Nelayan Aceh Dukung Kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan

Ribuan nelayan dari berbagai daerah di Indonesia, pada 6 April 2016 berunjuk rasa di depan kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Lapangan Silang Monas, dan depan Istana Negara.

Dalam unjuk rasa tersebut, massa yang tergabung dalam Gerakan Nasional Masyarakat Perikanan Indonesia (Gernasmapi) menuntut Permen KP No.56 Tahun 2014, Permen KP No.57 Tahun 2014, Permen KP No.58 Tahun 2014, Permen KP No.2 Tahun 2015, Peraturan Pemerintah No.75 Tahun 2015, dan SE DJPB No.721 Tahun 2016 dicabut dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti dicopot dari jabatannya.

Berbeda dengan nelayan di Provinsi Aceh, masyarakat pesisir di ujung barat Indonesia ini justru mendukung kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan. Nelayan Aceh menilai, kebijakan Menteri Susi Pudjiastuti, banyak menguntungkan nelayan tradisional.

“Kami mendukung semua kebijakan yang dikeluarkan Menteri Susi. Aturan tersebut, tanpa disadari telah membantu nelayan tradisional Aceh,” sebut Musliadi, nakhoda kapal nelayan di Pelabuhan Lampulo, Kota Banda Aceh, Kamis (7/04/2016).

Musliadi yang telah 30 tahun menjadi nelayan mencontohkan aturan moratorium perizinan kapal atau Permen KP No.56 Tahun 2014, bagi nelayan Aceh, hal ini tidak ada masalah karena memang tidak ada kapal nelayan bekas asing atau kapal ukuran besar.

“Di Aceh, tidak ada kapal ukuran besar juga tidak ada yang dimiliki perusahaan. Semua kapal nelayan dimiliki perorangan, dan izinnya hanya dikeluarkan Dinas Kelautan dan Perikanan.”

Musliadi juga mengaku, aturan lain seperti larangan bongkar muat ikan di laut, juga tidak menggangu tidak berpengaruh bagi nelayan atau pengusaha perikanan di Aceh. “Setiap hari Kamis, kapal nelayan harus pulang, karena hari Jumat, nelayan di Aceh tidak boleh melaut. Bahkan, jika bak penampungan ikan telah penuh, meski baru satu hari di laut, nelayan langsung pulang.”

Jika bongkar muat ikan dilakukan di tengah laut lalu dibawa ke pabrik pengolah dan langsung ke luar negeri, kebutuhan ikan untuk masyarakat lokal akan sulit terpenuhi. “Di Aceh, ikan bisa dibeli siapapun karena harganya murah, dan hanya jenis ikan tertentu yang dijual ke perusahaan pengolah ikan untuk diekspor.”

Husein, pemilik kapal nelayan dengan 40 nelayan di Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur mengatakan, kebijakan Menteri Susi memusnahkan kapal nelayan asing yang mencuri ikan sangat menguntungkan nelayan dan pemilik kapal.

“Sebelum tegas diterapkan, setiap malam kapal trawl asal Thailand, masuk ke perairan Aceh untuk mencuri. Jumlahnya belasan bahkan puluhan. Mereka bukan hanya mencuri, tapi juga merusak terumbu karang dan ekosistem laut.”

Husein juga setuju dengan peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tentang larangan menggunakan nakhoda atau nelayan asing sebagaimana diatur dalam Permen No. 58/Permen-KP/2014. “Masyarakat lokal harus diutamakan, terutama di wilayah pesisir,” ujarnya.

Ketua adat laut Aceh atau Panglima Laot Aceh, Teuku Bustamam mengatakan, kebijakan dibuat KKP, sangat sesuai dengan hukum adat laut Aceh. Aturan-aturan tersebut menguntungkan nelayan tradisional. “Dalam beberapa pertemuan dengan Menteri Susi, kami selalu menyampaikan dukungan.”

Nelayan Aceh yang mendukung dengan kebijakan penenggelaman kapal pencuri ikan asing. Foto: Junaidi Hanafiah
Nelayan Aceh yang mendukung kebijakan penenggelaman kapal pencuri ikan asing. Foto: Junaidi Hanafiah

Bustaman mengaku, aturan adat laut di Aceh, melarang nelayan menangkap ikan dengan cara merusak seperti menggunakan racun, bom, atau pukat harimau. Aturan adat juga melarang nelayan membunuh bibit ikan. “Permen No. 2/Permen-KP/2015 tentang larangan alat tangkap trawl atau jaring pukat merupakan aturan sangat penting untuk menjaga ekosistem laut tidak rusak. Bahkan, larangan memakai alat tangkap tersebut, telah dipatuhi turun-temurun oleh nelayan Aceh.”

Sekretaris Jaringan Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh (KuALA), Marzuki, pernah menjelaskan, untuk pengelolaan laut, Pemerintah Indonesia harus belajar dari Lembaga Adat Laut Aceh. Menurutnya, meski aturan adat yang dikeluarkan cukup keras, namun nelayan menaatinya, karena aturan itu tidak merugikan.

Marzuki mencontohkan, ada hari pantang melaut di Aceh yang dalam satu tahun jika dikalkulasi mencapai dua bulan. Jumlah tersebut belum termasuk ketika nelayan libur karena cuaca buruk. “Misal, nelayan tidak melaut pada hari jumat setiap minggu. Atau juga pada Lebaran Idul Fitri dan Idul Adha.”

Dalam waktu tersebut, ikan memiliki kesempatan berkembang biak, sementara nelayan ada waktu kumpul bersama keluarga. Panglima Laot juga melarang nelayan menggunakan pukat harimau, bom, atau racun. “Aturan adat ini ramah lingkungan dan tidak merusak ekosistem laut. Bagi pelanggar, akan dikenakan hukuman berat, termasuk penyitaan hasil tangkapan,” ujar Marzuki.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,