,

Industri Kelapa Sawit dan Perjalanan Politik Komoditas Ini di Indonesia

Tulisan ini merupakan artikel kedua dari tiga seri tulisan tentang industri sawit. Tulisan pertama dapat dibaca pada tautan ini: Sawit Berkelanjutan, Antara Mencari Standard Sertifikasi dan Desakan Perubahan

Sawit (Elaeis guineensis) di Indonesia diperkenalkan pada era kolonial Belanda setelah ditanam untuk pertama kali di Kebun Raya Bogor pada tahun 1848. [1] Tanaman ini kemudian mulai berkembang menjadi komoditas skala komersial sejak mulai ditanam di Deli, Sumatera Timur pada tahun 1904. [2]

Tatanan perkebunan sawit zaman kolonial, baik di Hindia Belanda maupun Semenanjung Malaya umumnya dilakukan oleh perusahaan swasta asing yang berciri khas investasi padat modal dan padat tenaga buruh. Perkebunan sawit dilakukan melalui alih fungsi lahan, yaitu mengubah bentang hutan tropis menjadi perkebunan monokultur skala besar. [3]

Sistem hukum kolonial berbasis pada prinsip “domein” yang diperkenalkan melalui Agrarische Besluit pada tahun 1870 and the Bosch Ordonenantie, yang kemudian terbawa dalam hukum agraria yang menekankan mengenai hak atas lahan. Keterbatasan hak bagi masyarakat lokal dan masyarakat adat merupakan warisan dari produk hukum kolonial. [4]

Sejak pasca masa kolonial, investasi asing pun mulai masuk dan memacu pertumbuhan perusahaan perkebunan sawit. Puncaknya adalah masa orde baru pimpinan Soeharto yang membuka keran izin peraturan perundangan bagi liberalisasi ekonomi.

Sejalan maraknya pembukaan hutan lewat izin pembalakan, hal ini turut mendorong menggeliatnya industri minyak sawit yang bermula sejak akhir dekade 1960-an. Perkebunan sawit yang dimiliki negara (PT Perkebunan Nusantara) mulai bertumbuh pada tahun 1970-an. Sedangkan perkebunan petani kecil mengalami perkembangan setelah 1979, yaitu berkat dukungan dana dari Bank Dunia. [5]

Pembukaan lahan hutan untuk konversi perkebunan sawit di Kalimantan. Foto: Rhett A. Butler

Dalam dekade 1980-an, sejalan program peningkatan produktivitas pangan dan memacu lapangan pekerjaan, komoditas sawit menjadi semakin populer. Pengembangan perkebunan ditujukan untuk membuka keterisolasian wilayah dan disinergikan dengan pengembangan program transmigrasi.

Metode pembangunan perkebunan dilakukan dengan memadukan antara perkebunan utama yang disebut dengan inti, yang dikelilingi secara integrasi dengan perkebunan pendukung yang disebut plasma. Sistem ini disebut PIR (Perkebunan Inti Rakyat) yang mulai diperkenalkan pada tahun 1977. Kemudian berlanjut lewat Instruksi Presiden Nomor 1/1986 dengan nama PIR-TRANS yang terkoordinasi dengan program transmigrasi. [6]

Sejalan dengan matra pembangunan ala orde baru, pemerintah menekankan ekspor untuk pertumbuhan ekonomi nasional dengan pembangunan sektor perkebunan sebagai faktor utama pendorongnya. [7] Lewat aturan yang dibuat, perusahaan pemegang konsesi diberikan insentif, termasuk akses kredit untuk pembukaan lahan, penanaman, dan membangun perkebunan.

Di bawah pemerintahan Soeharto perkebunan negara terus memperluas operasi dan disediakan pekerja secara terorganisir oleh negara melalui skema transmigrasi. Pemerintah pun memberikan konsesi luas kepada konglomerat domestik yang terlibat dalam industri pembalakan. [8]

Untuk mendukung program transmigrasi waktu itu, Departemen Kehutanan pun memberikan izin pembukaan hutan dan lahan, yang diperkirakan selama kurun waktu 1980-an sebanyak 2 juta hektar lahan hutan telah dibersihkan untuk perkebunan dan transmigrasi. Sejalan pararel, beragam isu dan konflik lahan pun meningkat dan semakin terakumulasi dengan tidak ada pengakuan terhadap lahan-lahan komunal dan wilayah kelola yang dimiliki oleh masyarakat adat [9].

Lahan perkebunan sawit yang baru dibuka di Malaysia. Foto: Rhett A. Butler

Keberadaan industri minyak sawit Indonesia tidak terlepas dari keberadaan industri sawit di Malaysia. Walaupun fondasi industri minyak sawit di Asia Tenggara berasal pada masa kolonial, namun perkebunan dan industri sawit berkembang dan merupakan bagian terpenting strategi pembangunan nasional Malaysia di dekade 1970-an dan 1980-an.

Industri perkebunan sawit di Malaysia memainkan peran utama dalam kebijakan ekonomi yang dikoordinasikan oleh negara lewat pengambilalihan perusahaan perkebunan swasta Inggris, yaitu group Sime Darby (pada 1976), Guthrie (pada 1981), dan Harrisons and Crossfields (pada 1982). [10]

Pada dekade era 1990-an, agribisnis dianggap “keajaiban ekonomi berikutnya”. Sektor agribisnis menyumbang sekitar 3,8 persen pertahun untuk PDB negara. Paradigma “bertani untuk memenuhi hidup” pun berubah bentuk menjadi “bertani untuk bisnis” yang lekat dengan pertumbuhan investasi korporasi perkebunan dan pertanian.

Hal ini pulalah yang mendorong Pemerintah Indonesia, Malaysia dan Singapura untuk terpacu berinvestasi memperluas perkebunan sawit. Lahan hutan alam dan lahan terdegradasi yang luas dianggap sebagai aset yang tidak termanfaatkan (iddle), sehingga dapat dan perlu dieksplotasi untuk perkembangan sawit.

Pada pertengahan tahun 1990-an, perusahaan-perusahaan transnasional di industri minyak sawit masuk dengan menanamkan modal tiga kali lebih besar, rantai produksi global, serta melakukan perluasan geografis perkebunan minyak sawit dari Malaysia ke Indonesia. [11]

Buah sawit, sumber dari minyak sawit. Foto: Rhett A. Butler

Industri sawit dipilih sebagai bagian implementasi liberalisasi ekonomi di Indonesia, dengan beberapa alasan; Pertama, industri ini memberi sumbangan sekitar 5 persen Pendapatan per kapita Indonesia pertahunnya. Kedua, minyak sawit menjadi sumber penting pertukaran valuta asing, dimana pendapatan dari ekspor minyak sawit Indonesia di pasar internasional lebih tinggi 77 persen ketimbang harga domestik. Ketiga, pemerintah Indonesia menganggap minyak sawit sebagai kendaraan bagi pembangunan sosial dan ekonomi di pedesaan, yang digadang akan mampu menyerap 20 juta tenaga kerja. [12]

Ekspansi perkebunan sawit transnasional semakin cepat, sejalan dengan krisis keuangan di Asia pada akhir dekade 1990-an. Organisasi semacam IMF (International Monetary Fund) dengan LOI (Letter of Intent) memberikan paket bagi Indonesia untuk melakukan liberalisasi investasi asing di sektor minyak sawit.

Sebagai konsekuensinya, berbondong-bondong datanglah perusahaan asal Malaysia saat itu untuk membeli perusahaan-perusahaan perkebunan sawit nasional yang terancam bangkrut dan masuk dalam daftar BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Sejak 1998, tercatat sebanyak 45 investor sawit Malaysia masuk bermitra dengan pebisnis Indonesia untuk membuka 1,3 juta hektar lahan melalui usaha joint venture dan merger. [13]

Pada masa reformasi, kebijakan dan pelembagaan untuk perkebunan minyak kelapa sawit kembali berubah. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 107 Tahun 1999 mengenai Izin Usaha Perkebunan menggantikan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 786 Tahun 1996. Izin usaha dengan peningkatan pembukaan lahan berubah dari 200 hektar menjadi 1000 hektar.

Tajuk sawit tampak dari bawah. Foto: Rhett A. Butler
Tajuk sawit tampak dari bawah. Foto: Rhett A. Butler

Untuk perusahaan skala besar (di bawah 1.000 hektar), maksimum areal dikhususkan mencapai 20.000 hektar di satu provinsi dan 100.000 hektar di seluruh Indonesia dengan kewajiban membangun kemitraan kerjasama dengan perusahaan skala kecil dan menengah yang dinamakan PIR-KKPA (PIR- Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya).

Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 107 Tahun 1999, kembali berubah dan digantikan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 357 tahun 2002 yang merupakan tanggapan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999, yang menekankan struktur desentralisasi pemerintah. [14]

Keputusan Menteri Pertanian Nomor 357 tahun 2002 lalu mengubah wewenang pengeluaran izin usaha perkebunan dari Pemerintah Pusat dan Provinsi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. [15] Perusahaan diberikan cadangan lahan (land bank) secara masif di atas 100.000 hektar per perusahaan berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 tahun 2007.

Pada era otonomi daerah, Gubernur memiliki kewenangan luas dalam pembangunan ekonomi, perencanaan tata ruang, dan otoritas pemberian izin usaha. Sebagai tambahan, Bupati pun memiliki kewenangan serupa ditambah dengan monitoring dan mendorong pelaksanaan hukum. [16]

Berbagai aturan ini ujung-ujungnya mendorong ekspansi perkebunan sawit yang masif. Dalam kurun waktu 20 tahun (1990-2010) perkebunan sawit berkembang dari sekitar 1,1 juta hektar menjadi 7,8 juta hektar. [17] Dan angka ini terus bertambah.

Dalam lima tahun terakhir, daerah yang dialokasikan untuk perkebunan sawit di Indonesia meningkat sebesar 35 persen, dari 7,8 juta ha tahun 2010 menjadi 10 juta ha pada tahun 2013. Atau setara dengan peningkatan sebesar 520.000 hektar per tahun.

Dari sekitar 10 juta hektar total perkebunan sawit di Indonesia, seluas 31 persen dari luas area yang ditanami sawit dimiliki oleh hanya beberapa group perusahaan besar seperti Sinar Mas Group, Salim Group, Jardine Matheson Group, Wilmar Group dan Surya Dumai Group.

Group yang berafiliasi dengan negara, seperti PTPN Indonesia, Sime Darby Malaysia, PTT Thailand dan Felda Global Ventures Malaysia secara bersama-sama menguasai sekitar 15 Persen. Adapun pengusaha sawit lainnya mengendalikan grup bisnis bersama para petani mandiri dan perusahaan milik keluarga kecil. [18]

Secara total, 25 group besar swasta menguasai sekitar 5,1 juta hektar lahan perkebunan sawit (51 persen dari total lahan sawit) di Indonesia. Secara keseluruhan 25 grup perusahaan ini mengendalikan penguasaan land bank di Kalimantan (62 persen), 32 persen di Sumatera, 4 persen di Sulawesi dan 2 persen di Papua. Adapun provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Riau adalah provinsi yang memiliki land bank para pengusaha. [19]

Klik pada gambar untuk memperbesar
Klik pada gambar untuk memperbesar

Pada tahun 2014, jumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia berjumlah 1601 perusahaan yang tersebar di 24 provinsi di seluruh Indonesia. Jumlah perusahaan perkebunan terbanyak berada di Provinsi Sumatera Utara sebanyak 332 perusahaan dan Riau sebanyak 192 perusahaan. [20]

Sejalan dengan ekspansi perkebunan sawit, berdasarkan studi yang dilakukan oleh WRI (World Resources Institute, 2014) Indonesia telah kehilangan lebih dari 6 juta hektar hutan pada periode 2000-2012 yang sebagian besar diperuntukkan untuk konversi perkebunan sawit. [21] Pada tahun 2014, berdasarkan status pengusahaannya, produksi minyak sawit dari perkebunan swasta sebanyak 16,50 juta ton minyak sawit (56,25%), perkebunan rakyat 10,68 juta ton (36,41 persen), dan perkebunan besar negara 2,16 juta ton (7,34 persen). [22]

Pada era Joko Widodo, Presiden memiliki komitmen untuk mengurangi deforestasi. Dalam berbagai pernyataan Presiden Joko Widodo menekankan mengenai perlindungan hutan, lahan gambut dan peningkatan kesejahteraan masyarakat berbasis pengelolaan hutan.

Tahun 2015, terjadi kebakaran hebat yang melanda hutan dan lahan gambut di Indonesia yang terkait dengan lahan industri sawit. Dalam salah satu kunjungannya untuk melakukan sidak api di Sumatera Selatan, Presiden mengancam akan mencabut izin perusahaan-perusahaan sawit yang melakukan pembakaran lahan gambut. Presiden juga menyatakan untuk menyetop izin perkebunan di atas lahan hutan dan gambut.

Catatan: pada saat tulisan ini dibuat Presiden Jokowi menyatakan akan melakukan moratorium perluasan perkebunan sawit dan tambang.

 

Rujukan

[1] FWI (Forest Watch Indonesia), WRI (World Resources Institute), dan GFW (Global Forest Watch). 2002. The State of The Forest Indonesia. Bogor. Hal. 42.

[2] Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia V. Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda. Balai Pustaka. Jakarta. Hal. 186

[3] Norman Jiwan. The Political Ecology of the Indonesian Palm Oil Industry. Hal. 51. Dalam Oliver Pye dan Jayati Bhattacharya (edited by). 2013. The Palm Oil Controversy in Southeast Asia. A Transnational Perspective. ISEAS. Singapura.

[4] Ibid. Hal. 55.

[5] The State of The Forest Indonesia. Op. Cit. Hal. 24.

[6] Junji Nagata & Sachiho W. Arai. Evolutionary Change In The Oil Palm Plantation Sector in Riau Province, Sumatra. The Palm Oil Controversy in Southeast Asia. Op.Cit. Hal. 78-80.

[7] Ibid. Hal 81-82.

[8] Norman Jiwan. Op. Cit. Hal. 52.

[9] Ibid

[10] Oliver Pye. Op. Cit. Hal. 7.

[11] Helena Varkkey. The Growth and Prospects of the Palm Oil Plantation Industry in Indonesia. Oil Palm Industry Economic Journal Vol.12 (2). September 2012. Hal. 2.

[12] Ibid

[13] Ibid

[14] Junji Nagata & Sachiho W. Arai. Op.Cit. Hal. 85.

[15] Ibid

[16] Regnskogfondet (Rainforest Foundation Norway). 2015. Indonesia`s Evolving Governance Framework for Palm Oil. Implication for No Deforestation, No Peat Palm Oil Sector. Daemeter. Bogor. Hal. 16.

[17] Tandan Sawit. Edisi No.1 Januari 2015. Perkebunan Kelapa Sawit Memicu Pembalakan Liar di Indonesia. Sawit Watch. Hal. 15.

[18] TUK Indonesia. 2013. Kuasa Taipan Kelapa Sawit di Indonesia. Jakarta. Hal. 15-17.

[19] Ibid. Hal. 19.

[20] Badan Pusat Statistik (BPS). 2014. Direktori Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit. 2014. ISSN. 2301-6817. Jakarta. Hal. 3

[21] Ariana Alisjahbana, Fred Stolle & Belinda Margono. 30 Juni 2014. New Study Shows Indonesia Losing Primary Forest at Unprecedented Rates.

[22] Badan Pusat Statistik (BPS). 2014. Statistik Kelapa Sawit Indonesia. ISSN. 1978-9947. Jakarta. Hal 7-8.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,