, ,

KKP Bantah Beri Izin Reklamasi Pesisir Makasar

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyampaikan klarifikasi perihal pemberian izin lokasi dan pelaksanaan reklamasi untuk kawasan Centerpoint of Indonesia (COI) atau CPI di pesisir Makassar, Sulawesi Selatan.

Klarifikasi ini adalah jawaban atas surat yang dilayangkan oleh WALHI Sulawesi Selatan karena selama ini dalam beberapa kesempatan pihak Pemerintah Provinsi Sulsel selalu menyatakan mengantongi rekomendasi dari KKP.

“Surat ini baru saja kami terima dari KKP dan akan ajukan sebagai bukti baru di pengadilan PTUN yang kini tengah berlangsung, semoga bisa menjadi pertimbangan dalam putusan mereka nantinya,” ungkap Muhammad Al Amin, Kepala Biro Kampanye dan Advokasi WALHI Sulsel, sambil memperlihatkan surat KKP tersebut kepada media, minggu kemarin.

Dalam surat tertanggal 29 Maret 2016 yang ditandatangani oleh Brahmantya Satyamurti Poerwadi, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP ini, dijelaskan tentang posisi COI sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN).

“Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, rencana pengembangan COI di wilayah peisisir Makassar berada dalam Kawasan Mamminasata, yaitu Makassar, Maros, Sungguminasa, Takalar, termasuk dalam KSN, sebagaimana diatur dalam PP No.26 tahun 2008 tentang RTRW Nasional dan  Kawasan Strategis Provinsi Sulsel, berdasarkan Perda No.9 tahun 2009 tentang RTRW Sulsel,” jelas surat itu.

Surat tersebut juga menjelaskan kronologi permohonan rekomendasi reklamasi tersebut, dimana pada 23 September 2013, Pemprov Sulsel pernah menyampaian Surat No 503/5361/TARKIM kepada Menteri KKP perihal Permohonan Rekomendasi Izin Lokasi COI Makassar.

Menindaklanjuti surat tersebut, KKP sudah menyampaikan surat tanggapan melalui surat bernomor B.682/MEN-KP/X/2013 tanggal 31 Oktober kepada Pemprov Sulsel yang berisi antara lain penjelasan mengenai status wilayah COI Makassar, dan ketentuan-ketentuan dalam Perpres 122/2012 yang harus dipenuhi untuk rencana reklamasi COI Makassar.

“Kami informasikan bahwa surat tanggapan tersebut bukan surat izin yang dikeluarkan oleh KKP. Hingga saat ini KKP belum pernah mengeluarkan izin lokasi dan izin pelaksanaan untuk kawasan COI Makassar.”

Dalam surat KKP tanggal 31 Oktober 2013, yang selama ini dijadikan Pemprov Sulsel sebagai alas reklamasi, memang hanya berisi arahan dari KKP tentang bagaimana seharusnya reklamasi itu dilakukan dengan tetap mengacu pada aturan perundang-undangan yang berlaku.

“KKP pada prinsipnya mendukung rencana reklamasi kawasan COI namun demikian agar perencanaan dan pelaksanaan mengikuti peraturan perundang-undngan yang berlaku,” isi surat yang ditandatangani Sharif C.Sutardjo, Menteri KKP ketika itu.

Aturan perudang-undangan yang dimaksud adalah Pepres No.122 tahun 2012 Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan bahwa penentuan lokasi rekamasi berdasarkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi, Kabupaten/Kota dana tau RTRW Nasional, Provinsi, Kabupaten/kota.

KKP selanjutnya menyarankan agar Pemprov Sulsel segera menyusun Perda Zonasi sebagai landasan hokum pelaksanaan reklamasi tersebut, mencakup wilayah pesisir (0 -12 mil) Kabupaten/Kota se-Provinsi Sulsel. Saran yang sama juga ditujukan pada Pemkot Makassar.

Selanjutnya isi surat itu menegaskan bahwa mengingat lokasi reklamasi merupakan wilayah DLKr dan DLKp yang memiliki potensi sumber daya pesisir, hendaknya reklamasi tersebut menjaga dan memperhatikan keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat serta keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan peisisir dan pulau-pulau kecil.

Menurut Amin, surat klarifikasi dari KKP itu telah menjawab polemik selama ini perihal ada tidaknya izin rekomendasi dan izin prinsip pelaksanaan reklamasi kepada provinsi dari KKP.

“Kalau dilihat dari keempat poin yang disampaikan dalam surat tersebut terbaca dengan jelas bahwa KKP selama ini memang belum pernah memberikan rekomendasi apalagi izin reklamasi. Surat KKP tersebut hanyalah tanggapan atas permohonan rekomendasi dan jawaban surat itu tegas bahwa untuk melanjutkan reklamasi ini Pemprov harus membuat Peraturan Daerah tentang Zonasi terlebih dahulu. Perda ini yang belum ada sampai sekarang,” jelas Amin.

Proses di PTUN

Polemik reklamasi pesisir Makassar memasuki babak baru dengan adanya pengajuan tuntutan praperadilan WALHI Sulsel kepada Pemprov Sulsel beberapa waktu lalu.  Menurut Edi Kurniawan, aktivitas Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar yang menjadi pengacara dalam gugatan ke PTUN, proses peradilan ini baru masuk dalam proses pembuktian.

“Ini baru masuk pembuktian. Kita sudah mengajukan 15 bukti, sementara dari pihak tergugat sendiri baru mengajukan 6 bukti, dari 8 bukti yang dijanjikan,” jelas Edi.

Terkait adanya surat dari KKP yang membantah telah memberi izin reklamasi, dinilai Edi sebagai bukti baru yang bisa memperkuat posisi mereka di pengadilan.

“Surat ini memperjelas bahwa memang belum pernah ada izin untuk reklamasi. Ini juga memperjelas pelanggaran yang telah dilakukan oleh pihak Pemorv.”

Menurutnya, reklamasi tersebut memang baru bisa dilaksanakan jika sudah mengantongi tiga izin prinsip, yaitu dari Pemkot Makassar, Pemprov dan KKP.  “Izin dari Pemkot dan Pemrpov memang sudah terbit sejak 2009 lalu, sementara dari KKP ini yang belum ada.Ini diatur dalam Permen KKP No.17 tahun 2013.”

Menurut Edi, proses peradilan ini kemungkinan akan berlangsung hingga enam bulan, sehingga hasil putusan diharapkan sudah bisa diketahui pada Juli 2016 mendatang.

Sebanyak 44 kepala keluarga nelayan yang terkena dampak reklamasi Pantai Makassar, Sulsel menyatakan penolakan reklamasi karena hilangnya mata pencarian mereka. Sebagian besar mereka kini bekerja sebagai buruh bangunan dan tak lagi melaut. Foto: Wahyu Chandra
Sebanyak 44 kepala keluarga nelayan yang terkena dampak reklamasi Pantai Makassar, Sulsel menyatakan penolakan reklamasi karena hilangnya mata pencarian mereka. Sebagian besar mereka kini bekerja sebagai buruh bangunan dan tak lagi melaut. Foto: Wahyu Chandra

Menanggapi polemik reklamasi ini, Syahrul Yasin Limpo, Gubernur Sulsel, meminta semua pihak untuk tetap menunggu hasil praperadilan yang diajukan WALHI Sulsel ke PTUN Makassar.  “Kita tunggulah saja hasil peradilan. Kalau peradilan mengatakan ini salah dan harus berhenti ya kita berhenti. Tidak ada beban saya di sini. Pikiran saya hanya untuk rakyat mau buatkan karebosi baru. Mana ada pemerintah yang bisa buatkan losari baru dalam tanah 50 hektar. Siapa yang bisa buatkan pantai losari 5 km lagi?” Syahrul juga membantah tujuan reklamasi ini hanya untuk kepentingan bisnis semata, namun lebih pada kepentingan penyelamatan pesisir Makassar.

“Reklamasi untuk mitigasi bukan untuk untuk sebuah kepentingan bisnis. Disana ada Kepres, di sana ada Perda Tata Ruang. Biarkanlah peradilan melakukan itu, saya pasrah saja,” tambahnya.

Jangan Hanya di Jakarta

Menanggapi moratorium reklamasi di Jakarta, Amin menanggapi secara positif dan berharap itu juga bisa dilakukan di Makassar dan daerah lainnya yang sedang bermasalah dengan proyek reklamasi.

“Kita sambut baik dengan moratorium itu, namun jangan hanya di Jakarta saja lah. Mengingat kisruh reklamasi pesisir Makassar hingga saat ini masih terus bergulir, maka kami berharap agar Menteri KKP, mengambil langkah yang sama yakni menghentikan aktivitas reklamasi Makassar, apalagi ekonomi nelayan di area pesisir Makassar juga ikut merosot akibat aktivitas reklamasi.”

Menurut Amin, secara nasional WALHI memberi perhatian serius pada maraknya proyek reklamasi di sejumlah pesisir di Indonesia. Isu reklamasi ini bahkan rencananya akan dibicarakan secara khusus pada Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) WALHI yang diselenggarakan di Palembang pada 22-26 April 2016 ini.

KMAK Lapor ke KPK

Tidak hanya dari WALHI, penolakan reklamasi ini juga datang dari Koalisi Masyarakat Anti Korupsi (KMAK) Sulsel,yang dari awal mengakui telah mengendus indikasi korupsi dalam pembangunan mega proyek ini.

Menurut, Syamsuddin Alimsyah, salah seorang presidium KMAK, sejak tahun 2009 proyek Pemrov Sulsel ini dicanangkan tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan seperti UU No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil, UU No.23 tahun 2014 tentang Pemda, dan UU No.25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan.

“Dari hasil kajian KMAK, ditemukan adanya aktivitas pembangunan proyek CPI dan Wisma Negara dengan mereklamasi bibir Pantai Makassar 157 ha sejak 2009, yang dilaksanakan lebih 20 perusahaan termasuk Ciputra. Akvitas pembangunan ilegal, karena tidak sesuai perintah undang-undangan,” ungkap Syamsuddin.

Menurutnya, KMAK kini memiliki data terbaru dari hasil penelusuran dan pengkajian yang akan segera diserahkan ke KPK, sebagai tambahan atas data laporan dugaan korupsi diproyek ini yang telah dimasukkan sebelumnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,