Davina Veronica mengenalkan dirinya di lapangan Futsal Desa Padang Tikar Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Selasa, 12 April 2016. Ruangan itu sudah dipenuhi siswa SD, SMP dan SMA, yang melihat pameran foto kegiatan Panda Click! Penampilan Davina sangat simpel, kaos polo shirt ungu berlogo WWF, serta celana army look. Rambutnya yang coklat terang, tampak berbeda di tengah pengunjung pameran.
Davina memandu pameran foto hasil karya warga di lima desa Kecamatan Batu Ampar itu. Enam warga perwakilan diundang menjelaskan kepada warga desa lain, mengenai hasil foto yang telah mereka kumpulkan setahun tersebut. “Bapak-bapak harus bangga, ini karya yang sangat bagus. Saya saja belum tentu bisa,” tukasnya.
Davina tertarik dengan sebuah foto. Foto itu, walau kualitasnya tidak begitu jernih namun mampu merekam gambar seekor pesut, yang tengah bermain di permukaan air. Sontak Davina mengungkapkan kekagumannya. Davina memang dikenal penyayang binatang. Selama kunjungan ke daerah tersebut, dia menunjukkan ketertarikan pada satwa. Pengetahuannya mengenai satwa-satwa dilindungi pun cukup banyak.
“Saya rasa, pemerintah harus lebih tegas dalam menindak pelanggar undang-undang konservasi,” ujarnya. Davina sangat miris ketika melihat masyarakat yang tetap membunuh porpoise, yang dipotong warga untuk dijual dagingnya. Davina mengatakan, berdasarkan dari pengalamannya sebagai duta WWF Indonesia, kasus hewan dilindungi yang dimakan warga banyak terjadi. Bahkan diantaranya, warga mengetahui hewan tersebut dilindungi undangan-undang dan ada ancaman hukumannya.
Dia menyadari, ada masalah ekonomi yang mendasari perbuatan masyarakat. Masyarakat kebanyakan lebih mengutamakan perekonomian mereka, ketimbang hal-hal konservasi. Hidup dengan himpitan ekonomi, membuat masyarakat tidak memiliki dampak lanjut dari tindakan membunuh satwa dilindungi tersebut. “Padahal, kita – manusia- semua membutuhkan satwa dan tumbuhan dalam siklus hidup ini,” tambahnya.
Tanpa manusia, kata Davina, mungkin tidak berdampak pada bumi. Tetapi tanpa satwa dan tumbuhan, manusia tak bisa apa-apa. Manusia, kata dia, harus menyadari bahwa bumi bukan milik manusia semata. “Peningkatan penyadartahuan mengenai konservasi lingkungan memang harus ditingkatkan.”
Soal kecintaannya pada satwa, memang tak diragukan. Founder Garda Satwa ini, bahkan berupaya mengeluarkan seekor burung parkit peliharaan warga, yang terkena panas matahari. Tempat minum burung tersebut sangat kotor. Belum lagi lantai sangkar burung dipenuhi dengan kotoran yang tampak tak pernah dibersihkan. Si parkit diberi pisang yang sebagian sudah membusuk.
Parkit itu digantung di selasar dermaga Desa Padang Tikar. Sangat kontras dengan seekor perkutut yang bersangkar bagus, bersih dan terawat. “Kenapa ini dibeda-bedakan pak? Kalau tidak mau pelihara burungnya lepaskan saja,” ujar Davina. Bapak-bapak tukang ojek itu hanya tertawa-tawa melihat Davina yang mengomel panjang pendek. Dia menurunkan sangkar parkit, dan menyiramnya dengan air. Si parkit tampak jelas menikmati.
Davina tak segan memegang sangkar burung yang kotor itu. Bahkan, dia berniat membersihkannya. Namun, sangkar diikat dengan pengikat plastik. Sebelum bertolak ke Pontianak, Ibukota Kalimantan Barat, Davina memastikan si empunya burung lebih merawat peliharaannya.
Davina memang terlihat bukan perempuan yang suka mengeluh. Dia tidak komplain ketika mengetahui, sumber air untuk mandi berasal dari sumur sedot yang berwarna coklat susu. Dia juga tidak mengeluh dengan udara yang kering dan panas. “Untuk perjalanan terberat, sudah saya alami. Masih di Kalimantan juga. Harus jalan 7 jam naik bukit, dan menginap di rumah warga asli Suku Dayak.”
Davina pun tak segan mandi di sungai, makan mie dengan ikan asin, serta sayur yang hanya tumbuh di hutan. Soal makanan, Davina memang sudah lama tidak makan daging merah. Dia hanya makan ikan dan sayur. Gaya hidup ini dilakukan sejak lama, bahkan sebelum menjadi Duta WWF 2009. Bawa kantong kemana pun pergi, untuk mengurangi pemakaian plastik, dan tak sungkan memungut sampah di sekitar.
Kecintaannya pada satwa bukan hanya setelah membentuk organisasi Garda Satwa Indonesia, 2014 lalu. Terlebih dengan terbentuknya organisasi nirlaba tersebut, Davina semakin peduli lingkungan hidup. Dia memperkaya pengetahuan dengan membangun jaringan, banyak membaca literasi tentang lingkungan. Satu hal yang paling menyentuhnya adalah film berjudul Blackfish. Film dokumentar besutan Gabriela Cowperthwaite.
“Saya ga berhenti menangis melihat kehidupan Tilikum di dalam sirkus mewah. Kalau kalian pernah liat sirkus keliling yang ada lumba-lumba, itu jahat sekali. Tubuh lumba-lumba itu dilumuri mentega dan ditutupi kain basah saat memindahkan mereka,” katanya. Dengan realita di Indonesia yang masih banyak hal serupa, dia berharap organisasinya dapat menyuarakan nasib hewan-hewan yang diperlakukan tidak semestinya.