, ,

Kala Warga Jakarta Kesulitan Dapatkan Air Bersih

Matahari terik bak menyengat kulit. Beberapa sepeda motor hilir mudik membelah gang sempit. Ada yang sedang menggergaji kayu. Ada juga sibuk memindahkan jerigen-jerigen air dalam bak penampungan. Begitulah kesibukan warga Tanah Merah, Jakarta Utara, pertengahan Maret lalu.

Di tengah ketidakpastian status tanah, warga Tanah Merah harus menghadapi masalah pelik. Bertahun-tahun mereka sulit akses air bersih. Alasannya, PDAM tak bisa membangun jaringan pipa mengaliri air ke pemukiman padat penduduk ini.

Sesuai aturan berlaku, PDAM hanya bisa melayani daerah ‘legal’. Tanah Merah hingga kini masih bersengketa. Padahal air bersih keperuan dasar siapapun, tak mengenal status lahan.

Selama ini warga mengandalkan air jerigen. Harga mahal. Mereka harus merogoh uang Rp300.000 per bulan membeli enam kubik air. Satu pikul (dua jerigen) air dihargai Rp5.000 berisi 20 liter air. Warga membeli lima pikul sehari. Sedang kualitas air tanah di kawasan itu tak layak konsumsi karena tercemar.

“Air sumur bau dan keruh saat kemarau. Kami hanya menggunakan air sumur untuk mandi dan cuci. Kalau masak dan minum beli air jerigen,” kata Roja, warga Kampung Rawa Sengon, Kelapa Gading Barat, Jakut.

Senada diungkap Sardinah. Katanya, kualitas air tak baik bahkan ketika mandi sekalipun, sabun tak mengeluarkan busa.

“Saya beli air jerigen membilas cucian dan mandi karena air tanah asin,” kata pemilik warung yang tinggal sembilan tahun di Rawa Sengon. Tak jarang, mandi menggunakan air sumur, kulit terasa gatal. Dia tak ada pilihan lain.

Perkampungan padat penduduk di Jakarta, yang kesulitan air bersih. Foto: Indra Nugraha
Perkampungan padat penduduk di Jakarta, yang kesulitan air bersih. Foto: Indra Nugraha

Muhamad Noor, Ketua Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Kampumg Rawa Sengon RW022 mengatakan, selama ini belum ada bantuan pemerintah soal penyediaan air bersih. Meski 13 Januari 2013, kala Joko Widodo masih Gubernur Jakarta, Tanah Merah sudah diakui dibagi menjadi enam RW. Namun bantuan fisik tak kunjung datang. Daerah ini dihuni sekitar 1.700 keluarga.

“Bantuan hanya administratif. Seperti pembuatan KK, KTP dan akta kelahiran. Untuk infrastruktur lain seperti jalan kami membangun swadaya,” katanya.

Juarto, warga RW 09 Rawa Sengon mengatakan, di Tanah Merah sejak 1992 warga berjuang soal tanah. Tak jarang ada penggusuran.

“Kala (Presiden) Soeharto tumbang, mulai banyak orang masuk menggarap lahan. Dari sekian ratus, bawa orang-orang lagi. Akhirnya di Tanah Merah ada ribuan orang. Keseluruhan 160.5 hektar dikatakan grey area karena masih sengketa.”

Beberapa kali pengajuan akses air bersih selalu ditolak. Merekapun beli air jerigen.

Tk jauh beda di Cilincing, dekat Pelabuhan Tanjung Priok. Rasidi, warga Cilincing mengatakan, warga selama ini mengandalkan air jerigen. Biasa orang menjual air berkeliling menggunakan gerobak.

Rasidi bersama tetangga tinggal di lahan milik Pelindo. KTP mereka beralamatkan Rusun Cilincing berkarak 100 meter dari rumah.

“Kita mikir bagaimana agar ada air. Akhirnya saya bermusyawarah dengan pengelola rumah susun. Disalurkan air. Semula dibolehkan. Lama-lama sambungan air dari Rusun Cilincing diputus karena dianggap ilegal,” katanya.

Kala sambungan air diputus, sempat terjadi keributan. Guna mendapatkan air bersih, berbagai cara dilakukan dari demontrasi dan mengirim surat ke berbagai instansi. Salah satu membujuk Aetra.

“Akhirnya kami bergerak lagi meminta bantuan agar ada air bersih. Tetap gak ada yang kasih. Meski sudah ke lurah bikin surat, ke gubernur, tetap tak ada.”

Manajer produksi PAM Jaya Mochamad Hatta Sukarno mengatakan, mempunyai kewajiban memenuhi pelayanan air minum Jakarta. Namun dalam aturan, penyambungan pipa jaringan air hanya boleh ke wilayah legal. “Hingga kini cakupan layanan kami baru 60% dari luas Jakarta,” katanya.

Master Meter RW022 Kampung Sengon, Jakarta Utara. Foto: Indra Nugraha
Master Meter RW022 Kampung Sengon, Jakarta Utara. Foto: Indra Nugraha

Master Meter, solusi sementara

Melihat kondisi itu, USAID melalui program Indonesia Urban Water, Sanitation, and Hygiene menginisiasi program bertajuk “Master Meter”. Lewat program itu, beberapa wilayah yang tak bisa mendapatkan air bersih, mulai bernafas sedikit lega.

Master Meter Specialist IUWASH Jakarta Tofikurochman Achmad mengatakan, Master Meter merupakan layanan sambungan air perpipaan komunal dibangun dalam memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat miskin di permukiman padat.

Caranya, operator penyedia jasa layanan air bersih mengalirkan air ke satu titik. Ia berupa menara air tinggi dengan beberapa tangki penampung air. Dari titik itu, disalurkan ke berbagai rumah di sekitar. Pengelolaan mandiri melibatkan KSM.

Program USAID IUWASH berjalan selama lima tahun mengalokasikan dana US$ 40,7 juta guna berikan akses air bersih dan sanitasi layak. Sampai September 2015, USAID IUWASH sudah menggelontorkan dana US$32,5 juta menyediakan akses air bersih dan sanitasi kepada 2,2 juta orang. Pemerintah Indonesia dan swasta juga turut serta dengan alokasi anggaran US$33,6 juta.

Pada 13 Januari lalu, Master Meter dibangun di RW 022 Rawa Sengon. Ia bisa mengaliri 250 keluarga hingga warga tak perlu membeli air jerigen. Harga relatif lebih murah, Rp14.000 per kubik. Meski harga itu lebih mahal jika dibandingkan tarif air umumnya.

“Pembangunan sistem Rp900 juta-Rp1 miliar atas bantuan USAID. Bisa memberi akses air bersih bagi 1.250 jiwa di kampung itu,” katanya.

Dengan Master Meter, warga bisa menghemat biaya air sampai 50-70%. “Program ini di berbagai daerah lain seperti Medan, Surabaya, Sidoarjo, Surakarta juga Tangerang. Masing-masing daerah punya problem berbeda.”

Meski begitu, katanya, program ini solusi sementara. Ketika urusan lahan selesai, warga bisa mendapatkan pipa air bersih dari PDAM.

“Untuk Jakarta, dari awal inisiasi Master Meter ditangkap dengan baik oleh Pam Jaya bersama Aerta dan Palyja. Selama ini di tanah-tanah garapan, seringkali terjadi pencurian air. Berkali-kali pula penertiban,” katanya.

Penertiban dengan memutus begitu saja aliran air, katanya, bukan solusi baik. “Bagaimanapun, warga yang mendiami grey area itu memerlukan air bersih.”

Deputy Chief of Party IUWASH Foort Bustraan mengatakan, hanya membantu fasilitasi pembangunan Master Meter. Untuk teknis pengelolaan, sepenuhnya kepada KSM. Pengurus KSM bertanggung jawab mengatur pendistribusian air ke rumah-rumah, merawat meteran dan pipa saluran air, sekaligus memeriksa pemakaian air setiap keluarga.

Sebelum benar-benar diserahkan kepada KSM, IUWASH memberikan pelatihan kepada KSM. Jadi KSM bisa paham managerial yang baik, pengelolaan keuangan, termasuk pemeliharaan.
“Kami tidak berwenang intervensi kinerja KSM, sebatas membekali mereka pengetahuan mengenai tata cara pengelolaan sistem master meter,” ujar Bustraan.

Master Meter RW022 Kampung Sengon, Jakarta Utara. Foto: Indra Nugraha
Master Meter RW022 Kampung Sengon, Jakarta Utara. Foto: Indra Nugraha

Water Sanitation Specialist USAID Indonesia Nur Endah Shofiani mengatakan, pengadaan sistem ini guna mendukung program pemerintah mencapai target Universal Access 2019.

Menurut Noor, membayar air kepada Aetra tarif Rp7.500 per meter kubik. Biaya ke warga Rp14.000 per meter kubik. Rata-rata penggunaan air 6-10 meter kubik perbulan perkeluarga. Warga yang memasang pipa air Master Mater membayar Rp550.000. Tarif ini berdasarkan kesepakatan bersama.

“Rp.6.500 untuk biaya pemeliharaan juga gaji pengelola serta pembangunan wilayah. Kita merencanakan bangun Master Meter lagi,” katanya.

Program ini, katanya, sangat membantu. Biaya warga jauh lebih rendah dibanding membeli air jerigen. Meski lewat Master Meter, belum semua warga Tanah Merah mendapatkan akses. Dari 1.700 keluarga, baru 250 keluarga bisa memanfaatkan layanan ini.

“Sisanya masih beli air pikulan. Sebenarnya banyak peminat, warga banyak antri. Kita bilang ke warga akan ada tahap kedua.”

Sebelum ada Master Meter bantuan IUWASH, sebenarnya ada hal serupa dikelola perorangan tetapi harga jual sangat tinggi, tak terkontrol.

Banyak pemain air sebelum ada Master Meter. Awal masuk IUWASH di RW022 ditolak, pengurus KSM banyak mendapat teror. Teror pengurus KSM lantaran dengan Master Meter, menjadi ancaman bisnis para penjual air. Teror, berupa ancaman dan kata-kata kasar. Setelah sosialisasi setahun, kini berjalan lancar.

Warga RW09 Rawa Sengon juga ingin membangun Master Meter. Juarto, Ketua KSM RW09 mengatakan, banyak belajar pada pengalaman RW022.

Juarto merasa dilema harus memilih 250 keluarga untuk dapat layanan air Master Meter. Dia akhirnya mempriotitaskan warga lama disana.

“Kami kewalahan membagi. Hanya untuk 250 keluarga. Kecemburuan sosial ada tapi kami diskusikan solusi. Harus orang lama, diutamakan yang tak mampu. Alhamdulillah, lancar. Respon masyarakat luar biasa,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,