,

Kebun Sepucuk OKI Model Restorasi Gambut Berbasis Ekonomi di Sumsel

Restorasi lahan gambut di Indonesia bukan hanya bertujuan untuk mengembalikan fungsi ekologi, tetapi juga bermanfaat secara ekonomi bagi masyarakat. Salah satu contohnya kebun plasma nutfah Sepucuk, Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Kebun Sepucuk seluas 20 hektare di lahan gambut bekas kebakaran 2010 ini akan dijadikan contoh restorasi gambut berbasis ekonomi di Indonesia.

Demikian penjelasan Nazir Foead, Kepala Badan Restorasi Gambut Nasional (BRG), saat meninjau kebun Sepucuk, Selasa (05/04/2016). “Saya sangat mengapresiasi kebun plasma ini. Ada beberapa jenis tanaman yang sudah diteliti oleh para ahli. Luar biasa apa yang telah dikerjakan dalam beberapa tahun terakhir. Tanaman yang digunakan sudah tumbuh baik. Di sini ada jelutung, gelam, dan beberapa jenis lainnya.”

Dijelaskan Nazir, restorasi  lahan gambut yang terbakar di wilayah ini akan menjadi model bagi BRG dalam merestorasi 1-2 juta hektare gambut di Indonesia dengan cara melibatkan masyarakat. “Artinya, kami juga akan bekerja sama dengan masyarakat untuk merestorasinya dan penanamannya. Agar masyarakat juga mendapatkan tambahan penghasilan ekonomi, dan menciptakan lapangan pekerjaan baru.”

Kegiatan restorasi gambut selain mengembalikan ekologi gambut,  juga harus memperhatikan ekologi tanaman yang bisa tumbuh di lahan gambut basah, serta bernilai ekonomi. “Masyarakat sekitar atau sektor swasta yang ingin terlibat dalam kegiatan restorasi lahan gambut ini sebaiknya menanam tanaman yang hasilnya bisa dipanen. Kami juga menginginkan pembangunan pabrik pengolahannya (getah jelutung) juga dekat dengan lokasi penanaman. Jadi, keluar dari provinsi, sudah ada nilai tambahnya,” katanya.

Iskandar, Bupati OKI,  menyambut baik upaya BRG untuk merestorasi lahan gambut di kabupatennya. Dikatakan Iskandar, selain jenis tanaman yang berkarakter lahan gambut, tata kelola kanal amat penting dalam merestorasi gambut. ‘”Harus ada sistem pengelolaan kanal yang baik dan terintegrasi. Kami minta perusahaan duduk bersama dalam pengelolaan air, dan yang paling penting jangan mengganggu pertanian,” katanya.

Konsesi PT. BMH di Sumatera Selatan yang terbakar 2015 lalu. Foto: Berlian Pratama

Komitmen perusahaan sawit

Sampai saat ini, komitmen sejumlah perusahaan di Sumatera Selatan yang konsesinya di lahan gambut terkait penataan lahan gambut dan upaya pencegahan karhutlah (kebakaran hutan dan lahan) belum 100 persen.

“Setahu saya, yang melakukan komitmen terbuka ke publik baru perusahaan HTI (Hutan Tanaman Industri). Mereka sudah mendeklrasikan diri. Sehingga, pemerintah dan masyarakat sudah dapat melakukan monitoring terhadap apa yang sudah dikomitmenkan,” kata Dr. Najib Asmani, Staf Khusus Gubernur Sumsel Bidang Perubahaan Iklim, Selasa (05/04/2016).

“Sejumlah perusahaan sawit sudah mempersiapkan diri dalam upaya pencegahan dan mengatasi karhutlah. Khususnya yang bergabung dengan GAPKI. Tapi saya tidak tahu dengan perusahaan-perusahaan sawit lainnya. Mungkin mereka juga sudah berkomitmen tapi tidak terpublikasi ke publik,” ujarnya.

Adio Syafri dari Hutan Kita Institute (HaKI) membenarkan belum terlihat jelas di publik komitmen perusahaan-perusahaan sawit yang beroperasi di Sumatera Selatan terkait program pencegahan dan penanggulangan karhutlah, termasuk pula mendukung upaya restorasi gambut. “Tapi saya tahu ada perusahaan yang sudah mempersiapkan diri sejak dini. Bahkan sukses mengatasi persoalan kebakaran di konsesinya pada 2015 lalu,” ujarnya.

Syafri setuju jika ada wacana di BRG, yang pada masanya nanti lahan gambut tidak lagi ditanami kelapa sawit. “Sawit memang tidak baik bagi lahan gambut. Sebuah jalan tengah jika perkebunan sawit saat ini terus berjalan hingga izin konsesinya habis. Tapi setelah itu benar-benar tidak lagi ditanam kelapa sawit,” ujarnya.

Syafri juga berharap lahan gambut yang direstorasi—bekas kebakaran—kedalamannya paling rendah tiga meter. “Jangan sampai yang direstorasi kedalamanan 5 meter ke bawah. Di Sumsel sendiri diperkirakan dari 400-an ribu hektare lahan gambut yang terbakar, sekitar 120 ribu hektare yang harus direstorasi pada tahap awal,” ujarnya.

Kepala BRG Nazir Foead melakukan penanaman pohon di kebun restorasi gambut flasma nutfah Sepucuk Kayuagung, OKI, Sumsel. Foto: Humas Pemkab OKI
Kepala BRG Nazir Foead melakukan penanaman pohon di kebun restorasi gambut flasma nutfah Sepucuk Kayuagung, OKI, Sumsel. Foto: Humas Pemkab OKI

Joko Waluyo Priyadi, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Sumsel membantah jika perusahaan perkebunan sawit yang bergabung dengan organisasinya tidak berkomitmen dalam mengatasi persoalan karhutlah.

“Tidak benar pandangan tersebut. Semua perusahaan yang tergabung GAPKI terus melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan karhutlah,” kata Joko melalui sambungan telepon kepada Mongabay Indonesia, Selasa (05/04/2016).

Selain menegakkan aturan hukum yakni mengolah lahan tanpa bakar, 65 perusahaan perkebunan sawit yang bergabung dalam GAPKI Sumsel, juga melengkapi sarana dan prasarana untuk pencegahan dan penanggulangan karhutlah.

Program terkait dengan masyarakat dalam mengatasi Karhutlah yang dijalankan Petani Peduli Api (PPA). Program ini melibatkan plasma. “Mereka bertugas bukan hanya menjaga lahan perkebunan, juga lahan-lahan di sekitar perusahaan. Sebab, kebakaran tidak mengenal batasan lahan,” katanya.

Saat ini sudah dilakukan Training of Trainer (TOT) terhadap ratusan anggota PPA. “Pada 6-8 April 2016 ini dilakukan TOT untuk angkatan keempat,” ujarnya.

Selain itu perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit yang tergabung dalam GAPKI juga melakukan pembuatan embung dan sekat kanal, sehingga pada musim kemarau lahan tidak mengalami kekeringan. “Dijamin,” kata Joko yang tengah menghadiri pelatihan PPA di Desa Teluk Tenggulang, Kecamatan Tungkal Ilir, Kabupaten Banyuasin. PPA dibentuk oleh PT. Sumber Terang Agro Lestari (STAL).

Dari sekitar 252 perusahaan perkebunan kelapa sawit di Sumsel, baru 65 perusahaan yang bergabung dalam GAPKI. Luas konsesi perkebunan yang dikelola 65 perusahaan tersebut 309.691 hektare, sedangkan lahan plasmanya seluas 192.618 hektare.

Mengapa tidak semua perusahaan perkebunan kelapa sawit bergabung ke GAPKI? “Inilah yang kami harapkan, agar semua perusahaan bergabung. Banyak keuntungan bergabung, misalnya dapat berkoordinasi antarperusahaan terkait regulasi, termasuk persoalan Karhutlah. Tidak ada yang dirugikan, apalagi iuran keanggotaan cukup kecil dibandingkan dari hasil,” papar Joko.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,