Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melanjutkan koordinasi sub perkebunan (Korsub sawit) di 13 wilayah di Indonesia, salah satu Papua. Berbagai kalangan di Papua menyambut gembira dengan harapan carut-marut seputar perkebunan sawit bisa terungkap dan ada penyelesaian.
Simon Kalambu Balagaize, pemuda Kampung Wambi, Distrik Okaba senang, lantaran Korsub KPK akan ke Papua, terutama Merauke. Selama ini, banyak masalah dari batas tanah, pengambilan lahan adat, pencemaran air, sampai janji-janji manis perusahaan kepada warga.
Dia berharap, dengan KPK masuk ada transparansi kebun-kebun sawit di tanah adat Merauke, dan mengecek pembukaan Merauke Integrated Food and Energi Estate (MIFEE) dengan puluhan perusahaan bercokol.
Kebun sawit, bertebaran di hulu Kali Bian, Maro dan Kumbe. Dampak pencaplokan tanah adat oleh perusahaan sawit, katanya, menimbulkan konflik internal dalam adat (marga) soal batas tanah, dan berbagai sengketa di masyarakat Marind. Belum lagi, limbah, penebangan hutan, ikan, maupun hewan buruan berkurang.
Simon mencontohkan, warga Dusun Maam Distrik Ngguti, Distrik Muting hingga Selauw di hulu Kali Bian, sampai Distrik Elikobel, Distrik Ulilin, kehilangan banyak hal gara-gara sawit. “Dusun sagu (hilang), hewan buruan tak ada lagi. Sumber air makin jauh, karena sawit menyerap banyak air,” katanya.
Anselmus Amo, Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Merauke, mengatakan, kebun sawit tersebar di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Papua, seperti Kabupaten Merauke, Boven Digoel dan Mappi. “KPK datang saja ke Merauke, berbagai masalah akan terungkap. Mulai perjanjian dengan pemilik lahan, izin perusahaan bermasalah, pencaplokan tanah-tanah adat dan lain-lain,” katanya.
Dia mengatakan, ada tiga isu penting kalau berbicara tentang lahan sawit, yaitu, mengindentifikasi pemetaan dan registrasi sawit rakyat, pemetaan perizinan perkebunan sawit, optimalisasi penerimaan negara. “Warga Marind tak bisa makan sawit. Yang mereka perlukan sagu. Masyarakat Papua tak ada punya kebun sawit,” katanya.
Untuk itu, katanya, kerja Korsub KPK nanti mesti memantau berbagai lahan di Merauke dengan beragam masalah sawit, mulai perizinan, Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), tumpang tindih izin, kerusakan lingkungan, sengketa lahan, sampai soal pembayaran lahan.
Amo meminta, KPK juga mencermati pencanangan sejuta hektar sawah oleh Presiden Joko Widodo di Merauke. “ Jika tanam padi air darimana, harus diteliti lagi. Demi kebun sawit di hulu Kali Maro, Kumbe, Bian saja hanya mengandalkan air baku penduduk Merauke.”
Belum lagi, pembukaan lahan menghabiskan kayu. Kala tak ada penahan air, banjir bakal melanda Merauke. “Jika air semua untuk sawit, Merauke mengalami kekeringan. Belum lagi, pencemaran air karena pupuk. Air mengalir ke muara dan rawa. Semua tahu, tanah Merauke, berongga. Kalau terjadi, sawah Jokowi rusak semua. Orang Merauke harus berpikir menyeluruh.”
Amdal bermasalah
Kekhawatiran terhadap kerusakan lingkungan sangat beralasan, terlebih dugaan kuat banyak Amdal copy paste. SKP telah mempelajari berbagai Amdal perusahaan di Merauke, dan menemukan seakan hanya copy paste. Untuk itu, KPK penting memperhatikan masalah ini.
Pastor Keuskupan Agung Merauke ini berharap, KPK juga mengindentifikasi dan memetakan apakah perizinan perusahaan sesuai aturan, rancangan tata ruang wilayah (RTRW) dan menghargai hak-hak warga, misal, tempat sakral (keramat), maupun dusun sagu. Sawit, katanya, telah melibas tempat penting orang Marind.
Sedang di Boven Digoel, ada 17 perusahaan berpusat di Distrik Jair. Pusatnya, PT Korindo, perusahaan asal Korea memiliki pabrik minyak sawit. Dari buku Atlas Sawit Papua, terbitan Yayasan Pusaka 2015, menyebutkan, beberapa anak usaha perusahaan ini, seperti PT. Berkat Cipta Abadi, PT Dongin Prabawa, PT Bio Inti Agrindo, PT Inocin Abadi, PT Agrinusa Persada Mulia.
Amo mendesak, pemerintah menghentikan perusahaan mengembangkan sawit di Merauke dan Boven Digoel, sambil dilakukan penataan. Dia sedih melihat lahan-lahan berganti sawit seperti di Kampung Bupul, Distrik Elikobel. “Tinggallah tiga hingga empat pohon sagu berdiri.”
Efendi Kannan, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Merauke mempersilakan KPK masuk. ”Silakan saja. Mereka berhak periksa seluruh lahan pemerintah.” Dia tampak membela perusahaan. “Perusahaan skala besar tak mungkin tak memiliki Amdal dan tanggung jawab sosial,” katanya.
Pemerintah, katanya, mengeluarkan perizinan termasuk legalitas kayu dan lahan. “Banyak orang katakan, investor ingin mengambil lahan masyarakat. Tak seperti itu. Pemerintah sesungguhnya membolehkan mengundang investor melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Investor hanya memakai lahan masyarakat sesuai perjanjian. Pemerintah tak punya hak untuk mencampur.”
Pemerintah, katanya, hanya penengah antara pemilik lahan dan perusahaan. “Izin keluar hak guna usaha. Bila batas waktu selesai silakan perusahaan mengembalikan pada masyarakat.”
Daniel Pauta, Sekretaris Pemda Merauke mengatakan, investor mendapatkan izin lokasi dari pemerintah untuk jangka waktu tiga tahun. “Jika belum operasi lagi, otomatis izin tak berlaku lagi.”
Pemerintah, katanya, tak sembarang mengeluarkan izin. Menurut dia, ada sekitar 48 perusahaan mau berinvestasi di Merauke, aktif sekitar tiga.