Koalisi Anti Mafia Hutan baru-baru ini merilis kajian soal kekhawatiran pemenuhan pasokan kayu PT OKI Pulp dan Paper Mills (pabrik OKI), kala nanti beroperasi. Koalisi menyatakan, kala tak transparan, pabrik anak usaha Sinar Mas dengan kapasitas produksi 2 juta ton pulp dan 500 ton tisu per tahun ini berpotensi menjarah hutan alam.
Pembangunan pabrik mulai 2013. Koalisi mendapatkan informasi, Sinar Mas/APP merencanakan peningkatan kapasitas produksi pulp 2,8-3,2 juta ton per tahun. ”Belum menyebutkan rencana perusahaan peningkatan kapasitas produksi pulp OKI kapan,” kata Direktur Eksekutif Hutan Kita Institute (HaKI), Aidil Fitri.
Hingga 10 April 2016, APP belum mengumumkan rencana pasokan kayu jangka panjang. Kondisi ini, katanya, mengindikasikan kemungkinan perambahan hutan jika transparansi rantai pasokan tak jelas.
Pada 2013, APP berkomitmen zero deforestatiom, tetapi banyak kritikan menyebutkan grup Sinar Mas ini seringkali berkontribusi dalam pemanasan global. ”Sekitar 77% konsesi di lahan gambut. Kebakaran tahun lalu itu rawan kebakaran.”
Nursamsu, dari Eyes on the Forest (EoF) menyebutkan, Oktober 2015, APP melaporkan area poduktif telah ditanami di Sumsel 328.956 hektar. Kala kapasitas 2 juta ton, OKI membutuhkan 388.000 hektar dengan asumsi pertumbuhan tinggi. Jika sedang, membutuhkan 480.000 hektar. Berbeda jika, kapasitas 2,8 juta ton maka OKI membutuhkan 543.000 hektar dengan asumsi pertumbuhan tinggi dan 673.000 hektar dengan pertumbuhan sedang.
”APP menghadapi kekurangan pasokan di tiga pabrik di Sumatera. Kekurangan tergantung kapasitas terpasang OKI, skenario pertumbuhan dan areal terbakar,” katanya.
Berdasarkan data HaKI 2016, terdapat 293.000 hektar lahan terbakar dalam konsesi APP Sumsel 2015, 26% akasia atau 86.000 hektar terbakar itu diperkirakan pasokan kayu APP di Sumsel.
Lokasi pembangunan pabrik OKI di Sumsel ini menjadi provinsi paling terdampak berat kebakaran hutan 2015. Ada 600.000 hektar terbakar. Kerusakan US$3,9 miliar.”
APP memiliki opsi terbatas, katanya, dengan memperluas areal tanam di konsesi Sumsel dengan komitmen tak menggarap kawasan konservasi tinggi atau mendatangkan kayu dari luar Sumsel, biaya lebih mahal. Koalisi melihat, areal tanam dan kebutuhan masih ada kesenjangan. ”Areal tanam APP belum memenuhi kebutuhan serat kayu pabrik yang ada, juga pabrik OKI,” kata Reza Lubis, dari Koalisi Anti Mafia Hutan.
Investasi pabrik OKI sekitar US$2,6 miliar. Pembebasan pajak 10 tahun, delapan tahun pertama 0%. Penanaman modal ini menjanjikan 15.000 lapangan kerja baru, naikkan nilai ekspor sampai 36% dan gross domestik product (GDP) 9%. Perkiraan Bank Dunia, dampak kebakaran dan asap sampai US$3,9 miliar atau Rp53,8 triliun.
Ia juga menghasilkan gas rumah kaca (GRK) 11,3% dan degradasi lahan. Pasalnya, HTI di lahan gambut berisiko subsidensi lahan, banjir, dan lahan sulfat masam.
Rekomendasi
Koalisi Anti mendesak pemerintah melihat lebih jeli atas pembangunan pabrik dengan lingkungan. Jadi, kata Reza, perlu kajian analisis manfaat dan kerugian.”APP wajib menjelaskan kapasitas produksi pulp.” Juga perlu verifikasi rencana pemenuhan pasokan kayu jangka panjang sebelum penerbitan izin usaha pabrik ini.
Pemerintah, harus tegas melarang pengembangan HTI di lahan gambut dan penggunaan kayu rimba campuran dari pembukaan hutan alam.
Kajian independenpun, katanya, perlu dilakukan terhadap kebijakan pemerintah yang selama ini mempromosikan pembangunan pabrik pulp raksasa dan pengembangan HTI. Begitu juga terkait penyelesaian konflik atas konsesi masyarakat setempat.
Saat konfirmasi Asia Pulp and Paper (APP) mengatakan, akuisisi pabrik OKI menjadi rencana ekspansi produksi. Mereka menyatakan, akan menjalankan pengembangan ini dengan bertanggung jawab.
Managing Director of Sustainability (APP, Aida Greenbury menyebutkan, sudah mendapatkan izin produksi pulp kapasitas 2 juta ton pertahun. ”Mulai tahun ini dengan skala produksi rendah, meningkat bertahap sesuai permintaan pasar dan ketersediaan bahan baku.”
Adapun ketersediaan bahan baku, katanya, berdasarkan pemasok APP. ”Kami akan tinjau, pantau produksi dan pasokan. Terus akan menerapkan berbagai komitmen dengan kebijakan konservasi hutan.”
Peningkatan produksi APP secara signifikan, kata Aida, akan mengedepankan dan mementingkan komitmen FCP daripada peningkatan volume produksin.
Dia menjabarkan pencapaian produksi optimal. Pertama, meningkatkan dan efisiensi hasil HTI pemasok dengan peningkatan pengendalian hama dan penyakit menggunakan teknik mekanisasi.
Kedua, penelitian spesies baru bersama Euroconsult Mott MacDonald. Yakni, identifikasi spesies tanaman alternatif yang mampu memberikan hasil lebih baik dan tumbuh di lahan gambut basah.
Ketiga, menggabungkan hutan rakyat dalam rantai pasokan sesuai aturan dan pedoman pemerintah dengan mngadopsi kearifan lokal. Keempat, mencari sumber serpih kayu (woodchips) dari pemasok global.
Kala pasokan tak memenuhi kapasitas produksi, APP akan mempertimbangkan membeli serpih kayu dari pemasok global. Terlebih, sesuai dengan prasyarat dengan kebijakan pengadaan dan pengolahan serat kayu bertanggungjawab.