Mamalia Malang yang Terjaring Nelayan Itu Porpoise…

Kecamatan Batu Ampar yang letaknya paling selatan di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, ini hanya bisa ditempuh melalui perjalan air. Sebagian besar wilayahnya perairan. Selain speedboat, masyarakat biasanya menggunakan kapal klotok sebagai sarana transportasi serta angkutan barang. Menuju Batu Ampar ini butuh waktu dua hingga tiga jam dengan speedboat dari Rasau Jaya yang dari Pontianak saja jaraknya satau jam perjalanan.

Luasnya sekitar 2002 kilometer persegi, atau hampir 30 persen dari luasan kabupaten pecahan dari Mempawah tersebut. Penduduknya sebanyak 35.525 jiwa yang tersebar di 15 desa. Nelayan sungai adalah mata pencaharian mayoritas warga setempat, selain nelayan tangkap laut menengah. Mereka mencari ikan, udang, dan kepiting yang mendiami habitat hutan mangrove. Kegiatan ini sudah dilakukan turun temurun. Sebagain masyarakat juga membuat kayu arang dari pohon mangrove tersebut.

Hutan mangrove ini sejatinya habitat berbagai jenis satwa dilindungi. Selain bekantan (Nasalis larvatus) yang mendiami kawasan tersebut, belakangan teridentifikasi pula populasi pesut (Orcaella brevirostris) dan lumba-lumba putih atau lumba-lumba punggung bungkuk (Sousa chinensis) di perairan tersebut. Keduanya merupakan satwa dilindungi dan terancam punah.

WWF Indonesia yang pertama kali menemukan keberadaan dua hewan tersebut di perairan Kabupaten Kubu Raya dan Kabupaten Kayong Utara. Padahal, tidak ada catatan ilmiah sebelumnya, yang menyebutkan keberadaan kedua hewan ini di Kalimantan Barat. Informasi mulut ke mulut warga yang kemudian mendasari para peneliti WWF Indonesia untuk melakukan riset di kawasan tersebut.

Hingga akhirnya, Tim survei WWF Indonesia dan Badan Pengembangan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak berhasil mendokumentasikan keberadaan populasi pesut atau lumba-lumba air payau dan lumba-lumba punggung bungkuk tersebut pada 2012. Sejak itu, WWF Indonesia melakukan kampanye perlindungan satwa air tersebut.

Peristiwa pemotongan satwa yang diduga anak pesut di Desa Padang Tikar, Kecamatan Batu Ampar, Jum’at (8/04/2016), merupakan kejadian yang mengguncang perhatian para pemerhati konservasi.

Davina Veronica, Duta WWF Indonesia, dan Albertus Tjiu, manager WWF Indonesia Program Kalimantan Barat mendatangi langsung kediaman Maskur (35), saudagar kapal penangkap ikan yang jaring kapalnya menangkap mamalia tersebut. Potongan daging mamalia tersebut disimpan di kediaman Maskur, di Desa Tasikmalaya, sekitar 10 kilometer dari Desa Padang Tikar.

Nelayan di Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, menunjukkan potongan yang diduga kepala pesut yang telah dibekukan, Jumat (8/04/2016). Foto: WWF Program Kalimantan Barat

Potongan

Jalan menuju kediaman Maskur hanya berupa jalan semen selebar satu meter. Itu pun sudah tak mulus lagi, semennya pecah berkeping. Tidak ada mobil di Kecamatan Batu Ampar. Masyarakat menggunakan motor dan sepeda, serta motor bergerobak sebagai alat angkutan.

Selain juragan kapal, Maskur membuka toko kelontong dan sembako. Di belakang rumahnya, terdapat bangunan tinggi yang digunakan untuk sarang burung walet. Tepat di depan rumahnya, terdapat area penimbangan ikan dan gudang peti es.

Seorang pria, nelayan yang bekerja di kapal Maskur, mengeluarkan tiga kantong plastik hitam. Isinya potongan tubuh satwa yang diduga pesut tersebut. Bagian perutnya sudah dipotong kecil. Tersisa potongan kepala, lima buah sirip sisi kiri dan kanan serta dua ekor.  “Yang didapat empat ekor, tiga yang kecil-kecil. Kalau yang besar dilepaskan. Itu kata orang, saya tidak tahu pasti,” kilahnya.

Davina enggan mendekat, kedua tangannya berulang kali menutup wajahnya. “Bukan takut, cuma sedih dan kasihan,” tukasnya seraya menghela nafas panjang. Davina memikirkan induk pesut yang akan mencari anak-anaknya.

Albert pun mengeluarkan alat ukur. Dia merinci panjang kepala, ekor, dan sirip mamalia tersebut. Bagian mulut juga dibuka. “Dari gigi geligi bisa diketahui usianya,” ujarnya.

Albert pun berbincang dengan Maskur yang dengan senang hati, menyerahkan sisa potongan mamalia itu untuk diteliti lebih lanjut oleh WWF Indonesia. Maskur menjelaskan, pesut-pesut tersebut masuk dalam pukat permukaan milik kapalnya. Nelayan menebarkan pukat ke air yang membuat putaran sehingga membentuk lingkaran. Hal ini yang menyebabkan pesut, yang saat itu tengah berada di permukaan sungai terjaring.

Maskur mengatakan, nelayan mengambil pesut tersebut untuk dijual ke masyarakat tertentu yang memang gemar menyantap dagingnya. Harganya cukup tinggi. “Orang bilang dagingnya panas. Tapi entah mengapa tetap dimakan. Sepertinya, mereka meyakini dagingnya bisa jadi obat. Namun saya tidak tahu pasti, obat apa yang dimaksud.”

Maskur berkisah, untuk memotong hewan tersebut, harus memanggil ahli agama. Lantaran diyakini sama dengan tata cara menyembelih sapi atau kambing. “Tak seperti ikan lainnya, saat dipotong darahnya sangat banyak. Makanya, orang sini tidak ada yang makan,” ungkapnya.

Setelah ditolak di pasar ikan, daging pesut tersebut hanya tergeletak di gerai peti es miliknya. Hanya tersisa satu kepala. Tiga kepala lainnya, diakui Maskur, sudah dikubur oleh nelayan yang memotongnya.

WWF Indonesia akan melakukan uji DNA. “Sisa potongan hewan ini adalah kepala, empat sirip, dan dua ekor,” kata Albert.

Potongan porpoise yang sebelumnya diduga pesut. Foto: Aseanty Pahlevi
Potongan porpoise yang sebelumnya diduga pesut ini tersimpan di peti es milik Maskur. Foto: Aseanty Pahlevi

Porpoise

Dari Padang Tikar, sisa tubuh hewan tersebut dimasukkan box pendingin. WWF Indonesia membawanya ke Laboratorium Indonesian Biodiversity Research Center Bali. Bagaimana hasil identifikasi tersebut?

Dwi Suprapti, Coordinator Marine Species Conservation WWF-Indonesia, menyatakan, hewan tersebut bukanlah pesut, melainkan porpoise. Sering kali orang keliru, mengganggap bahwa lumba-lumba adalah porpoise dan porpoise adalah lumba-lumba.

“Terlihat besar, sehingga saya sangsi itu pesut. Saya kira paus pilot. Namun, setelah diketahui ukurannya, ternyata lebih kecil dari pesut,” ujarnya. Beruntung, Maskur masih menyimpan potongan kepalanya, sehingga WWF Indonesia bisa mengindentifikasi lebih lanjut melalui gigi geligi. “Giginya tumpul semua dan kecil-kecil. Sekitar 23 giginya identik dengan ciri-ciri porpoise.”

Menurut Dwi, tujuan membawa bagian satwa tersebut ke laboratorium genetik, selain untuk memastikan kebenaran tentang genetik satwa tersebut, juga untuk melengkapi bank data keragaman satwa aquatic, dalam hal ini Cetacea, di Indonesia.  “WWF Indonesia ingin melakukan pemetaan genetik, untuk mengetahui subpopulasi porpoise ini. Sebelumnya, porpoise dilaporkan terjaring nelayan dan mati di Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas.”

Dasar pengujian tersebut, dilihat dari populasi peta DNA-nya, karena pemetaan jelajah dan habitatnya sudah ada. Temuan ini, hal yang cukup mengejutkan, sama halnya dengan keberadaan pesut di perairan Kubu Raya 2011 lalu. “Tidak pernah ada laporan sebelumnya tentang populasi porpoise di Kubu Raya. Ini temuan baru.

Dwi menyatakan, sulit melakukan riset terhadap populasi porpoise dan habitatnya di Kalimantan Barat. Mengingat, mamalia ini mempunyai sifat yang berbeda dengan lumba-lumba. Porpoise jarang melakukan akrobatik atau melompat ke luar dari air. Namun, hanya sesekali memunculkan tubuhnya untuk menghirup udara. “Temuan ini menjadi awal penyusunan populasi cetacea di Indonesia, khususnya porpoise.”

Pengukuran dilakukan untuk mengetahui gambaran utuh satwa yang telah dipotong-potong ini. Foto: Aseanty Pahlevi
Pengukuran dilakukan untuk mengetahui gambaran utuh satwa yang telah dipotong-potong ini. Foto: Aseanty Pahlevi

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Barat, Sustyo Iriyono, menambahkan, identifikasi porpoise di perairan Kalimantan Barat, akan menjadi temuan baru di bidang satwa aquatic.

“Secepatnya kita akan melakukan langkah-langkah bersama WWF Indonesia Program Kalimantan Barat. BKSDA Kalbar dan WWF Indonesia sudah melakukan MoU, untuk rencana aksi bersama. Rencana aksi yang akan dilakukan mengenai kampanye keberadaan mamalia laut dan sungai dilindungi.”

Porpoise masuk dalam ordo Cetacea, selain lumba-lumba dan paus. Ordo Cetacea ini terbagi dua kelompok, Mysticeti (paus baleen) dan Odontoceti (paus bergigi). Porpoise terdapat 6 spesies berbeda, sementara lumba-lumba ada 32 spesies.

Porpoise merupakan Cetacea terkecil. Dari sub spesies ini, yang terkecil adalah porpoise vaquita (Phocoena sinus) yang memiliki panjang 1,5 meter. Dari segi bobot, yang paling ringan adalah porpoise tanpa sirip atau finless porpoise (Neophocaena phocaenoides) dengan berat 30 – 45 kilogram. Sedangkan porpoise terberat adalah dall’s porpoise (Phocoenoides dalli) dengan bobot berkisar 130 – 200 kilogram.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,