,

Beginilah Peppasang, Kearifan Masyarakat Adat Tapong Menjaga Hutan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, pada 10 Januari 2016 lalu telah mengetuk palu mengesahkan Peraturan Masyarakat Adat. Perda ini menjadi angin segar bagi puluhan tahun perjuangan pengakuan masyarakat adat di Enrekang.

Ada kekhawatiran sejumlah pihak akan adanya pengelolaan hutan secara serampangan setelah adanya Perda ini, meski pada kenyataannya masyarakat adat di Enrekang sendiri memiliki mekanisme pengelolaan hutan lestari yang telah diwariskan secara turun temurun.

Salah satu komunitas dengan aturan adat pengelolaan hutan yang kuat dijalankan adalah komunitas adat Tapong. Secara administratif, wilayah adat komunitas ini berada di Desa Tapong, Kecamatan Maiwa, yang terdiri dari lima dusun yaitu Cilallang, Cempa, Battilang,Tempe-Tempe 1 dan Tempe-Tempe 2.

Menurut Paundanan Embong Bulan, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Massenrempulu Enrekang, dari hasil studi etnografi yang dilakukan beberapa waktu lalu menemukan bahwa meski sebagian besar kehidupan masyarakat adat Tapong ditopang oleh ketersediaan sumber daya hutan, namun mereka tidak secara serampangan dalam pengelolaannya.

”Ada mekanisme adat yang ketat dari dalam hal pengelolaan hutan, yang masih terjaga hingga sekarang,” ungkap Paundanan di Enrekang, yang ditemui Selasa (05/04/2016).

Menurut Paundanan, bagi masyarakat adat Tapong, hutan merupakan sumber penghidupan kolektif, untuk mencukupi kehidupan sehari-hari secara subsisten. Berlaku prinsip kolektivisme atau kepemilikan bersama dalam hal penguasaan sumber daya hutan.

Masyarakat adat Tapong ini memiliki kearifan lokal atau Pangngadaran yang dikenal dengan istilah peppasang yang berarti ‘pesan-pesan leluhur’, yang harus ditaati dan dijalankan oleh anggota komunitas adat Tapong maupun pihak-pihak dari luar. Konsep yang sama dengan ‘pasang’ di komunitas adat Ammatoa Kajang Bulukumba.

“Jika ditemukan adanya pelanggaran atas peppasang ini maka akan dikenakan sanksi adat yang dikenal dengan istilah na ceccuko lontara. Beratnya sanksi tergantung pada tingkat pelanggaran yang dilakukan,” tambah Paundanan.

Terkait dalam hal pengelolaan hutan sendiri di komunitas ini dikenal istilah Mappemali, berupa larangan melakukan penebangan kayu, baik di wilayah hutan larangan, maupun di wilayah hutan kelola selama 4 bulan di setiap tahunnya.

Menurut Paundanan, masih terkait pengelolaan hasil-hasil hutan, masyarakat adat Tapong sangat memperhatikan keseimbangan dan keberlangsungan hutan dan hasil-hasilnya. Hal ini bisa dilihat dari adanya kebiasaan mengambil madu hutan tanpa merusak hutan atau pohon tempat lebah madu tersebut bersarang.

Di masa lalu, pada pola pertanian dan perkebunan dikenal istilah “gilir balik”, dimana masyarakat dalam membuka dan mengelola lahan secara berpindah-pindah di satu kawasan yang sama dengan rentang waktu tertentu.

“Hanya saja, pola tersebut sudah tidak dilaksanakan lagi, disebabkan wilayah kelola perladangan ini sebagian besar telah dimasukkan ke dalam kawasan hutan Negara, sehingga akses masyarakat terhadap hutan menjadi terbatas.”

Dengan kondisi alam yang subur, komunitas ini memiliki banyak potensi sumber daya alam sebagai sumber penghidupan masyarakat seperti rotan, madu, aren, kayu ebony dan berbagai jenis kayu yang berkualitas lainnya. Untuk tanaman perkebunan yang banyak dikelola warga antara lain  coklat, kemiri, lada putih, durian, langsat, rambutan.

“Kita juga menemukan banyak tanaman obat-obatan seperti akar kuning, tampa lorong, dengeng-dengeng, sambiloto, Sinaja, dan lainnya. Tanaman lain adalah berbagai jenis palem hutan, anggrek hutan.”

Wilayah adat Tapong juga memiliki sejumlah satwa endemik, seperti burung alo atau rangkong, ayam hutan, rusa, babi hutan, ular piton.

Peta kawasan adat Tapong, Enrekang, Sulsel hasil pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh warga atas dampingan dari Unit Kerja Pelayanan Pemetaan Partisipatif (UKP3) AMAN Sulsel. Sumber: UKP3/Syafruddin
Peta kawasan adat Tapong, Enrekang, Sulsel hasil pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh warga atas dampingan dari Unit Kerja Pelayanan Pemetaan Partisipatif (UKP3) AMAN Sulsel. Sumber: UKP3/Syafruddin

Sebagaimana di tempat lain, masyarakat adat Tapong pun tak luput dari kasus perampasan wilayah adat oleh pemerintah, dimana pada tahun 1980-an, wilayah adat Tapong dimasukkan dalam kawasan Hutan Lindung (HL). Penetapan ini dilakukan tanpa melibatkan masyarakat adat yang ada di sana sehingga menimbulkan pertentangan.

“Penetapan sepihak status kawasan hutan ini menyebabkan wilayah adat yang menjadi ruang kehidupan masyarakat adat Tapong semakin sempit. Ini juga merusak tatanan sistem sosial ulayat yang ada di sana.”

 Ritual dan Kelembagaan Adat

 Kearifan masyarakat adat Tapong dalam menjaga hutan bisa dilihat dari adanya peppasangyang menyatakan “Malilu SipakaingE, Rebba Si Patokkong, Mali’ SiParappe, Tassikojo-kojo Lembong”, yang berarti saling mengingatkan ketika terjadi pelanggaran adat, hendaknya jangan mengambil hak yang bukan milik. Pohon di hutan yang diambil tanpa persetujuan dari kelembagaan adat dianggap sebagai pelanggaran serius.

Beragam tradisi dan ritual tetap terjaga di masyarakat adat Tapong, Enrekang, Sulsel. Seperti halnya di Toraja, di komunitas adat Tapong ini juga dikenal ritual Rambu Solo, sebagai ritual kematian dan Rambu Tuka untuk ritual pesta adat atau perkawinan. Foto : Wahyu Chandra
Beragam tradisi dan ritual tetap terjaga di masyarakat adat Tapong, Enrekang, Sulsel. Seperti halnya di Toraja, di komunitas adat Tapong ini juga dikenal ritual Rambu Solo, sebagai ritual kematian dan Rambu Tuka untuk ritual pesta adat atau perkawinan. Foto : Wahyu Chandra

Dalam penyelesaian konflik dikomunitas adat, penetapan waktu pertanian, pembukaan lahan, upacara-upacara adat di rumuskan dalam pertemuan yang dikenal dengan nama Sipulung Wanua.

Menurut Paundanan, Sipulung Wanua ini merupakan kegiatan yang sangat krusial dilaksanakan untuk merumuskan dan memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan keberlangsungan kehidupan masyarakat adat Tapong terkait pengelolaan sumber daya alam di wilayah adat mereka.

Sejumlah ritual adat juga masih tetap dilaksanakan hingga sekarang secara rutin, seperti Maccera Jerame atau pesta panen. Dalam pelaksanaan pesta panen ini berlangsung ritual seperti Mappadendang atau menabuh palung dan Ma’doa atau berdoa.

Ada juga ritual Mappasoso Salu, yang dilakukan apabila salah satu anggota komunitas adat melakukan kegiatan aqiqah atau perkawinan.

Seperti halnya di Toraja, di komunitas adat Tapong ini juga dikenal ritual Rambu Solo, sebagai ritual kematian dan Rambu Tuka untuk ritual pesta adat atau perkawinan.

Terkait kelembagaan adat, di komunitas ini dikenal jabatanTo Matua sebagai lembaga adat tertinggi atau merupakan pemimpin Masyarakat Adat Tapong.

 Lambaga adat lainnya adalah Dulung, yang bertanggunjawab dalam urusan pertanian dan pengelolaan sumber daya alam.Sementara lembaga Ada’ Sara, secara khusus mengurus masalah-masalah keagamaan dan kebudayaan atau tradisi lokal.

”Ada juga lembaga adat yang dinamakan Ada’ Sanro, yang bertanggungjawab dalam urusan-urusan pengobatan tradisional dan ritual tolak bala,” tambah Paundanan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,