Maraknya kasus perdagangan satwa menjadi indikasi kuat masih banyaknya aktivitas perburuan di alam. Kondisi ini sebagaimana yang terjadi di Taman Hutan Raya (Tahura) Raden Soerjo, Jawa Timur. Awal April 2016, seekor rusa timor (Cervus timorensis) ditemukan mati di kawasan pemandian air panas Cangar, Batu, oleh wisatawan yang sedang berkunjung. Diduga, rusa ini ditembak dan digigit anjing pemburu. Padahal, di tahura ini hidup juga berbagai jenis satwa lain seperti lutung jawa dan berbagai jenis burung.
Perburuan satwa liar di Tahura R. Soerjo diakui oleh Ketua PROFAUNA Indonesia, Rosek Nursahid, telah lama terjadi. Bahkan, setiap minggu ada satwa yang dipastikan mati. Minimnya penjagaan dan petugas patroli, menjadikan para pemburu satwa leluasa keluar masuk tanpa ada kekhawatiran. “ Ada beberapa titik yang hutannya bagus dan satwanya banyak, tapi tidak ada petugas yang menjaga di sana,” tuturnya baru-baru ini.
Rosek mengatakan, penempatan petugas jaga atau polisi kehutanan di Tahura R. Soerjo dinilai kurang maksimal, karena hanya ditempatkan di loket pintu masuk. Bukan di kawasan yang rawan perburuan. “Contohnya di Cangar, Batu dan Padusan Pacet, Mojokerto, kawasan yang banyak keanekaragaman hayatinya.”
PROFAUNA Indonesia lanjut Rosek, telah berkirim surat kepada Pemprov Jawa Timur, selaku penanggung jawab pengelolaan Tahura R. Soerjo. Rosek berharap, pemerintah serius menyikapi hal ini, dengan menambah petugas penjagaan dan patroli, khususnya di titik-titik yang sering menjadi tempat perburuan satwa liar. “Bukan menambah polhut di tempat wisata, tapi di tempat yang tidak ada posnya dan sering dijadikan tempat berburu.”
Komitmen Pemerintah
Gubernur Jawa Timur, Soekarwo menegaskan, upaya menjaga dan mengamankan hutan dari para pemburu telah dilakukan, meski pihaknya mengakui kesulitan mengatasi persoalan perburuan liar tersebut tanpa keterlibatan semua pihak. Penambahan personil pengamanan bukan merupakan jawaban, bila masyarakat tidak memiliki kesadaran pentingnya menajga hutan beserta satwa di dalamnya. “Pastinya polisi kehutanan akan kita tambah untuk pengamanan. Kerja sama dengan polisi setempat juga dilakukan. Tapi yang terpenting adalah kesadaran masyarakat.”
Soekarwo mengatakan, selama perburuan satwa masih dianggap menguntungkan secara ekonomi, masih sulit menghentikan perbutan terlarang itu meski sudah ada aturan dan sanksi. “Yang baik adalah menggerakkan masyarakat untuk peduli terhadap satwa.”
Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Timur, Ayu Dewi Utari mengungkapkan, penyadaran kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga kelestarian ekosistem hutan harus terus dilakukan. Selain itu, penindakan dan sanksi hukum harus tegas diberikan oleh aparat agar memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan satwa.
“Pemburu liar ini harus diberikan hukuman yang setimpal dan seberat-beratnya, kalau cuma ditangkap satu atau dua bulan, tidak ada tobatnya.”
Ayu mengakui, jumlah petugas yang dimiliki tidak akan mampu menjangkau seluruh kawasan yang harus diamankan. Peran serta masyarakat memang harus ditingkatkan. “Kalau berhitung petugas kami tidak akan mampu menjangkau seluruh wilayah. Kami bekerja sama dengan kader konservasi seperti PROFAUNA yang nyatanya lebih efektif karena mereka tersebar,” ungkap Ayu.
Tahura R. Soerjo dicanangkan sebagai kawasan hutan raya pada 1992 yang meliputi hutan lindung Gunung Anjasmoro, Gunung Gede, Gunung Biru, Gunung Limas, serta cagar alam Arjuno-Lalijiwo. Pada 1997, luas kawasan hutan raya R. Soerjo bertambah menjadi 27.868,30 hektare, yang terdiri dari 22.908,3 hektar hutan lindung, dan kawasan Cagar Alam Arjuno-Lalijiwo seluas 4.960 hektar. Secara administratif, wilayahnya meliputi lima daerah yaitu Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Jombang, Kabupaten Malang, Kota Batu, dan Kabupaten Pasuruan.