, ,

Soal Moratorium Izin Kebun Sawit dan Tambang, Apa Kata Aktivis Lingkungan?

Tanpa disangka-sangka, Presiden Joko Widodo, menyatakan, niat menyetop sementara (moratorium) izin kebun sawit dan tambang,  kala mencanangkan Gerakan Nasional Penyelamatan Tumbuhan dan Satwa Liar di Pulau Karya, Kepulauan Seribu, Kamis (14/4/16). Kontan banyak tanggapan muncul, seperti dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan pegiatan lingkungan ini. Apa pendapat mereka?

Walhi menyambut baik rencana ini. Zenzi Suhadi, Manager Advokasi Eksekutif Nasional Walhi berharap Inpres ini menjadi bagian pembenahan tata kelola sumber daya alam (SDA) secara struktural.

“Rencana Inpres moratorium perkebunan dan tambang menjadi momentum titik balik perbaikan tata kelola sumber daya alam dan penyelesaian konflik sumber daya alam atau agraria,” katanya di Jakarta Jumat (15/4/16).

Moratorium ini, katanya, agenda mendesak mengingat luas konsesi ekstraksi ruang dan SDA Indonesia mencapai 56 juta hektar dari hutan 132 juta hektar. “Ini belum termasuk izin tambang dan perkebunan wilayah budidaya atau peruntukan lain.”

Zenzi menilai, laju pernerbitan izin pasca desentralisasi kewenangan pusat ke daerah telah melampaui akselerasi negara dalam mengendalikan praktik kerja korporasi dan dampaknya.

Dia memaparkan, bencana ekologis dalam dalam lima tahun terakhir, banjir (6.778 kali) dan longsor di 16.127 desa. “Ini terus meningkat menunjukkan beban negara bertambah.”

Belum lagi, katanya, kebakaran dan pencemaran ekstrim asap yang membuka mata bahwa kerusakan melampaui kapasitas negara dalam mengendalikan. Padahal, dampak akumulatif lingkungan tak terikat batas administrasi wilayah dan negara.

Dengan begitu, moratorium izin ini memungkinan negara mulai mengurangi kerusakan dengan mengkaji perizinan. “Perbaikan tak akan terwujud dengan restorasi di tengah perluasan izin terus berlanjut,” ujar dia.

Walhi mengusulkan, moratorium jangan ada pengecualian, karena akan menjebak pemerintah. “Intruksi moratorium berlaku juga bagi izin prinsip atau izin lokasi hingga betul-betul menjadi momentum perbaikan lingkungan di Indonesia.” Kalau izin lokasi kebun atau izin prinsip tambang masih diproses, katanya, moratorium tak akan efektif.

Daratan indonesia, sudah dibagi habis dalam izin dengan berbagai status tingkatan. Di Kalimantan, misal, luas daratan 53 juta hektar, 47 juta hektar terbebani izin. “Kalau moratorium berlaku terhadap wilayah dan proses maka beban izin di Kalimantan atau ancaman deforestasi bisa dikurangi. Berapa selisih dari 47 juta hektar yang ada, itulah jasa baik Presiden jokowi terhadap lingkungan Kalimantan, begitu juga pulau-pulau lain.”

Moratorium ini, katanya, bisa menjadi phase pemerintah membenahi kesalahan terhadap rakyat, dengan inventarisasi, perlindungan dan pengembalian hak rakyat terhadap wilayah yang dikuasai pihak ketiga. Moratorium sawit dan tambang ini, katanya, momentum penyelesaian konflik SDA dan agraria di Indonesia.

Selama ini, kata Zenzi, konflik lahan dan lingkungan antara komunitas dengan perusahaan terjadi di mana-mana sejalan dengan laju penerbitan izin. “Ini tak berbanding lurus dengan laju pengakuan dan perlindungan wilayah kelola rakyat. Perluasan aset tanah korporasi menggunakan pemerintah dan aparat penegak hukum.”

Dengan moratorium, katanya, juga kesempatan mengembalikan peran negara yang selama ini hilang oleh kekuatan politik modal.

Menurut dia, lebih satu dekade kekayaan alam dan ruang Indonesia dalam kekuasaan dan penjarahan korporasi tanpa kendali. “Moratorium ini hendaknya menjadi phase baru bagi negara mengembalikan marwah sebagai pemegang mandat Konstitusi, mensejahterakan rakyat dalam pengelolaan SDA,” ucap Zenzi.

Sawit Watch pun senang dengan rencana Jokowi ini. Jefri Saragih, Direktur Eksekutif Sawit Watch, mengatakan, momen ini bisa jadi langkah baik mengatur tata kelola kebun sawit di Indonesia. ”Kita bisa mengoptimalkan produktivitas produk dari 15,5 hektar lahan yang ada,” katanya.

Langkah baik ini, katanya, perlu dibarengi audit perizinan sawit di hutan dan lahan gambut. Sebab, banyak perkebunan yang menyalahi aturan hingga menyebabkan langganan kebakaran hutan dan lahan setiap tahun. Audit, kata Saragih, harus mulai dengan penetapan platform izin sawit agar ada kejelasan, misal, terkait lahan. Kalau tidak, bakal banyak izin-izin sawit di kawasan lindung maupun konservasi seperti di Taman Nasional.

Sisi Kementerian Pertanian, katanya, perlu ada pengecekan izin perkebunan. Kala ada land bank atau lahan tak produktif, lakukan pencabutan izin. Hal ini, katanya, terkait produktivitas lahan sawit. “Jadi, harapan Presiden tercapai, tak hanya produksi juga produk turunan.”

Dia berharap, moratorium ini tak hanya bagus di kebijakan juga berjalan efektif di lapangan. “Jika sampai 2019 terlaksana, akan jadi image baik di mata konsumen,” katanya. Ia akan membantu pemerintah, sebagai regulator dalam menjual minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).

Greenpeace juga merespon niatan Presiden Jokowi ini. Kepala Kampanye Global Hutan Indonesia, Greenpeace, Kiki Taufik mengatakan, kebijakan ini akan memperluas moratorium yang sudah berjalan (melarang izin baru di hutan primer dan gambut). Saat ini, masih banyak hutan masuk konsesi. Harapannya, kebijakan ini juga mengakhiri ekspansi sawit harus di seluruh hutan tersisa di manapun, termasuk dalam konsesi.

Dia mengatakan, agar industri sawit tak memperluas kebun ke kawasan hutan, Greenpeace sejak lama mendorong peningkatan manfaat lebih besar dari perkebunan sawit yang ada terutama petani mandiri kecil. “Ini membutuhkan dukungan pemain besar agar dapat menyediakan keahlian mereka untuk membantu keluarga petani menaikkan produktivitas.”

Inilah pemandangan miris yang terlihat saat memasuki Kabupaten Morowali Utara. Posisi Kota Kolonodale, ibu kota kabupaten, berada di bawah lokasi tambang PT. Mulia Pasific Resources, anak perusahaan PT. Central Omega Resources Tbk. Di mana kawasan penyangga? Bagaimana sumber air bersih? Apakah air tak tercemar? Foto: Wardi Bania

Greenpeace berharap, niatan Presiden ini bisa secepatnya tertuang dalam Peraturan Presiden yang berkekuatan hukum mengikat.

“Hutan Indonesia menghilang dengan cepat sekali. Untuk itu, perlu perlindungan mendesak,” kata Kepala Greenpeace Indonesia, Longgena Ginting.

Keterbukaan data kehutanan termasuk konsesi tambang, sawit dan HTI, katanya, merupakan prasyarat penting dalam menjalankan dan mengawasi rencana Presiden ini. “Greenpeace berharap data-data yang sejak lama ditutupi segera dipublikasikan.”

Soal izin tambang, Hindun Mulaika, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia menambahkan, sejak lama izin pertambangan diperoleh gampang tanpa mempertimbangkan dampak kerusakan lingkungan. Di Kalimantan Timur, katanya, luasan pertambangan 75% dari provinsi. Hasil koordinasi dan supervisi KPK bidang mineral dan batubara, menyatakan, ada 3.966 izin usaha pertambangan (IUP) bermasalah alias non clear and clean.

Begitu banyak dampak buruk pertambangan, dari kehilangan keragamanhayati, kehilangan lahan produktif pertanian, sampai pencemaran air. “Reklamasi lahan tambang tak akan bisa memulihkan keragamanhayati yang hilang. Kelangkaan air juga memberi konsekuensi mengerikan bagi penduduk.”

Dari Sulawesi Tengah pun, merespon positif rencana Presiden ini meskipun dinilai belum menjawab penyelesaian berbagai masalah investasi. “Moratorium akan mencegah konflik baru tetapi tak menyelesaikan konflik yang ada,”kata Direktur Walhi Sulteng, Aries.

Moratorium saja, katanya, tak cukup menyelesaikan masalah di lapangan. “Kalau moratorium hanya menghentikan pemberian izin baru, tanpa menyelesaikan konflik, itu yang saya bilang tak cukup.”

Walhi Sulteng mencatat, banyak konflik pengelolaan sumberdaya alam antara warga dengan pemerintah dan korporasi. Masalah ini, tak bisa dipandang selesai hanya dengan mengambil jalan moratorium. “Perlu skema penyelesaian konflik dengan mereview semua izin.”

Data Walhi Sulteng menyebutkan, konflik lahan, sekitar 40 kasus melibatkan langsung aparat keamanan, mulai intimidasi, ancaman penangkapan, hingga warga ditembaki dan meregang nyawa oleh senjata aparat. “Luas kebun sawit perkebunan sawit 700.000 hektar, pertambangan 1,2 juta hektar. Ini tidak main main. Sangat besar. Kalau kita bandingkan dengan luas daratan Sulteng 6 juta hektar, sisanya dikuasai kehutanan 4,2 juta hektar.”

Walhi Sulteng merekomendasikan tiga hal agar moratorium efektif. Pertama, pemerintah harus konsentrasi mendorong pelibatan rakyat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Kedua, tak bergantung rezim modal yang menyingkirkan rakyat. Ketiga, pemberian subsidi pada petani, dan jaminan transformasi sosial.

Direktur Jaringan Advokasi Tambang Sulteng, Syahrudin Ariestal berpendapat, perlu moratorium izin tambang dan sawit. Manfaat moratorium, katanya, besar sekali dalam melindungi kerusakan alam dan mengurangi penggusuran maupun dampak negatif kepada masyarakat. “Ini akan membantu proses advokasi yang berlangsung.”

Jatam Sulteng berhasil mendorong pencabutan 92 IUP di Morowali. Kala ada moratorium, otomatis konsesi yang dicabut tak diserahkan pada perusahaan untuk izin baru.

Serupa diutarakan Direktur Relawan Untuk Orang dan Alam (ROA) Mohammad Subarkah. Dia mengatakan, moratorium tambang dan sawit dapat menjadi pintu masuk menyelesaikan masalah selama ini. Terutama kasus-kasus perkebunan sawit atau tambang dengan warga.

Perusahaan sawit maupun tambang di Sulteng, katanya, belum memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan dampak pada kehidupan rakyat. “Kita berharap moratorium bukan hanya melarang izin tambang baru, tetapi evaluasi tambang dan perkebunan sawit yang ada.”

Pemerintah, katanya, harus tegas, tak sebatas masalah administrasi lengkap juga soal kepentingan rakyat. Pengalaman 10 tahun terakhir di Sulteng, memperlihatkan, konflik lebih banyak melibatkan rakyat dengan perusahaan. Bahkan, kalau perlu dibuat audit lingkungan dan potensi kebocoran keuangan negara.

Moratorium, juga harus mencakup evaluasi menyeluruh industri ekstraktif hingga mampu mencapai keluaran perbaikan tata kelola hutan dan lahan.

Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Tojo Una-una, Asrun Taurenta, mendukung rencana Jokowi. Baginya, moratorium akan membuat sumber pencaharian masyarakat terjaga dan terjamin dari ancaman perusakan lingkungan.

“Dimana-mana perusahaan tambang dan sawit menimbulkan konflik dan meninggalkan persoalan rumit. Kita membutuhan energi dan sumber daya besar untuk menyelesaikan.”

Kalau ada moratorium, Pemda, ke depan memiliki banyak pilihan perencanaan dalam meningkatkan pendapatan masyarakat dari beragam sektor seperti pertanian, perkebunan dan nelayan.

Land clearing yang menghancurkan tegakan hutan primer di Tolitoli oleh PT Total Energi Nusantara dan PT Citra Mulia Persada. Foto: Andika Dhika
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,