, , ,

Aksi Cegah Bencana dengan Ruwatan Kali Code

Puluhan orang berkumpul di Pinggiran Kali Code, Yogyakarta, pagi itu di akhir Maret. Ada mahasiswa, warga, seniman, pecinta alam dan Walhi Yogyakarta. Karung-karung bekas disiapkan untuk memunguti sampah di bantaran sungai. Mereka siap meruwat (membuang hal buruk) di sekitar Kali Code, agar terbebas longsor dan banjir.

Anang dari Komunitas Sanggar Anak Kampung Indonesia (Saki) menggagas gawe ini bersama Walhi. Dia mengatakan, sungai membawa pengaruh kehidupan masyarakat dari kebudayaan, spritualitas, sosial dan ekonomi.

“Ruwatan ini membuang sial dan keburukan, agar warga Code selamat dari longsor dan banjir. Melalui bersih sungai dan seni budaya,” katanya.

Kali Code, salah satu sungai di jantung Yogyakarta, banyak warga tinggal di bantaran sungai. Kesiagaan menghadapi banjir perlu dipupuk, terlebih ketika masuk musim hujan. Masyarakat juga terbiasa menghadapi kerawanan bencana sosial, seperti penguasan sumber ekonomi, maupun kehadiran pendatang.

“Hingga perlu dibangun kembali saling menganyomi kehidupan multikultur, menciptakan keselarasan alam, lingkungan, sungai bersih untuk kemanusiaan, serta hak air bersih warga.”

Direktur Walhi Yogyakarta, Halik Sandera mengatakan, sebagai bagian peradaban manusia, sungai penting dijaga bersama. Bersih-bersih Sungai Code, bagian menjaga dan mitigasi banjir sekaligus konservasi ekologi dari ancaman pencemaran yang merusak kualitas dan kuantitas air.

Kualitas air Sungai Code makin tercemar, mulai limbah industri maupun rumah tangga. Kebijakan pemerintah, katanya, seharusnya mendorong agar sungai bersih. Bukan malah terus mengeluarkan izin hotel, apartemen dan mal sekitar sungai, yang akan merusak baku mutu air. Semestinya, izin diperketat dan pembuangan limbah dibatasi.

Pengelolaan Sungai Code, katanya, perlu diperhatikan, dari hulu, tengah dan hilir. Saat ini, persoalan tambang pasir di Lereng Gunung Merapi menjadi persoalan utama. Sebagai ‘bank’ air, penting konservasi agar ketika hujan air tak langsung mengalir ke sungai.

“Ketika hulu bagus,  air mengalir bisa terkontrol. Hutan tanpa pertambangan, bisa meminimalisir banjir di hilir,” katanya.

Mahasiswa daerah ikut berpartisipasi melalui budaya tari tradisional dalam ruwatan Code. Foto: Tommy Apriando
Mahasiswa daerah ikut berpartisipasi melalui budaya tari tradisional dalam ruwatan Code. Foto: Tommy Apriando

Rentan longsor

Tim Mitigasi Bencana Fakultas Teknik Univesitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta survei deteksi ancaman longsor di sepanjang Sungai Code dan Winongo yang membelah Yogyakarta. Hasil survei menunjukkan, sekitar bantaran Sungai Code dan Winongo, mempunyai kerentanan longsor tinggi.

Wahyu Wilopo, peneliti ini mengatakan, sebagian besar tebing sungai memiliki lereng cukup curam dan tersusun oleh endapan yang belum padat secara baik.

“Gerusan aliran air sungai juga mengikis pada bagian kaki tebing bisa mengurangi kestabilan lereng ditambah banyak pemukiman di atas tebing hingga menambah berat lereng,” katanya.

Risiko longsor di sepanjang Code dan Winongo juga karena saluran pembuangan limbah rumah tangga dari warga dinilai kurang sesuai. “Banyak dibuang langsung ke tanah atau lereng yang akan memicu erosi tebing.

“Idealnya, jarak pemukiman dari tebing sama dengan ketinggian tebing, hingga bisa menjaga kestabilan lereng jangka panjang.’

Adapun daerah yang memiliki risiko longsor di Code meliputi Pogung-Sendowo-Blimbingsari-Gondolayu-Kotabaru. Untuk Sungai Winongo meliputi Tegalrejo sampai Bugisan. Untuk mencegah longsor, katanya, perlu pencegahan, antara lain memperkuat lereng, baik di kaki tebing maupun tebingnya sendiri.

Ruwatan Sungai Code, warga berdoa agar terhindar dari bencana alam, baik longsor dan banjir. Foto: Tommy Apriando
Ruwatan Sungai Code, warga berdoa agar terhindar dari bencana alam, baik longsor dan banjir. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,