,

Karut Marut Reklamasi Teluk Palu Makin Mengemuka

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tengah, Hasanuddin Atjo, angkat bicara soal reklamasi Teluk Palu. Dia mengatakan, masalah reklamasi harus ditinjau berdasarkan UU 26 Tahun 20017, tentang Penataan Ruang. Kewenangan reklamasi terbagi antara ada pusat dan daerah. “Jika 25 hektar, kewenangan gubernur, lebih kewenangan menteri. Kewenangan gubernur harus mendapati rekomendasi dari menteri terkait,” katanya di Palu, pekan lalu.

Pembahasan reklamasi mesti merujuk UU yang menyebutkan soal zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Termasuk kajian hukum dan teknis reklamasi Teluk Palu. “Perlu peninjauan kembali Perda RTRW provinsi dan Palu.”

Anggota DPRD Sulteng Alimuddin Pada mengatakan, masalah Teluk Palu, seharusnya lokasi reklamasi disurvei, apakah ada karang atau tidak. ”Saya khawatir ada karang endemik mungkin. Ini harus diperhatikan, jangan-jangan terumbu karang masih bagus justru direklamasi.”

Selain itu, katanya, sumber bahan galian harus jelas dan pengambilan material mesti memiliki izin.”Tak semudah itu mengubah bentang alam, darimana bahan ini, ada izin tidak?”

Sorotan terhadap reklamasi juga datang dari Komisi Ombudsman Sulteng.  Sofyan Lembah dari Ombudsman Sulteng mengatakan, carut marut pengelolaan Teluk Palu bersumber dari program Palu by Park. Informasi program Palu by Park sudah dijual ke seluruh dunia dalam bungkus potensi investasi reklamasi.

Sejauh ini, rencana reklamasi Teluk Palu terbagi dalam tiga zona, zona I, mulai Kelurahan Kampung Lere sampai ke Kelurahan Watusampu seluas 42 hektar. Sementara Zona II, sekarang ditimbun di sekitar Pantai Talise, seluas 38 hektar. Zona III, sekitar 42 hektar yakni PT Citra Land yang telah mereklamasi diam-diam lebih 10 hektar di Kelurahan Tondo.

Dalam kasus Citra Land, kata Sofyan, modus produk perumahan. “Setelah kebutuhan rumah meningkat, dia reklamasi.”

Proses perizinan reklamasi di Teluk Palu, mestinya menjadi kewenangan pusat. Tetapi ditaktisi dengan pemecahan konsesi terdiri dari lima hektar setiap lokasi hingga diklaim kewenangan pemerintah Palu.

“Reklamasi ini bukan masalah biasa, sudah jadi masalah luar biasa. Banyak pesisir pantai dan garis pantai disertifikatkan. Banggai akan reklamasi 300 hektar tetapi dia masih mendengar Ombudsman, akan menahan. Beda dengan Palu, terus berjalan hingga sekarang.”

Penelitian Ombudsman, terjadi lima mal administrasi oleh pemerintah kota dan provinsi terkait reklamasi Teluk Palu.

“Pelanggaran, pemalsuan dokumen, penanganan berlarut, gubernur tak menjalankan saran Ombudsman, inkompetensi, pelaksana reklamasi tak membebaskan lahan tetapi menimbun laut, pemerintah berpihak pada pengusaha, melalaikan kewajiban dalam pengawasan.”

Pemandangan Teluk Palu, Sulawesi Tengah dilihat dari ketinggian. Foto : Themmy Doaly

Ombudsman, katanya, akan mengeluarkan rekomendasi mal administrasi oleh ASN terkait reklamasi. “Ini fungsi Ombudsman mengawasi. Kenapa reklamasi kami soroti karena terjadi mal administrasi, dan mal administrasi sarat korupsi.”

Direktur Walhi Sulteng Aries Bira dihubungi terpisah menyampaikan, kalau pemerintah mendorong moratorium menunjukkan ada pelanggaran hukum dalam reklamasi. “ini poin penting buat Polda segera merespon.” Selama ini, katanya, polda menganggap tak ada pelanggaran hukum dalam kasus reklamasi.

Catatan Walhi Sulteng, dua kali pernyataan penghentian reklamasi Teluk Palu disampaikan tetapi terus jalan walaupun dugaan pelanggaran pidana tata ruang cukup jelas.

Edi Wicaksono Yayasan Merah Putih mengatakan, program pemerintah terhadap kelautan dan perikanan bersifat anomali. Dinas Kelautan dan Perikaan, melakukan perbaikan terumbu karang, transplantasi, apartemen karang. Saat bersamaan perusakan terumbu karang berlangsung.

Jemmy Hosan, Wakil Ketua Kadin Sulteng mengatakan, reklamasi Teluk Palu berkaitan dengan dunia usaha. “Teorinya, dunia usaha harus begerak, apabila reklamasi dihentikan, berarti transaksi berhenti. Usaha tak boleh berhenti, tetapi tak boleh juga melabrak aturan,” katanya.

Dia menyoroti,  soal izin prinsip timbunan keluar, padahal belum diketahui apakah ada perda zonasi atau tidak.  Semestinya,  dalam berusaha harus berkeadilan, transaksi berwawasan lingkungan, dan mengakomodasi usaha lain.

Galian pasir dan batu kerikil rusak Teluk Palu  

Sementara itu, penataan kelautan dan perikanan dihadapkan beragam tantangan, seperti terjadi di sekitar Teluk Palu, ada kontradiksi antara upaya perbaikan terumbu karang dengan keberadaan tambang pasir dan batu kerikil.

Komisi Ombudsman Sulteng mencatat, sebaran tambang galian pasir batu dan kerikil (sirtukil) sekitar Teluk Palu berada 23 titik plus dengan kapal tunda. Sebaran ekstraksi dan pengapalan material ini di sepanjang jalan dari Kelurahan Watusampu Palu hingga Loli, Donggala.

Sekretaris Asosiasi Pengusaha Tambang (Aspeta) Ridwan Taher membenarkan kondisi laut Teluk Palu, rusak. “Kami sampaikan ke anggota, jangan hanya keuntungan yang dipikirkan, masyarakat butuh perhatian, jangan seluruh masuk kantong, sisihkan sebagian untuk kebaikan lingkungan” katanya.

Aspeta Sulteng sedang mendorong reklamasi pasca tambang sebagaimana disarankan KPK. ”Sejauh ini belum optimal. Kita akan dorong pasca tambang ada dana bisa digunakan,” katanya.

Diakui Ridwan, dana sekitar Rp200 juta sekarang ini, dalam waktu 10-20 tahun ke depan, tak mungkin relevan untuk reklamasi tambang sekitar Teluk Palu. “ Teman-teman dan anggota kita diingatkan agar aspek lingkungan jangan terabaikan. Orang di sekitar tambang harus menikmati apa yang ada, jangan mereka menjadi penonton.”

Mengenai akses Jalan Palu- Donggala, yang sering terganggu diusulkan menjadi tanggung jawab perusahaan.”Saya sendiri yang membawa permohonan pemeliharaan jalan ke balai jalan di Makassar. Perusahaan siap menerima syarat tetapi sampai kemarin tak ada respon dari Balai.”

Jaya Rahman, aktivis Yayasan Pesisir Indonesia mengatakan, pengelolaan kelautan dan perikanan lebih cocok disebut usaha pertambangan versus dengan pelestarian tertumbu karang. “Sebelum ada tambang, usaha perikanan rakyat tumbuh bagus di Teluk palu. Sejak tambang merebak, hak-hak masyarakat dan lingkungan terabaikan.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,