, , ,

Nasib Petani Batang Kala Berhadapan dengan PLTU Batubara

Terik matahari menyengat, siang itu. Ini tak mengendurkan niat ratusan petani dan nelayan aksi damai di tenda perjuangan, tolak pembangunan PLTU batubara Batang, Jawa Tengah.

Warjoyo, warga Desa Ponowareng, berjalan melewati pinggiran rel kereta api, menuju saluran irigasi. Sebelum Kamis, (24/3/16), mereka lewat celah lorong irigasi untuk memasuki pagar seng setinggi dua meter untuk menggarap pertanian lahan.

“Sekarang semua celah masuk tertutup rapat. Di pagari besi dan dijaga aparat kepolisian serta petugas keamanan perusahaan,” katanya.

Sudah lebih dari dua minggu, seperempat lahan Warjoyo tak bisa digarap. Selama ini, keempat keluarganya di rumah tercukupi melalui tani, untuk makan, bayar sekolah anak, dan kebutuhan lain.

Lahan Warjoyo sangat subur, setahun panen tiga akali. Setiap panen tujuh kuintal padi, terendah lima kuintal.

“Sebagai pemilik lahan, kami punya hak dan dilindungi negara. Mau dijual atau tidak, saya sendiri yang menentukan, tidak main rampas. Pemerintah tak kasihan petani dan nelayan yang hilang penghidupan? Berikan hak kami bertani, kembalikan tanah kami.”

Penolakan terhadap mega proyek energi fosil di Batang, karena mereka tahu dampak buruk PLTU batubara terhadap warga sekitar, terlebih petani dan nelayan. Bagi dia, janji perusahaan memberikan pekerjaan tak akan terwujud, apalagi menyejahterakan rakyat.

Ratin, tetangga Warjoyo di Desa Ponowareng tak bisa mengawasi tanaman padi, seluas 2.000 meter persegi. Dia pernah coba masuk lewat saluran irigasi, dilarang satpam. Baju Ratin sobek tersangkut seng ketika masuk lewat lubang saluran irigasi, Minggu (21/3/16).

“Saya ingin menggarap padi dan memanen timun. Lahan milik saya, belum jual ke perusahaan tetapi dilarang masuk. Jahat sekali perusahaan dan negara ini,” katanya. Dia setiap tahun panen padi tiga kali, sekitar 12 kuintal.

Basib serupa dialami Khomaidi. Pria 72 tahun ini, dari rel kereta api, hanya bisa menujukkan kepada saya tiga lahan pertanian miliknya seluas 8.000 meter persegi. Dia tak bisa tergarap.

Tidak ada celah masuk lahan yang belum pernah dijual ke perusahaan itu. “Ruang terbuka Proyek PLTU akan ditutup dengan pagar pada 24 Maret 2016. Setelah itu setiap akses masuk area proyek akan dilarang.” Begitu pemberitahuan PT. Bhimasena Power Indonesia.

Khomaidi bercerita, kesebelas anak dicukupi dari bertani. Dia mendengar dan dikirimi surat, bahwa tanah dibeli negara, uang dititipkan di Pengadilan Batang. Dia tak peduli. “Kok bisa dilarang, saya tak pernah jual tanah ke perusahaan dan negara.”

Ibu-ibu memasak ditenda perjuangan tolak pembangunan PLTU Batubara di Batang yang merampas lahan warga. Foto: Tommy Apriando
Ibu-ibu memasak ditenda perjuangan tolak pembangunan PLTU Batubara di Batang yang merampas lahan warga. Foto: Tommy Apriando

Di pinggiran seng yang menutup akses lahan pertanian warga, instalasi terpampang tulisan,” PLTU merampas tanah dan kehidupanku.” Ini membetang sekitar 50 meter, karya warga bersama solidaritas seniman Yogyakarta dan Salatiga. Ibu-ibu tampak sibuk memasak di tenda perlawanan. Tenda ini beratap kain bekas dan bambu sebagai penyangga.

Sebelumnya, Mohammad Effendi, Presiden Direktur PT BPI mengatakan, konstruksi segera berjalan. Seluruh proses pengadaan lahan terselesaikan baik. Bukan hanya area pembangkit juga gardu induk, dan jalur transmisi 5,5 km sudah selesai.

Arif Fiyanto, Greenpeace Indonesia mengatakan, warga kesekian kali melaporkan kepada Komnas HAM berbagai pelanggaran perusahaan, termasuk penutupan akses ke lahan tani. Mereka juga mengundang dan meminta Komnas HAM turun untuk melihat yang terjadi di lapangan.

Pemerintahan Joko Widodo, katanya, makin jauh dari visi. Ambisi Jokowi membangun PLTU batubara tanpa memedulikan suara rakyat jelas bertentangan dengan Nawacita. “Perampasan lahan warga menunjukkan Jokowi lebih berpihak korporasi dan investasi daripada keselamatan rakyat.”

PLTU Batang melanggar HAM

Ketua Komnas HAM Nurkholis mengatakan, dalam UU hak milik atas tanah melekat pada individu dan tak bisa dirampas sewenang-wenang oleh siapapun. Ada prosedur, walaupun untuk kepentingan umum.“Pemagaran tak boleh, melanggar hak warga.”

Andi Mutaqqien dari Elsam mengatakan, pelanggaran HAM PLTU Batang dengan pengambilan paksa lahan lewat UU Pengadaan Tanah justru multitafsir atas pembangunan demi kepentingan umum sektor swasta. Intimidasi preman dan aparat selama pengambilan lahan, dan pemaksaan atau pemagaran hingga akses sumber hidup warga tertutup juga pelanggaran HAM. “Proyek Batang dibangga-banggakan sebagai success story dari public private partnership pertama di Indonesia. Seharusnya negara malu dengan memaksa mengambil tanah masyarakat Batang,” katanya.

Mengenai pendanaan, Bank Dunia berusaha menyamarkan tangan dalam proyek ini. Dia tak nampak langsung mendanai tetapi memberikan garansi kepada Indonesia Infrastructure Guarantee Fund US$480 juta. Mau tak mau, katanya, ada tangan Bank Dunia. Tangan Bank Dunia lain lewat International Finance Corporation (IFC), hingga financial closure, berperan sebagai, analisa due diligence. Juga keterlibatan IFC sebagai transaction advisor di Batang didanai Devco. “Bank Dunia berkontribusi dalam pelanggaran hak-hak masyarakat Batang.” Diapun mendesak, Jepang maupun bank dunia menghentikan pendanaan pada proyek PLTU barubara ini.

Petani protes di lahan pertanian. Foto: Tommy Apriando
Petani protes di lahan pertanian. Foto: Tommy Apriando
Pengumuman yang dipasang oleh pihak perusahaan PT BPI yang berisi pelarangan warga memasuki lahan proyek PLTU. Foto: Tommy Apriando
Pengumuman yang dipasang oleh pihak perusahaan PT BPI yang berisi pelarangan warga memasuki lahan proyek PLTU. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,