, ,

BKSDA Sumut Sita Elang Bondol, Bagaimana Upaya Rehabilitasi?

Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Utara (BBKSDA Sumut), Jumat (22/4/16) menyita elang bondol, yang dipelihara warga di kolam pancing, di Sibolangit, Deli Serdang. Satwa ini, terlihat terkurung dalam kandang sempit, dan bagian kaki diberi gelang rantai kecil. Ia tak liar lagi. Saat disita ia tak melawan.

Herbert Aritonang, Kepala Seksi Wilayah II Stabat, BBKSDA Sumut, kepada Mongabay mengatakan, ketika pemeriksaan, pemilik tak mengetahui elang ini dilindungi.

Dia menjelaskan, dari pengamatan lapangan, kondisi sehat dan terlalu jinak, hingga perlu karantina dan rehabilitasi. Perawatan elang di lembaga konservasi, Medan Zoo. “Kita lihat dulu bagaimana kondisi selama dirawat di Medan Zoo. Jika memungkinkan dan benar-benar sehat segera rilis ke alam,” katanya.

Berdasarkan pengamatan, menurut Herbert, ada kawasan konservasi di Swaka Margasatwa Karang Gading, Langkat Timur Laut, habitat elang bondol ini. Kemungkinan besar rilis kesana.

Populasi satwa ini, katanya, makin terancam karena perburuan tinggi dan habitat alam rusak. Hingga upaya konservasi sangat membantu kelestarian bondol.

Zainul Akbar Nasution, Manager Medan Zoo, mengatakan, langkah pertama pemeriksaan kesehatan menyeluruh, apakah memiliki penyakit berbahaya menular atau tidak. Penyakit paling berbahaya burung adalah virus flu burung. “Jika memang benar-benar sehat dan stearil, akan karantina di kandang sementara, kemudian digabungkan dengan sembilan bondol lain di Medan Zoo.”

Herbert Aritonang, BBKSDA, kala menyita elang bondol. Foto: Ayat S Karokaro
Herbert Aritonang, BBKSDA, kala menyita elang bondol. Foto: Ayat S Karokaro

Rehabilitasi

Erni Jumilawaty, Peneliti Burung Jurusan Biologi Universitas Sumatera Utara (USU), mengatakan, semua elang dilindungi, namun tak semua masyarakat tahu. Jadi,  perlu ada kampanye campaign kesadartahuan soal satwa agar tak terus diburu.

Di Sumut, bondol bisa ditemukan di Binjai, hutan dekat Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), dan pesisir pantai di Langkat bagian timur. Mereka terbang sendiri atau berdua pasangan, jika beruntung bisa melihat anak turut terbang.

Bondol, katanya, tergolong burung pemangsa, terlihat kokoh dan gagah, memiliki paruh sangat tajam karena pemakan daging, hingga harus dihindari manusia terutama mata. Terkadang, ada yang ingin berinteraksi dengan satwa ini, tanpa memperhatikan bahaya. Cakar kaki juga tajam karena pemanjat pohon hingga bahaya hampir sama dengan paruh.

Bondol sitaan, katanya, membutuhkan waktu untuk mengembalikan sifat liar seperti melatih mencari makan sendiri. Jadi, perlu kesabaran dan penelitian mendalam agar satwa jinak ini, kembali liar dan layak rilis.

Jangka waktu hingga dirilis ke alam, tergantung masing-masing spesies. Kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru tergantung bagaimana kemampuan bertahan satwa ini. Perlu penelitian khusus soal perilaku sampai siap rilis.

“Penelitian perilaku perlu. Jangan sampai dilepasliarkan tetapi belum siap beradaptasi, hingga mati. Tergantung tim yang melatih.”

Penelitian perilaku, katanya, bisa melibatkan mahasiswa dari universitas atau pakar yang memahami satwa ini. “BKSDA atau lembaga konservasi jangan cuma merehabilitasi tanpa ada upaya membuat bondol liar kembali.”

Elang bondol sitaan. Foto: Ayat S Karokaro
Elang bondol sitaan. Foto: Ayat S Karokaro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,