Pertahankan Lahan Pertanian, Upaya Hukum Warga Kulonprogo Terbentur Aturan Baru MA

Ratusan orang tampak memenuhi halaman Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta pada Senin (18/4/16). Ternyata warga tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) Kecamatan Temon, Kulonprogo, Yogyakarta. Mereka ingin Peninjauan Kembali putusan kasasi PTUN yang mengalahkan warga. Sayangnya, upaya PK patah setelah ada aturan terbaru dari Mahkamah Agung.

Pada putusan awal, warga menang, PTUN mengabulkan gugatan warga soal pencabutan penetapan lokasi pembangunan bandara di Kulonprogo tetapi kala kasasi kalah.

Humas PTUN Yogyakarta Umar Dhani mengatakan, ada peraturan baru dari MA Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Penetapan Lokasi Pebangunan untuk Kepentingan Umum Pada Peradilan TUN.

Aturan itu, katanya,  menyebutkan, tak tersedia upaya hukum peninjauan kembali. Berkas PK,  tak bisa ditindaklanjuti karena gugatan diajukan setelah ada peraturan MA. “Mendaftarkan PK setelah Perma keluar, tak bisa diproses,” katanya.

Warga dan LBH Yogyakarta tetap mendaftarkan, tetapi ditolak. Kuasa Hukum warga, Yogi Zul Fadhli mengecam keras peraturan MA yang menutup akses jalan pencari keadilan. “Melalui norma hukum itu, hak asasi manusia, hak keadilan dilanggar negara,” katanya.

Dia kecewa dengan PTUN karena tak mengakomodir PK warga. Padahal,  sebelumnya pengadilan administrasi ini banyak mendapat apresiasi karena putusan progresif membatalkan Surat Keputusan Gubernur Yogyakarta soal penetapan lokasi pembangunan bandara Kulonprogo.

Semestinya, PTUN hanya menerima permohonan PK dan meneruskan ke MA. MA akan menilai apakah PK layak atau tidak. Sebab, katanya, sesuai asas, hakim tak boleh menolak perkara dengan alasan hukum tak ada, tak lengkap atau samar-samar. “Mau tak mau, perkara yang diajukan melalui upaya hukum luar biasa PK ini harus diterima dan ditindaklanjuti.”

 

Tanah produktif

Martono, Koordinator WTT mengatakan, salah satu alasan penolakan karena sebagian besar (80%) warga memiliki sertifikat tanah. Mayoritas sebagai petani. “Pemerintah, silakan membangun bandara di lahan gersang dan tak produktif. Lahan Temon produktif. Jika kebutuhan kepentingan publik, publik yang mana? Bertani juga kepentingan publik,” katanya.

Penolakan mereka sejak empat tahun lalu. Pembangunan bandara berawal kesepahaman antara pemerintah Indonesia, diwakili Angkasa Pura I dengan investor India GVK Power & Infrastructure pada 25 Januari 2011. Kerjasama itu membentuk perusahaan patungan (joint venture) dengan masing-masing pihak memiliki hak kepemilikan saham, dengan dana US$500 juta.

Martono mengatakan, proyek ini juga tak aspiratif dan tak mendukung kehidupan warga Kulonprogo yang berlatar petani dan peternak. Lahan pertanian yang akan menjadi bandara begitu produktif. Bahkan, komoditas petani pesisir seperti cabai, melon, dan semangka,  menjadi unggulan yang disuplai ke Pasar Induk Kramatjati, Jakarta.

“PTUN Yogyakarta dan Mahkamah Agung merampas hak warga negara menuntut melalui mekanisme hukum.”

Warga Kecamatan Temon, Kulonprogo menolak pembangunan bandara Kulonprogo. Foto: Tommy Apriando
Warga Kecamatan Temon, Kulonprogo menolak pembangunan bandara Kulonprogo. Foto: Tommy Apriando
Maket Bandara Kulon Progo.
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,