Darajat antra lain elang ular bido, elang hitam, elang mbrontok, cekakak Jawa, cekakak sungan, tepus pipi-perah, kipasan ekor-merah, Madu ogunung, madu Jawa dan opior Jawa.

Dia menambahkan di kawasan tersebut masih terdapat burung endemik yang keberadaanya kian terancam serta sulit ditemukan seperti luntur gunung dan luntur harimau. Diperkirakan tinggal ratusan pasang saja yang hidup di Jawa.

Intervensi Manusia

“Ketika pemantauan kami sempat melenceng dan tersesat dari jalur yang sebenarnya. Namun, ada hikmah juga ketika kami tersesat. Kami menemukan jejak satwa dan kotoran satwa yang kami cari ternyata ketemu disana,” paparnya.

Gunawan melanjutkan, ketika tersesat timnya memantau keadaan hutan masih dalam kondisi bagus. Hanya saja, kata dia, ada kawasan hutan yang sepi (silent forets) tidak ada kicau burung seperti tak ada kehidupan.

Elang Jawa (Nisaetus bartelis) yang berada di Pusat Konservasi Elang Kamojang, Garut direhabilitasi agar naluri liarnya bisa tumbuh kembali sebelum bisa dilepasliarkan. Diduga jumlah populasi di alam semakin berkurang dan masuk kedalam satwa paling terancam punah. Foto : Donny Iqbal
Elang Jawa (Nisaetus bartelis) yang berada di Pusat Konservasi Elang Kamojang, Garut direhabilitasi agar naluri liarnya bisa tumbuh kembali sebelum bisa dilepasliarkan. Diduga jumlah populasi di alam semakin berkurang dan masuk kedalam satwa paling terancam punah. Foto : Donny Iqbal

“Hutannya hening, padahal biasanya di ketinggian yang tidak terlalu tinggi seperti itu. Seharusnya ramai oleh kicau burung. Malah kaya hutan mati, tetapi semakin kedalam hutan terdengar lagi suara kicau burung,” ungkapnya.

Dia menambahkan, di setiap jalur yang dilalui ditemukan bekas kemah manusia yang berada di kawasan Cagar Alam Darajat – Gunung Papandayan. Padahal menurut Gunawan, cagar alam harus seteril dari intervensi manusia. Dia melanjutkan, apabila manusia sering masuk ke kawasan cagar alam, nantinya akan berpengaruh pada ekosistem yang ada.

“Jika kasusnya seperti tadi, itu mengindikasikan bahwa masih banyak aktivitas masyarakat (salah satunya berburu) yang masuk ke kawasan tersebut. Sebetulnya itu dilarang dan ada aturanya, karena salah satu fungsi cagar alam kan untuk melindungi flora dan fauna,” katanya.

Dia mengatakan penemuannya ini hasil kerjasama antara Chevron Geothermal Indonesia, Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia dan Yayasan Konservasi Elang Indonesia. Kegiatan keanekaragaman hayati di kawasan tersebut adalah bagian dari program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim berbasis keanekaragaman flora dan fauna di Riau dan Garut.

Survei yang dilakukan Yayasan Konservasi Elang Indoneia, nantinya akan dimanfaatkan sebagai data awal untuk perlindungan serta pengawasan Kawasan Konservasi Gunung Darajat. Kedepannya, kata dia, perlu dirumuskan metode (model kegiatan) yang saling mendukung. Agar habitat dan ekosistem keanekaragaman hayati terjaga dan masyarakat juga tetap berdaya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,