,

Hakim Bersertifikasi Lingkungan akan Diprioritaskan Kawal Wilayah Karhutlah

Lemahnya penegakan hukum atau adanya ketidakpuasan publik terhadap keputusan pengadilan terhadap kasus lingkungan hidup, salah satunya disebabkan karena minimnya hakim bersertifikasi lingkungan hidup. Dari delapan ribuan hakim yang ada, hanya 413 hakim yang bersertifikasi lingkungan hidup. Untuk itu, Mahkamah Agung (MA) akan memprioritaskan hakim bersertifikasi lingkungan hidup bekerja di wilayah yang banyak persoalan kebakaran hutan dan lahan (karhutlah).

“Penempatan hakim bersertifikasi lingkungan hidup akan dipetakan, di mana ada hot spot atau ada kejadian (karhutlah), maka daerah tersebut akan diprioritaskan,” kata Hakim Agung I Gusti Sumanatha, di sela lokakarya Implementasi Pedoman Penomoran Perkara Lingkungan Hidup yang digelar Mahkamah Agung (MA), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), REDD+UNDP di Ballroom Hotel Aryaduta Palembang, Selasa  (26/04/2016).

“Daerah lain juga kita libatkan tapi porsinya lebih kecil, karena hakim ada tour of duty. Dia cepat berpindah dan sebagainya,” katanya.

Sampai saat ini, jumlah hakim bersertifikasi lingkungan hidup di Indonesia terbilang minim, hanya 413 hakim. Keseluruhan hakim tersebut, bertugas di tingkat pertama dan banding untuk peradilan umum dan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Terkait minimnya jumlah hakim bersetifikat, Sumanatha menjelaskan, MA akan menargetkan minimal 80 hakim bersertifikat lingkungan hidup setiap tahun. “Kita harus berbagi, sebab saat ini banyak bidang hukum yang ada di Indonesia baik tipikor, perikanan atau maritim, niaga, PHI, anak, dan lainnya,” katanya.

Pakar gambut Prof. Dr. Bambang Heroe Saharjo mengatakan, optimistis jika penanganan kasus hukum lingkungan hidup di Indonesia akan mengalami perbaikan. “Upaya MA ini memberikan harapan kita bersama terhadap lahirnya keputusan-keputusan hukum terkait lingkungan hidup yang berkualitas dan pro lingkungan hidup.”

Suasana persidangan KLHK versus PT. BMH di PN Palembang, yang digelar Rabu (30/12/2015) lalu. Hakim menolak tuntutan KLHK. Foto: Taufik Wijaya

115 hakim dididik

Lokakarya ini diikuti 115 peserta yang terdiri ketua, panitera, panitera muda perdata dan pidana dari pengadilan negeri Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Lampung dan Bangka-Belitung, serta dari PTUN di Bengkulu, Tanjung Pinang dan Bandar Lampung. Kegiatan berlangsung dua hari, 25-26 April 2016. Sebelumnya, kegiatan yang sama digelar di Pekanbaru dan Balikpapan.

“Kegiatan ini menunjukkan MA memiliki komitmen pada pembangunan berkelanjutan,” kata Prof. Dr. Takdir Rahmadi, Ketua Kelompok Kerja Lingkungan Hidup Nasional (Pokja LHN), Senin (25/04/2016). Pokja LHN dibentuk MA pada 2014 lalu.

Dijelaskan Takdir, kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari nota kesepahaman kebijakan penomoran perkara antara MA dengan KLHK. “Latar belakangnya bagaimana lingkungan hidup yang sehat dan bersih, serta sumber daya alam dan keanekaragaman hayati berkelanjutan bisa dipelihara dan dinikmati oleh generasi sekarang dan mendatang,” ujarnya.

Beberapa pakar tampil dalam kegiatan ini. Prof. Dr. Bambang Heroe Saharjo membawakan makalah “Aspek Lingkungan dan Dampak Ekologis dari Kebakaran Hutan dan Lahan Termasuk Rawa Gambut Beserta Ekologi Rawa Gambut.” Serta Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf mengenai perizinan yang relasinya dengan penegakan hukum dan karhutlah.

Hadir pula Dr. Andri G Wibisana (UI), Kemal Amas (Sekjen Penegakan Hukum KLHK), serta Hakim Agung I Gusti Sumanatha.

Sumber: Aliansi Organisasi Masyarakat Sipil (CSO) Sumsel

Hadirnya sejumlah pakar lingkungan hidup dalam kegiatan yang juga menggelar lokakarya tersebut, menurut I Gusti Sumanatha adalah agar peserta pelatihan mendapatkan ilmu yang cukup, keterampilan yang baik, juga pemahaman masalah etika dan penegakan hukum bidang lingkungan.”

Dijelaskannya, tuntutan masyarakat selama ini membuktikan penyelesaian kasus lingkungan hidup harus dilakukan hakim bersertifikat lingkungan hidup, sehingga isu penomoran perkara lingkungan hidup menjadi penting. Dari awal, harus mampu diidentifikasi bahwa perkara lingkungan harus ditangani oleh hakim yang bersertifikat lingkungan hidup. “Kita harapkan putusannya berkualitas, komprehensif dan pro lingkungan.”

Selain itu, dengan penomoran ini, MA akan lebih mudah memetakan isu-isu masalah lingkungan dan mendapatkan gambaran jelas keadaan penegakan hukum bidang lingkungan yang penting bagi kebijakan MA ke depan.

“Minimal kita sudah menyiapkan infrastruktur bidang lingkungan, saya kira kita konstistens dalam dalam implementasinya,” katanya.

Kasus PT. BMH

Terkait kasus gugatan KLHK terhadap PT Bumi Mekar Hijau (BMH), Prof. Dr. Takdir Rahmadi berharap masyarakat bersabar atas keputusan hukum yang akan diambil. “Kita tidak boleh beropini. Kasus tersebut belum memiliki keputusan hukum tetap,” kata Takdir menjawab wartawan.

PT. BMH dan KLHK sendiri saat ini dalam proses banding di Pengadilan Tinggi Palembang. “Saya bukan memprovokasi, saya justru berharap ke depan masyarakat dapat lebih kritis dalam penegakan hukum terkait lingkungan hidup, melakukan upaya hukum untuk perbaikan lingkungan hidup,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,