,

Akhirnya Owa Jawa Itu Menikmati Kebebasannya di Gunung Tilu

Rimbun hutan yang liar menjadi penanda perpisahan seekor owa jawa (Hylobates moloch) bernama Tomtom dari tempat rehabilitasi. Hutan yang masuk kawasan Cagar Alam Gunung Tilu, Pasirjambu, Kabupaten Bandung, Kamis (21/04/2016) menjadi tempat pelepasliaran Tomtom. Kehadiran Tomtom menambah keanekaragaman hayati di cagar alam tersebut.

Sebelumnya, owa jawa berjenis betina yang berusia enam tahun itu merupakan hasil sitaan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat. Selanjutnya, Tomtom diserahkan kepada The Aspinall Foundation Indonesia Program untuk menjalani rehabilitasi selama 3 tahun di Pusat Rehabilitasi Primata Jawa yang berada di Ciwidey, Kabupaten Bandung.

“Ini merupakan program pelepasliaran keenam yang telah dilakukan di Gunung Tilu. Sudah sepuluh individu owa yang dilepasliarkan dan lima diantaranya adalah individu surili. Jadi total 15 primata yang telah dilepasliarkan,” ujar Head Animal Keeper The Aspinall Foundantion, Sigit Ibrahim seusai pelepasliaran di Desa Mekarsari, Gambung, Kabupaten Bandung.

Sigit mengatakan Tomtom telah beradaptasi terlebih dulu selama empat belas hari di kandang dekat lokasi pelepasliaran. Tomtom telah dicek kesehatannya dan dan hasilnya owa itu sudah terbebas dari penyakit menular dan berbahaya.

Satwa primata yang sifatnya monogami itu, kata Sigit, telah menunjukan perkembangan baik. Mulai dari kontak sosial sesama owa, mencari makan secara alami dan awas terhadap manusia serta hewan predator.

Jumlah Populasi

Dia menjelaskan berdasarkan data hasil pengamatan tahun 2008 silam, populasi owa jawa di kawasan Gunung Tilu sebanyak 42 ekor. “ Datanya belum di update lagi, dulu ada 42 jenis owa liar yang habitatnya disana dan terbagi dalam 12 kelompok. Jumlahnya bertambah atau berkurang, kami belum bisa memastikan karena belum melakukan pengamatan lagi. Tetapi owa yang telah dilepasliarkan ke sana sudah 10 ekor dan itu hasil rehabilitasi,” paparnya.

Baru – baru ini, kata dia, sudah dilakukan kajian kawasan Gunung Tilu yang luasnya mencapai 8000 hektare tersebut. Pengamatannya meliputi populasi, habitat, kelimpahan pakan hingga predator. Sedengankan untuk mengetahui predatornya, pihaknya menggunakan kamera jebak. Dia melanjutkan predator yang ditemukan berupa macan tutul, macan kumbang dan masih adanya aktivitas pemburuan yang terekam kamera jebak.

“Kita bisa bayangkan dengan luas begitu besar. Hanya dihuni sekitar puluhan owa saja. Sedangkan daya jelajah si owa sekitar 600 hektare. Kawasan ini masih cukup luas dan bagus untuk kelangsungan hidup primata yang hampir punah itu,” imbuhnya.

Surili (Prebytis comate) yang ada di di kawasan Hutan Cagar Alam Gunung Tilu, Pasirjambu, Kabupaten Bandung. Foto : Donny Iqbal
Surili (Prebytis comate) yang ada di di kawasan Hutan Cagar Alam Gunung Tilu, Pasirjambu, Kabupaten Bandung. Foto : Donny Iqbal

Dia menyebutkan primata surili (Prebytis comate) dan lutung (Trachypithecus auratus) juga hidup berbagi kawasan di cagar alam. Sigit menjelaskan apabila dalam satu pohon kiara terdapat 3 jenis primata tersebut biasanya, lutung akan memakan pucuknya, surili memakan daunya dan owa memakan buahnya.

“Tapi biasanya yang dominan berkuasa adalah kelompok yang angotanya banyak. Lutung bisa dua puluhan lebih, surili sekitar dua belasan sedangkan owa paling sedikit jumlah anggotanya. Sehingga owa yang mengalah dan mencari kawasan baru,” paparnya.

Perburuan

Sigit mengungkapkan permasalahan terbesar konservasi adalah masih maraknya aktivitas perburuan yang masuk kawasan cagar alam. Dia melanjutkan pembukaan lahan juga menjadi permasalahan yang cukup serius yang bisa memicu konflik.

Dia mengatakan pihaknya selalu melakukan monitoring pasca pelepasliaran minimal dalam kurun satu tahun untuk mengetahui perkembangan primata tersebut.

Selain itu, karena tempatnya di gunung yang dikelilingi kebun teh dan lahan perhutani, pihaknya juga melakukan sosialisasi dan edukasi kepada pihak pengelola perkebunan teh, aparatur desa sampai kepada masyarakat sekitar.

“Tujuanya untuk bersama – sama menjaga keberadaan owa jawa serta satwa yang ada dikawasan Gunung Tilu. Dan juga menambah pasukan dengan bebarapa komunitas dan lembaga yang peduli. Khusus di jalur hidup (yang sering dilalui) kita sudah pasang papan himbauan untuk meminimalisir intervesi manusia masuk cagar alam,”

Sementara itu Kepala Desa Mekarsari, Atep Kurniawan mengapresiasi pelepasliaran primata endemik Jawa Barat tersebut. “ Kita hidup berdampingan dengan alam, kita juga tergantung pada alam. Air merupakan kebutuhan bersama yang berasal dari hutan. Tentu kita harus menjaga hutan, kalau hutannya rusak kita akan susah, makanya kita akan menjaganya bersama agar tetap lestari,” papar Atep.

Pelepasliaran kali ini merupakan hasil kerja sama BBKSDA Jabar dan Pusat Peneliti Teh dan Kina Gambung.  Juga dihadiri klub motor Brotherhood For Nature dan beberapa komunitas yang peduli akan keanekaragaman hayati.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,