,

Korsup KPK di Kalimantan Barat, Akankah Masalah Perkebunan Sawit Terselesaikan?

Kalimantan Barat kedatangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 4 – 8 April 2016. Agenda koordinasi dan supervisi (korsup) kali ini adalah mengungkap permasalahan perkebunan kelapa sawit. Turunnya KPK diharap mampu menjawab permasalahan hak dan akses masyarakat atas ruang, keberlanjutan lingkungan, serta tumpang tindih dan keterlanjuran izin yang telah melebihi luas wilayah daratan.

“Meski ranah pencegahan, korsup hutan dan kebun oleh KPK, kita harapkan menjadi dasar proses penindakan dalam konteks penegakan hukum,” ungkap Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Barat, Anton P Widjaya, Selasa (4/04/2016).

Anton menambahkan, Korsup KPK diharapkan mampu memaksa Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat untuk lebih serius menata dan memastikan perkebunan kelapa sawit yang betul-betul mampu berkontribusi bagi penerimaan negara. “Selain itu juga, mampu menjawab konflik dan kerusakan yang terjadi. Tentu saja dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat.”

Dia memaparkan, persoalan utama perkebunan kelapa sawit di Kalbar adalah pada perizinan, tidak ada kesamaan data terkait jumlah izin, tahapan izin, status dan luasan hak guna usaha. Pemerintah Kalbar juga tidak mempunyai data pasti terkait luasan dan jumlah smallholder atau petani kelapa sawit yang mengembangkan kebunnya dibawah 10 hektare.

Selain itu, tidak optimalnya penerimaan negara terkait PBB, produksi dan PPNPPH serta pajak ekspor menjadi masalah tersendiri. Belum lagi konflik di area perkebunan kelapa sawit dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan penanaman tanaman homogen di hamparan yang luas. “Dengan banyaknya persoalan ini, Walhi Kalbar mendukung korsup guna memperbaiki tata kelola perkebunan kelapa sawit,” tukasnya.

Pada November 2015, Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Aidenvironment telah memberikan data hasil kajian 194 perusahaan sawit yang melanggar Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Disebutkan, banyak perusahaan kelapa sawit yang melakukan penyalahgunaan lahan yang jelas-jelas melanggar RTRWP dan peraturan terkait kawasan hutan. Sehingga, perusahaan tersebut tidak layak mengikuti skema PP No 60/2012 tentang perubahan atas PP No 10/2010 tentang tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan.“Ada upaya pembukaan perkebunan sawit yang secara izin legal, namun secara kawasan kehutanan jelas ilegal. Perusahaan tersebut menanam sawit di daerah seperti hutan lindung, taman nasional, atau kawasan konservasi,” kata Peneliti Aidenvironment Ivan Valentina Ageng, yang dilansir dari Antikorupsi.org. Terdapat indikasi juga adanya perusahaan yang melanggar tata ruang kehutanan yang telah diatur dalam UU No 41/1999 tentang kehutanan, namun pemerintah daerah tetap memberikan izin untuk menggunakan kawasan hutan menjadi kebun sawit.

Dampak dari perambahan hutan menjadi kebun sawit ilegal memiliki dampak yang luas, salah satunya berpotensi menimbulkan kerugian negara yang cukup besar. Mouna Wasef peneliti Divisi Riset ICW menyebutkan, 329.353 ribu hektar lahan di Kalteng yang dijadikan kebun sawit terdapat potensi kerugian negara sebesar Rp16 triliun. Sedangkan di Kalbar lahan seluas 115,71 hektare memiliki potensi kerugian sebesar Rp5,59 triliun.

“Ini baru dihitung sekali dalam setahun. Kalau dihitung lagi tahun setelahnya, potensi kerugiannya mungkin lebih besar,” tegas Mona.

Persoalan perkebunan kelapa sawit, sebenarnya sudah dipetakan pada 2014 oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang yang Adil dan Berkelanjutan. Koalisi yang terdiri dari gabungan organisasi non-pemerintahan di Kalimantan Barat ini menyebutkan dari total konsesi perkebunan kelapa sawit seluas 4,9 juta hektare, terdapat 841.610 hektare konsesi atau 17% beroperasi di kawasan hutan.

Korsup hutan dan perkebunan sawit yang dilakukan KPK di Kalimantan Barat diharapkan dapat menjadi dasar penegakan hukum. Foto: Rhett Butler

Analisis spasial

Swandiri Institute (SI), lembaga penelitian di Kalbar melakukan analisis spasial dan menemukan hal menarik. Dari luasan konsesi sawit yang ada di kawasan hutan, terdapat 447.635 hektare atau 53% yang diusulkan pelepasannya menjadi kawasan areal penggunaan lain (APL) dalam revisi RTRWP Kalimantan Barat. Dengan demikian kuat dugaan, revisi RTRWP telah dijadikan sarana bagi pemilik konsesi sawit yang beroperasi di kawasan hutan untuk lepas dari jerat hukum.

Peningkatan luas konsesi kelapa sawit dipicu dua regulasi yakni PP 50 tahun 2012 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dan SK 936/Kemenhut-II/tahun 2013 tentang Perubahan Peruntukan fungsi  dan Penunjukan Kawasan. Kedua regulasi tersebut memungkinkan untuk dilakukan pemutihan terhadap kawasan hutan. Sementara, jika ditinjau dari sisi regulasi kedua peraturan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Imbasnya, terjadi degradasi lahan, deforestasi, serta masalah sosial.

Analisa dilakukan dengan metode overlay peta perkebunan sawit dengan kawasan hutan, kemudian di-overlay dengan peta usulan revisi RTRWP, dan terakhir di-overlay lagi dengan lampiran peta SK.936/Menhut-II/2013. “Angka-angka temuan di atas, mengkonfirmasi bahwa revisi RTRWP Kalbar telah dijadikan sarana pemutihan konsesi sawit yang menyalahi peruntukan kawasan hutan benar adanya,” kata Hermawansyah, Direktur Swandiri Institute. Bahkan, dalam konsesi sawit yang dilepaskan atau diubah peruntukan kawasannya menjadi APL, terdapat 51 konsesi yang telah ditanami sawit seluas 24.912,88 hektare. Dengan kata lain, ini merupakan proses skenario pemutihan atas pelanggaran peruntukan kawasan hutan oleh perkebunan sawit.

Dalam risetnya, SI juga menemukan alur tokoh-tokoh yang menjalankan perannya dalam proses pelepasan kawasan di Kalimantan Barat. “Terdapat aktor sentral yaitu broker, pimpinan politik lokal, kerabat dan birokrat sektor kehutanan,” tutur periset SI, Happy Hendrawan.

Pelepasan kawasan sendiri dilakukan untuk penyediaan lahan perkebunan sawit yang merupakan investasi primadona dan selalu diasumsikan oleh pemangku kebijakan sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD) dan solusi kurangnya lapangan kerja.

“Kebijakan pragmatis tersebut pada satu sisi telah menegaskan perkebunan sawit menjawab persoalan lapangan pekerjaan. Artinya pekerjaan masyarakat selama ini dianggap bukan lapangan pekerjaan,” paparnya.

Kerugian yang diderita negara akibat tidak transparannya informasi pengelolaan sumber daya alam hasil Korsup KPK sebelumnya mengenai minerba. Grafis: Mongabay Indonesia

Temuan lainnya adalah timbulnya konflik tenurial yang meliputi masyarakat dengan perusahaan sawit, masyarakat dengan pemerintah daerah, masyarakat dengan masyarakat (yang pro dan kontra), izin konsesi tumpang tindih sesama perkebunan sawit ataupun dengan pertambangan.

“Aktor sentral, serta temuan-temuan riset ini sebenarnya sudah kami sampaikan ke KPK pada 2014. Kami ingin tahu, apakah data-data tersebut menjadi bahan acuan bagi mereka,” tambah Hermawansyah.

Khusus untuk riset analisis jaringan tata kelola hutan dan lahan, Kabupaten Ketapang dan Kapuas Hulu menjadi daerah penelitian. Pelanggaran di konsesi perkebunan sawit di dua kabupaten tersebut, terekam detil melalui titik koordinat dan beberapa foto pendukung. Masalah yang jamak adalah temuan perusahaan yang mempunyai konsesi di hutan lindung, serta areal-areal gambut konservasi. “Kedatangan KPK di Kalimantan Barat untuk koordinasi dan supervisi, diharapkan bisa melihat temuan ini secara mendalam, dan ada penegakan hukum sebagai tindak lanjutnya,” jelasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,