Sejumlah elemen masyarakat tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sumbar menolak perusahaan hutan tanaman industri (HTI) PT. Biomass Andalan Energi masuk Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai. Perusahaan mendapatkan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI) seluas 20.110 hektar dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), 11 Januari 2015.
Dalam suratnya, BKPM menyatakan, berdasarkan verifikasi teknis, perusahaan sudah memenuhi kelengkapan persyaratan sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.9/MenLHK-II/2015. Areal ini kawasan pemanfaatan hutan produksi untuk HTI dan di luar peta indikatif penundaan izin baru revisi terbaru. Perusahaan diminta menyusun dokumen Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal)/UKL-UPL dan izin lingkungan dengan ketentuan dokumenini harus memberi perhatian seksama terhadap potensi konflik sosial. Semua dokumen harus selesai dalam 150 hari kalender sejak izin prinsip keluar.
Meski begitu, sebut BKPM, persetujuan prinsip tak menjamin pemberian seluruh atau sebagian areal bila ada perkembangan kebijakan pemerintah terkait tata ruang, tenurial dan lain-lain.
Menyikapi ini, Koalisi Masyarakat Sumbar diwakili Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) melayangkan surat penolakan kepada BKPM akhir Februari lalu. YCMM juga mengirimkan surat ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, akhir tahun lalu.
Koalisi menilai, izin HTI ini tak mempertimbangkan kerentanan ekologi Siberut yang rawan banjir. “Daerah-daerah yang dimohonkan Biomass daerah aliran sungai dengan kategori rawan banjir, terutama sejak menjadi konsesi HPH Koperasi Andalas Madani,” kata Direktur YCMM Rifai Lubis, bagian koalisi saat diskusi di Mentawai, Jumat pekan lalu.
Koalisi khawatir kehadiran perusahaan HTI akan menimbulkan dampak buruk tak saja bagi lingkungan juga sosial dan ekonomi masyarakat. Selain itu, pemberian izin bisa memicu konflik antara masyarakat dengan pemerintah atau perusahaan yang berkembang menjadi konflik sosial.
Dengan izin persetujuan prinsip HTI, katanya, perusahaan tak bisa langsung beroperasi. Perusahaan harus memiliki Amdal dan Izin Lingkungan.
“Dua hari lewat saya kontak BKPM, dokumen Amdal atau UKL-UPL dan izin lingkungan belum diserahkan ke BKPM. Jadi, masih ada peluang mencegah perusahaan ini,” katanya.
Penolakan HTI ini, katanya, bukan sekadar upaya mempertahankan hutan, tetapi upaya memulihkan hak masyarakat terhadap sumber daya alam karena sebagian besar lahan-lahan masyarakat di Mentawai dikuasai negara.
Suara penolakan juga bermunculan dari orang Mentawai perantauan maupun Forum Kemahasiswaan melalui media sosial maupun surat resmi. Beberapa forum mahasiswa seperti Forum Mahasiswa Mentawai (Formma) dan Ikatan mahasiswa dan Pemuda Saibi Samukop (Impass) serta Himpunan Mahasiswa Pelajar Pagai Utara Selatan (Himapelpus) menolak kehadiran HTI di Mentawai.
Ketua Formma Sumbar, Daudi Silvanus Satoko menyatakan, selama ini kehadiran perusahaan di Mentawai tak mendatangkan dampak jangka panjang untuk kesejahteraan masyarakat. Keuntungan ekonomi hanya jangka pendek.
“Mungkin saat kayu di lahan ditebang ada kompensasi uang sedikit dan habis seketika. Jangka panjang masyarakat kehilangan hak kepemilikan lahan, mereka tak bisa berladang lagi , belum lagi dampak lingkungan misal banjir saat keberagaman hutan di Siberut berganti tanaman sejenis.”
Daudi mengatakan, eksploitasi di Mentawai sudah berlangsung sejak 1970-an tetapi daerah ini tetap tertinggal. “Dikuras sumber daya alam, hutan jadi hutan negara tapi masyarakat tetap hidup miskin,” katanya.
Formma, katanya, mendukung pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat. “Bantu masyarakat kita mengelola sumber daya alam agar mendatangkan kesejahteraan, biar mereka kelola sendiri, agar hasil mereka rasakan langsung dan jangka panjang.”
Serupa diungkapkan Rinto W. Samaloisa, advokat bermukim di Jakarta kelahiran Pagai Selatan, Mentawai. Dalam surat atas nama Law Office of Rinto W. Samaloisa menyatakan penolakan isin HTI itu.
Dia meminta, KLHK dan BKPM memperhatikan pertimbangan-pertimbangan maupun masukan Pemerintah Kepulauan Mentawai maupun pemuka dan perwakilan masyarakat yang daerah jadi area HTI. Rinto mendesak, penghentian eksploitasi hutan di Mentawai baik lewat penerbitan izin-izin eksploitasi hutan atau izin-izin lain yang berpotensi merusak daerah ini.
Antropolog asal Saibi, Mentawai, Juniator Tulius mengatakan, sejumlah tulisan hasil penelitian bisa menjadi referensi sejarah eksploitasi hutan di Mentawai, terutama Siberut serta dampak bagi masyarakat secara sosial, ekonomi dan lingkungan. “Misal hasil penelitian LIPI merekomendasikan tak ada eksploitasi hutan besar-besaran di Siberut atau kajian Darmanto dalam buku Berebut Hutan Siberut,” katanya.
Selain itu, penolakan masyarakat akan menjadi kata kunci dalam permasalahan ini. Dia mencontohkan, saat HPH KAM masuk Siberut awal 2000-an . Saat itu, masyarakat Siberut Selatan, aktif menolak hingga operasi KAM pindah ke utara (Siberut Tengah).
“Artinya kekuatan ada di tangan masyarakat. Tak sesederhana itu mereka menyerahkan lahan. Jangan sampai masyarakat gampang menerima. Kita bisa mengadvokasi masyarakat, bahwa yang mereka serahkan bukan hanya tegakan kayu, juga lahan.”
Informasi ini, katanya, harus sampai ke masyarakat agar mereka memahami semua dampak secara utuh. “Kita tidak bisa memaksa mereka menolak tapi bisa memberi pengetahuan dan informasi hingga tahu bagaimana bersikap,” katanya.
Tanah warisan nenek moyang, katanya, berupa tanah ulayat (adat) atau tanah suku di Mentawai, ataupun tanah hasil alak toga (mas kawin) atau tanah denda adat (tulou) berubah status menjadi tanah negara. Keadaan ini menyebabkan hak-hak pengelolaan lahan warga tercabut.
Dia melihat bukti kala berkunjung ke Subelen, dulu bekas HPH KAM yang berhenti meski izin masih panjang. “Sempat ada upaya masyarakat membuka sawah 100 hektar di bekas KAM, tapi dilarang karena izin masih berlaku. Hal-hal seperti ini harus dipahami masyarakat.”
Dia melihat peta, kawasan Biomass mulai Totoek ke Saliguma, masuk di Teluk Simabai, terus ke Sibuddaoinan, Kaleak, termasuk Sungai Saibi sebelah kiri, Simoilaklak naik ke gunung (antara Simoilaklak dan Sirisurak). Dari Sirisurak ke utara sampai batas HPH milik PT. Salaki Summa Sejahtera hingga Sotboyak.”Jika lihat peta itu, beberapa bagian sekitar 40 tahun tak diolah, kemungkinan kayu bagus. Bekas HPH tahun 70-an.”
Alam Mentawai terkuras sejak lama
Hutan Mentawai sudah sejak lama terkuras perusahaan tetapi tak membawa kesejahteraan bagi warga, malah sebaliknya, menerima masalah. Seharusnya, hal ini menjadi pertimbangan pemerintah saat mengeluarkan izin-izin eksploitasi di Mentawai terutama Siberut. Eksploitasi
Pulau Siberut mulai 1970-an, diawali Undang-undang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan menetapkan tiga perempat luas lahan di Indonesia, sebagai kawasan hutan, yang sebagian besar di pedalaman, termasuk Mentawai.
Konsep pengelolaan hutan dengan kayu terimplementasi lewat tujuh izin hak pengusahaan hutan (HPH) di Mentawai sejak 1970-an, lima ada di Siberut. Kehadiran HPH, banyak banyak menimbulkan konflik di masyarakat. “Selama 45 tahun perusahaan logging di Siberut terbukti tak memberikan perbaikan kualitas kesejahteraan penduduk,” kata Kepala Divisi Kampanye YCMM, Yuafriza.
.
Nasib miris menimpa warga, seperti warga Desa Sirilogui Kecamatan Siberut Utara, Meon Siriparang. Yuafriza menceritakan penderitaan Meon mulai pada 1971 kala perusahaan kayu PT Andatu, beroperasi , pengelolaan berakhir, berganti PT Tridatu, berubah lagi PT. Cirebon Agung. Pada 1990, kayu habis, 1991 perusahaan pindah ke Sikakap.
“Saat perusahaan pertama beroperasi di Sirilogui, mereka membuat logpond, ada cengkih warga termasuk Meon Siriparang digusur perusahaanjadi logpond dan basecamp. Cengkih 250 batang tergusur tak ada ganti rugi. Orang tua kita dulu menganggap perusahaan sudah ada izin pemerintah, mereka takut menuntut.”
Sesudah perusahaan-perusahaan selesai operasi, muncul lagi HPH 2001 berbendera KAM. Mereka membangun jalan tembus di Sirilogui, ada yang selesai dan tidak. “Lagi-lagi tanaman warga digusur buat jalan, tak ada ganti rugi.”
Kondisi serupa dialami Jakobus Sabuilukkungan, Kepala Dusun Puro, sukunya memiliki tanah di Subelen, Siberut Tengah. “Saat HPH KAM, banyak konflik. Warga suku asli Mentawai mengeluarkan biaya cukup mahal untuk transportasi menyelesaikan sengketa tanah ke Siberut Tengah.” Seharusnya, sejarah ini jadi pertimbangan pemerintah.
Wilayah kelola warga makin sempit
Pemberian begitu banyak izin pemerintah kepada perusahaan di Mentawai, menyebabkan ruang kelola masyarakat makin sempit. beberapa contoh, KAM beroperasi sejak 2001 bertahan sekitar enam tahun. Pada 2007, perusahaan ini menghentikan operasi, izin berlaku hingga 2046.
Lahan KAM dicadangkan restorasi ekosistem 79.795 hektar,kepada PT. Global Green. Hingga awal 2015, Global Green belum beroperasi, Menteri LHK mengeluarkan peta arahan pemanfaatan hutan produksi usaha pemanfaatan hutan Mei 2015, seluas 20.110 hektar.
Terbaru, melalui BKPM kembali mengeluarkan izin HTI. Pulau Siberut sudah terbebani izin HPH PT. Salaki Summa Sejahtera 47.605 hektar. Belum lagi hutan produksi konversi (HPK) dan Taman Nasional Siberut 190.500 hektar.
Sebagian besar daratan Mentawai kawasan hutan. Hutan negara 82% suaka alam 183.378 hektar, hutan lindung 7.670 hektar, hutan produksi 246.011 hektar, HPK 54.856 hektar. Sedang APL hanya 109. 217 hektar (15%).
Kondisi ini, menyebabkan banyak desa di Mentawai, terisolir karena tak terjangkau infrastruktur darat dan biaya transportasi tinggi. Tak heran, Mentawai masih salah satu daerah tertinggal.
Ruang kelola minim, menyebabkan masyarakat Mentawai berladang di hutan negara . Laporan LIPI soal kajian kawasan hutan Kepulauan Mentawai tahun 2015, menemukan fakta bahwa hutan negara dikuasai masyarakat 111.058 hektar ( 21%), rincian 19.536 hektar HPK, HP 42.324,15 hektar dan kawasan lindung 1.910 hektar.
Hutan adat adalah solusi
Rifai Lubis mengatakan, kebijakan tata kelola hutan Mentawai, tak mempertimbangkan kepentingan masyarakat adat Mentawai dan diputuskan sepihak negara. “Ini kesengajaan. Jika melibatkan masyarakat Mentawai dalam penetapan hutan, pemerintah anggap menghadapi kesulitan memperoleh otoritas,” katanya.
Berdasarkan asal-usul pemilikan dan penguasaan masyarakat Mentawai atas lahan dan hutan sangat kuat. Pemerintah, katanya, berkepentingan melepaskan penguasaan agar mudah bagi-bagi konsesi.
Dampak kebijakan itu, ruang kelola di luar kawasan hutan sangat sedikit, hingga merugikan masyarakat, dan pemerintah. Pemerintah tak dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Koreksi negara sudah ada lewat keputusan Mahkamah Konstitusi No35, yang menyatakan, hutan adat bukan hutan negara. Tindaklanjutnya, KLHK lewat Permenhut Nomor 32 Tahun 2015 menyatakan hutan adat sebagai hutan hak.
Upaya ini, katanya, guna memperbaiki kesalahan dan memulihkan konflik antara masyarakat dengan pemerintah, sekaligus solusi kendala penyediaan infrastruktur dan ekonomi. Untuk itu, persyaratan hutan adat berupa Perda Pengakuan Masyarakat Hukum Adat perlu segera ditetapkan DPRD Mentawai, kini sudah masuk Prolegda 2016.