,

Pemerintah dan LSM Rancang Skenario Melawan Laju Kepunahan Harimau Sumatera

Populasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang diketahui hidup di 22 lansekap hutan di pulau Sumatera sedang mengalami ancaman kepunahan akibat deforestasi, perburuan dan juga konflik dengan manusia.

Hal ini diketahui dari paparan hasil analisa yang disampaikan dalam Workshop Population Viability Analysis (PVA) Harimau Sumatera. Workshop ini diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bekerja sama dengan Forum HarimauKita di Bogor (19-21/4/2016).

Ketua Forum HarimauKita, Yoan Dinata, menyebutkan bahwa ke-22 lansekap tersebut adalah Leuser Ulumasen, Dolok Surungan, Batang Toru, Senepis-Buluhala, Barumun, Batang Gadis, Rimbopanti/Pasaman, Giam Siak Kecil, Kampar, Kerumutan, Tesso Nilo, Rimbang Baling, Kerinci Seblat-Batanghari, Bukit Tigapuluh, Bukit Duabelas, Berbak-Sembilang, Hutan Harapan, Dangku, Bukit Balai Rejang Selatan dan Way Kambas.

“Dari hasil PVA, hanya 3 dari ke-22 lansekap itu yang menunjukkan kecenderungan populasi dapat bertahan hingga 100 tahun kedepan, yaitu Leuser-Ulumasen, Kerinci Seblat dan Batang Gadis. Namun, ketiganya saat ini sedang mengalami tantangan deforestasi akibat usulan pembangunan jalan dan perubahan tata ruang,” jelasnya.

Lebih lanjut, Yoan Dinata menjelaskan bahwa PVA merupakan metode analisis untuk mendapatkan gambaran terkini kondisi populai harimau sumatera dan habitatnya di masing-masing lansekap untuk memprediksi kelangsungan populasi harimau sumatera dengan pendekatan pemodelan. Untuk dapat menyusun model tersebut, digunakan informasi tentang kondisi terkini baik biologi dan ekologi harimau maupun kondisi habitat.

Informasi tentang biologi harimau yang digunakan yaitu reproduksi dan mortality rate (angka kematian), sedangkan untuk ekologi digunakan density (kepadatan) dalam konteks carrying capacity (daya dukung lingkungan) lansekap di mana populasi harimau itu berada serta ketersediaan mangsa.

“Ada 22 lansekap harimau di Sumatera dan masing-masing memiliki keunikan dari sisi tantangan, pola pengelolaan dan karakteristik lingkungannya sendiri,” jelasnya lebih lanjut.

Kesintasan (survival) populasi harimau sumatera di masing-masing lansekap tersebut dapat diproyeksikan kelangsungan populasi harimau sumatera dalam periode tertentu di masa mendatang. Namun, pemodelan ini bersifat khusus untuk setiap lansekap dan tidak bisa digunakan untuk menilai kondisi populasi di seluruh pulau Sumatera.

Hasil dari PVA inilah yang kemudian dikembangkan untuk menyusun skenario-skenario yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan para pihak yang berkepentingan baik di tataran teknis di lapangan maupun pada tingkat kebijakan secara nasional.

Selain deforestasi, jumlah harimau Sumatera terus berkurang akibat kematian yang disebabkan jerat yang dipasang manusia. Foto: Rhett A. Butler
Selain deforestasi, jumlah harimau Sumatera terus berkurang akibat kematian yang disebabkan jerat yang dipasang manusia. Foto: Rhett A. Butler

Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH) KLHK, Bambang Dahono Adjie, menyampaikan bahwa hasil PVA harimau sumatera ini akan dijadikan landasan pengambilan kebijakan strategis konservasi harimau sumatera. Sebagaimana diketahui bahwa Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera (Strakohas) yang saat ini dimiliki Indonesia akan berakhir pada tahun 2017 yang akan datang. Oleh karena itu, saat ini KKH sedang berusaha menyatukan seluruh informasi terkini baik yang dimiliki oleh pemerintah melalui UPT Taman Nasional dan BKSDA seluruh Sumatera maupun pihak lain seperti LSM.

“Hasil PVA ini akan dijadikan bahan penyusunan Strakohas 2017-2027. Oleh karena itu, diperlukan harmonisasi data antara UPT dan NGO/Mitra Pemerintah sebagai bahan pengambilan keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan secara publik. Sehingga perlu kerjasama dan komitmen yang konsisten dalam upaya penyelamatan harimau Sumatera,” kata Bambang Dahono Adji kepada Mongabay di sela-sela acara workshop.

Permodelan PVA

Untuk menganalisa kelangsungan populasi harimau sumatera, Forum HarimauKita membangun model dengan memasukkan beberapa variable yang berisi informasi terkini terkait harimau sumatera. Beberapa variabel itu antara lain tiger conservation landscape (TCL), kemampuan reproduksi harimau dan potensi tekanan silang dalam (inbreeding), rata-rata jumlah individu yang dikeluarkan dari habitat alamnya baik akibat konflik maupun perburuan dan rata-rata laju deforestasi.

TCL yang digunakan adalah hasil penelitian Hariyo T Wibisono dan Wulan Pusparini yang dipublikasikan pada tahun 2010 yang lalu. Habitat di dalam lansekap yang masih dihuni harimau sumatera dan memiliki tutupan hutan lebih dari 1000 kilometer persegi dimasukkan dalam pemodelan PVA. Teridentifikasi sebanyak 22 lansekap yang masih dihuni harimau sumatera.

Dari sisi reproduksi harimau, parameter input yang dimasukkan adalah waktu pengasuhan induk terhadap anak yaitu 2 tahun. Dengan cara itu pula, dapat diketahui peluang setiap harimau betina yang tidak sedang mengasuh memiliki peluang 90% bereproduksi di tahun itu. Untuk mengetahui besaran nilai maksimum betina yang dapat dikawini pejantan, digunakan hasil penelitian Carter et al di tahun 2015, yang menyatakan bahwa setiap jantan memiliki 1 hingga 6 individu betina di dalam teritorinya.

Sayangnya, Forum HarimauKita belum memiliki data yang baik terkait berapa tingkat tekanan silang dalam pada harimau sumatera. Tekanan silang dalam sendiri saat ini menjadi salah satu yang dikhawatirkan menyumbang penurunan populasi harimau sumatera, akibat terisolasinya masing-masing lansekap, sehingga harimau kesulitan menemukan pasangan yang secara genetik jauh kekerabatannya. Namun, harimau sumatera merupakan satwa yang kurang sensitif terhadap kemungkinan terjadi silang dalam dibandingkan dengan banyak spesies lainnya seperti herbivora, sehingga nilai yang dimasukkan adalah nilai moderat.

Untuk jumlah individu yang dikeluarkan dari habitatnya, Forum HarimauKita mencatat setidaknya 55 kasus konflik manusia dengan harimau yang terjadi sejak tahun 2009 hingga 2014. Pada saat yang sama, sedikitnya sejumlah 124 ekor harimau yang diburu. Data perburuan ini dihimpun oleh tim investigasi Wildlife Crimes Unit (WCU).

Penyempurnaan Model

Yoan Dinata menyatakan bahwa banyak hal yang dibahas dalam workshop PVA tersebut untuk dapat menghasilkan analisa yang terbaik dan memiliki kesesuaian yang tinggi dengan kondisi dan situasi di lapangan. Beberapa yang menjadi catatan adalah data deforestasi yang sebaiknya menggunakan data resmi pemerintah, sehingga dapat sinergi dengan program-program pembangunan di Sumatera.

Selain itu, masih banyak isu yang belum dimasukkan sebagai salah satu skenario yang perlu diproyeksikan seperti usulan jalan membelah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan Perubahan Tata Ruang di Aceh yang akan sangat mempengaruhi luasan lansekap Leuser Ulumasen.

Skenario pelibatan pihak lain seperti sektor swasta juga menjadi catatan penting kami, terutama untuk membangun skenario di lansekap yang kecil seperti Dangku dan Kampar-Kerumutan. Meskipun luas lansekap itu terbilang kecil, namun karena dikelilingi oleh konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI), populasi harimau sumatera masih memiliki peluang kesintasan yang tinggi. Hal ini didukung oleh beberapa informasi bahwa harimau sumatera dapat hidup di kawasan HTI dan bahkan terpantau mampu bereproduksi.

“Dalam beberapa bulan kedepan kami masih akan bekerja keras untuk menyempurnakan hasil PVA ini agar dapat menyajikan dasar informasi yang obyektif untuk penyusunan strategi konservasi harimau sumatera di masa mendatang,” tutup Yoan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,