,

Dari Lingkar Tiong Kandang, Warga Menanti Status Desa Adat Tae

Jangan ragukan kemampuan Orang Tae. Dalam hal pengelolaan sumber daya alam, mereka jagonya. Orang Tae tahu bagaimana cara merawat hutan, melindungi sumber-sumber air, dan menjaga kesuburan tanah. Melalui pengetahuan lokal yang dianut turun-temurun, Orang Tae dapat hidup selaras dengan makhluk hidup lainnya dalam sebuah lansekap “rumah” bersama.

Salah satu bukti nyata yang masih tersisa hingga kini adalah Bukit Tiong Kandang. Bukit kebanggaan warga Desa Tae, di Kecamatan Balai Batang Tarang, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat itu tetap “hidup”.

Sementara lansekap delapan perkampungan di bawah Ketemenggungan Tae, seperti menyiratkan harmoni hidup antara manusia dengan alam. Di lingkar Tiong Kandang inilah, ribuan jiwa bermukim. Mayoritas hidup dari berladang dan menoreh karet. Sementara tatanan sosial diatur dengan hukum-hukum adat.

Bukti lain kepiawaian Orang Tae menjaga alamnya adalah keberadaan tembawang di kaki Tiong Kandang. Dalam Buku Palasar Palaya’ Pasaroh terbitan Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kemasyarakatan Pancur Kasih (2013), menyebutkan tembawang sebagai lokasi bekas permukiman warga, baik perorangan maupun kelompok.

Buku itu menjelaskan pula bahwa tembawang adalah sebuah sistem penggunaan lahan yang terdiri dari berbagai jenis tumbuhan. Sistem ini dikelola dengan teknik-teknik tertentu sesuai dengan kearifan lokal mereka dan mengikuti aturan-aturan sosial sehingga membentuk keanekaragaman yang kompleks menyerupai ekosistem hutan alam.

Tembawang dianggap sebagai ekosistem yang unik, memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, mengandung nilai ekonomi, dan konservasi. Dengan demikian, tembawang adalah replika konservasi yang utuh. Di sanalah warga mengadu nasib, berharap peruntungan.

Seiring waktu berjalan, tembawang kini dalam bayang-bayang kepunahan. Ancaman itu tidak hanya datang dari luar komunitas, tapi juga bercokol di dalam komunitas adat. Populasi manusia bertambah, tapi tidak untuk ruang kelola. Inilah yang membuat warga Desa Tae galau.

Inilah salah satu tembawang di Desa Tae yang tetap terjaga dengan keanekaragaman hayati menyerupai ekosistem hutan alam. Foto: Andi Fachrizal
Inilah salah satu tembawang di Desa Tae yang tetap terjaga dengan keanekaragaman hayati menyerupai ekosistem hutan alam. Foto: Andi Fachrizal

Ancaman konflik tenurial

Kepala Desa Tae, Melkianus Midi baru saja tiba di kediamannya di Dusun Tae ketika malam sudah beranjak larut. Sesekali dia melempar senyum kendati segudang persoalan desa masih bertengger di pundaknya.

Kala itu, Selasa (12/4/2016), suasana di kediaman Midi cukup hingar. Selain para jurnalis dan perwakilan dari Perkumpulan Pancur Kasih, Institut Dayakologi, dan Yayasan Perspektif Baru, hadir pula tokoh adat dan tokoh masyarakat lainnya.

Salah satu hal yang paling dikhawatirkan Midi adalah konflik tenurial. “Mungkin sekarang belum terjadi. Tapi ke depan, kita tidak tahu. Masalahnya, jumlah penduduk akan terus bertambah, tapi hal itu tidak dibarengi dengan penambahan luas ruang kelola masyarakat adat,” katanya membuka percakapan.

Hingga akhir 2015, kata Midi, jumlah penduduk Desa Tae mencapai 1.398 jiwa. Mereka masih menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam seperti berladang dan menyadap karet. Jumlah penduduk sebesar itu tersebar di empat dusun atau delapan kampung.

Berbagai inisiatif sudah dilakukan. Termasuk mengurai benang kusut yang selama ini datang mendera. Tidak ada pilihan bagi masyarakat adat Tae, kecuali membangun “pagar” desa. “Ya, kita bermusyawarah untuk menetapkan sekaligus menegaskan wilayah adat melalui pemetaan partisipatif,” ucapnya.

Ternyata, langkah ini tak semudah membalik telapak tangan. Orang Tae belum memiliki kapasitas yang cukup untuk merealisasikan niat tersebut. Alih-alih membuat peta. Penguasaan teknologi sekelas GPS (global positioning system) pun masih jauh dari harapan.

Maka, pilihannya adalah menggandeng lembaga swadaya masyarakat agar bisa berbagi ilmu sekaligus turut mendampingi warga dalam proses pemetaan partisipatif. Perkumpulan Pancur Kasih (PPK), sebuah lembaga yang sudah malang-melintang mendampingi masyarakat adat menjadi pilihan.

Air terjun ini mengalir hingga ke kaki Bukit Tiong Kandang dan menjadi anugerah alam bagi masyarakat adat Desa Tae. Foto: Andi Fachrizal
Air terjun ini mengalir hingga ke kaki Bukit Tiong Kandang dan menjadi anugerah alam bagi masyarakat adat Desa Tae. Foto: Andi Fachrizal

Petakan delapan kampung

Seperti gayung bersambut, PPK pun menerima tawaran itu sekaligus menyatakan kesiapannya menjadi fasilitator. Tidak terlampau rumit bagi lembaga ini untuk mengemban amanah warga Desa Tae, jika beranjak dari pengalaman memfasilitasi pemetaan partisipatif di 390 kampung yang ada di sembilan kabupaten se-Kalbar, dengan luas total 1,6 juta hektar. Dan, delapan kampung se-Desa Tae pun kelar dipetakan pada 2013.

Kampung-kampung itu adalah Maet, Tae, dan Teradak di Dusun Tae; Kampung Semangkar di Dusun Semangkar; Kampung Padakng dan Peragong di Dusun Padakng; dan Kampung Bangkan serta Mak Ijing di Dusun Mak Ijing.

Bupati Sanggau, Paolus Hadi mendukung penuh inisiatif warga dan menghadiri proses peluncuran peta-peta kampung di wilayah adat Tae pada Rabu (26/8/2014). Warga di enam desa yang berdomisili di lingkar Tiong Kandang pun turut hadir.

Dari hasil pemetaan partisipatif itu, terungkap fakta bahwa wilayah administratif Desa Tae seluas 2.538,55 hektar ternyata masih tumpang tindih dengan kawasan hutan, baik hutan lindung (HL) maupun hutan produksi biasa (HPB). Tak tanggung, luas irisan mencapai 2.118,63 hektar (83,45 persen).

Rinciannya adalah, sebanyak 683,76 hektar (26,93 persen) berstatus hutan lindung (HL). Pada kasus ini, hak akses pengelolaan dan pemanfaatan masyarakat adat Desa Tae dibatasi/dilarang menurut undang-undang. Selanjutnya, ada 1.434,87 hektar (56,52 persen) adalah hutan produksi biasa (HPB). Ini berarti ada open akses sumber daya alam, baik untuk kepentingan internal maupun eksternal.

Kampung Bangkan terdeteksi paling luas beririsan dengan HL yaitu mencapai 302,67 hektar. Disusul kemudian Kampung Padakng 266,13 hektar, Kampung Mak Ijing 65,74 hektar, dan Kampung Teradak 50,23 hektar.

Peta Wilayah Adat Desa Tae. Peta: Perkumpulan Pancur Kasih
Peta Wilayah Adat Desa Tae. Peta: Perkumpulan Pancur Kasih

Dengan demikian, hak akses masyarakat adat Desa Tae saat ini hanya seluas 419,97 hektar (16,54 persen) di kawasan Pertanian Lahan Kering (PLK). Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk 1.398 jiwa, maka distribusi tanah untuk satu jiwa sama dengan 0,3 hektar. Artinya, antara ketersediaan lahan dengan jumlah dan pertambahan penduduk, masyarakat adat Desa Tae ini rentan terhadap kemiskinan, dan berpotensi konflik tenurial.

Direktur Perkumpulan Pancur Kasih, Matheus Pilin mengatakan, hasil pemetaan partisipatif di atas sudah menjawab betapa kecilnya ruang kelola masyarakat adat. “Ancamannya adalah kemiskinan dan konflik tenurial. Ini bisa diprediksi lantaran keterbatasan akses masyarakat adat terhadap sumber daya alam akibat terbelenggu status kawasan,” katanya.

Padahal, kata Pilin, mereka sudah membuktikan eksistensi dirinya sebagai masyarakat adat yang mampu menjaga keseimbangan alam melalui nilai-nilai lokal yang dianut. Masyarakat percaya ketika hutan rusak, maka berakhirlah sumber kehidupan mereka.

Bertitik tolak dari sejumlah upaya yang sudah dilakukan oleh masyarakat Tae, baik asal-usul, kepastian hak atas wilayah adat, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, kini mereka menunggu pengakuan pemerintah, bahwa Desa Tae layak menjadi desa adat.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,