,

Lima Tahun AgFor Sukses Berdayakan Puluhan Ribu Petani di Sulawesi

Israk tersenyum tersipu. Perempuan yang berprofesi sebagai guru ini awalnya terlihat gugup ketika diminta memberikan kesan dan pengalaman di hadapan peserta dialog yang begitu banyak. Israk adalah satu dari mitra AgFor Sulawesi di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.

“Sebelum adanya pendampingan, kami hanya mengajar di sekolah dan mengurus rumah tangga saja. Setelah proyek AgFor ini datang ternyata bisa mengubah pandangan saya dan sekaligus mengubah penghasilan. Kita dibina membuat pembibitan dalam berkelompok, dan kemudian kami lanjut membuat pembibitan secara pribadi. Hasilnya sekarang lumayan untuk membantu memenuhi kebutuhan kami sehari-hari,” ungkapnya pada acara pertemuan para pihak mitra AgFor Sulawesi, di Hotel Best Western Makassar, minggu kemarin.

Pertemuan para pihak di Makassar ini dihadiri oleh peserta dari berbagai instansi terkait seperti Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel dan Tenggara, Dinas Perkebunan Provinsi Sulsel dan Tenggara, BP4K, Bappeda Provinsi Sulsel dan Tenggara, Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulsel dan Tenggara, berbagai instansi pemerintah lainnya, perwakilan Universitas Hasanuddin, LSM, sektor swasta, dan penerima manfaat proyek AgFor.

Menurut Israk, berkat pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya dari proyek AgFor, ia dan petani pembibit lainnya di Kabupatan Bantaeng kini telah diajak bekerja sama dengan Dinas Pertanian dan BPPT untuk bibit yang dihasilkannya.

“Melalui BKP4, kami mendapat modal untuk membuat pembibitan talas yang kemudian akan dibeli oleh dinas untuk dikembangkan menjadi komoditas ekspor. Lalu kami juga diajarkan juga membuat pupuk organik sehingga mengurangi pengeluaran,” tambahnya.

Israk menilai pengetahuan mengenai kebun campur atau agroforestri memberi manfaat yang begitu banyak bagi dirinya dan petani lain, meski belum semua pengetahuan bertani ini sudah diperoleh dengan baik.

“Kita berharap Pemda bisa melanjutkan apa yang AgFor sudah lakukan ini.”

Agroforestri secara sederhana dapat diartikan sebagai penggabungan pertanian dan kehutanan, di mana pohon yang diinginkan oleh petani dikombinasikan dengan tanaman pangan dan hewan ternak.

Pengalaman yang sama dirasakan oleh Wahyuddin. Ia petani dan sekaligus penyuluh Swadaya di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.

Diakui Wahyuddin, pertama kali dirinya menginjakkan kaki ke di Kabupaten Konawe pada tahun 2011 sebagai transmigran dari Jawa, kondisi lahan yang mereka tempati kering dan gundul.

Pada tahun 2012 AgFor datang memberikan dukungan pada petani seperti sekolah lapang, pembuatan pupuk organik dan mengajak petani studi banding ke daerah yang telah sukses.

Hasilnya mulai dirasakan pada tahun 2014, dimana jika sebelumnya lokasi pembibitan hanya terpusat di satu lokasi, kini sudah tersebar dimiliki oleh seluruh anggota.

“Karena kesuksesan ini, pada 2015 saya diajak BP4K untuk mengelola demplot yang ada di kantor mereka. Di sana ada gedung yang disiapkan sebagai Pusat Informasi Agroforestri dimana orang bisa juga bisa melihat demplot langsung,” katanya.

AgFor juga mengembangkan tata kelola hutan yang baik (good forest governance) melalui menajemen Kolaborasi dan Strategi penghidupan berwawasan lingkungan bagi pengelolaan Taman Hutan Raya (Tahura) Nipa-Nipa di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Ini dianggap sebagai solusi konflik. Foto: Wahyu Chandra
AgFor juga mengembangkan tata kelola hutan yang baik (good forest governance) melalui menajemen Kolaborasi dan Strategi penghidupan berwawasan lingkungan bagi pengelolaan
Taman Hutan Raya (Tahura) Nipa-Nipa di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Ini dianggap sebagai solusi konflik. Foto: Wahyu Chandra

Menurut Amy Lumban Gaol, Communications Coordinator AgFor, proyek yang mereka jalankan ini, yang bertajuk ‘Agroforestri dan Kehutanan di Sulawesi: Menghubungkan Pengetahuan dengan Tindakan’ merupakan proyek lima tahun yang didukung oleh Departemen Luar Negeri, Perdagangan, dan Pembangunan Kanada.

“Melalui proyek AgFor, World Agroforestry Centre atau ICRAF mendukung usaha Pemerintah Indonesia dalam menemukan solusi berkelanjutan di sektor pertanian dan kehutanan. Kedua sektor ini menghasilkan bahan pangan, bahan baku, pengaturan iklim, dan penghidupan untuk masyarakat Indonesia dan dunia,” ungkapnya.

Wilayah kerja proyek AgFor di Sulawesi Selatan mencakup Kabupaten Bantaeng, Bulukumba, Jeneponto, dan Gowa. Sementara di Sulawesi Tenggara meliputi Kabupaten Kolaka Timur, Konawe, Konawe Selatan, dan Kota Kendari. Sedangkan di Provinsi Gorontalo, bekerja di Kabupaten Boalemo dan Gorontalo.

“Di 10 kabupaten ini, AgFor bekerja untuk dapat meningkatkan mata pencaharian yang lebih adil dan berkelanjutan bagi masyarakat pedesaan di Sulawesi,” tambah Amy.

Menurut Amy, selama  lima tahun ini, AgFor telah memfasilitasi 23.964 orang (35% perempuan), melalui berbagai lokakarya dan pelatihan mengenai pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan, membangun 491 kebun contoh sistem agroforestri yang melibatkan 2.417 petani (36% perempuan).

Proyek ini juga membantu petani mendirikan lebih dari 286 pembibitan pohon yang memproduksi lebih dari 1.338.976 bibit dan melatih 1661 orang petani (35% perempuan) untuk memasarkan produk mereka secara lebih baik.

“Kini sebanyak 366.137 petani mendapatkan akses yang lebih mudah untuk mendapatkan bibit pohon yang berkualitas.”

Terkait capaian tersebut, James M. Roshetko, pimpinan proyek AgFor Sulawesi merasa puas dan bersyukur karena usaha mereka telah melampaui target.

“Angka capaian ini melampaui target yang ditetapkan. Atas nama tim AgFor, saya berterima kasih kepada semua pihak yang terlibat dan telah sangat membantu dalam pelaksanaan proyek ini sejak tahun 2012, atas kerja keras dan komitmen yang tulus kepada kami,” katanya.

 Sinergitas dengan Pemerintah

Manfaat keberadaan AgFor ternyata tidak hanya dirasakan petani. Pihak pemerintah pun merasakan banyaknya manfaat proyek ini dalam mendukung proyek mereka.

Menurut Muhammad Akbar, dari Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Konawe, hal paling penting dirasakan dengan kehadiran AgFor adalah dalam hal merubah mindset serta adanya pertukaran pengetahuan antar petani. Ia juga mengakui sinergitas antar AgFor dan pemerintah selama ini terjalin dengan sangat baik.

“BP4K Konawe kini mencoba merangkul para petani hutan dengan membentuk Kawasan Rumah Pangan Lestari yang bertujuan meningkatkan pendapatan harian petani melalui usaha peternakan ayam dan pertanian sayuran organik,” katanya.

Manfaat keberadaan AgFor di Sulawesi ternyata tidak hanya dirasakan petani. Pihak pemerintah pun merasakan banyaknya manfaat proyek ini dalam mendukung proyek mereka. Terdapat sinergi antara pihak AgFor, masyarakat penerima manfaat dan pemerintah. Foto: Wahyu Chandra
Manfaat keberadaan AgFor di Sulawesi ternyata tidak hanya dirasakan petani. Pihak pemerintah pun merasakan banyaknya manfaat proyek ini dalam mendukung proyek mereka. Terdapat sinergi antara pihak AgFor, masyarakat penerima manfaat dan pemerintah. Foto: Wahyu Chandra

Misbawati A. Wawo, Kepala Dinas Kehutatan dan Perkebunan Kabupaten Bulukumba, menilai proyek AgFor sangat membantu proyek pembangunan di Kabupaten Bulukumba.

Salah satu prestasi yang dihasilkan dari kerjasama Pemda Bulukumba dan AgFor adalah terkait Perda Masyarakat Adat Kajang.

“Perda ini sudah lama digagas tapi tak jadi-jadi. Tapi berkat kerjasama dengan AgFor, kami bisa menginsiasi lahirnya Perda ini yang merupakan Perda terlama dan termahal yang pernah kami hasilkan. Butuh 2 tahun lebih bekerjasama dengan berbagai pihak dan sampai sekarang kami masih membutuhkan bantuan AgFor untuk mempercepat SK Hutan Adat Kajang,” tambahnya.

Misbawati juga mengakui peran AgFor dalam memberikan dukungan pembibitan dan pendampingan langsung kepada petani.

“Selama ini kami hanya memberikan bantuan bibit tanpa adanya pendampingan tetapi di AgFor memberikan dampingan dan itu sangat luar biasa yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah untuk membina baik petani laki-laki maupun perempuan. Untuk perencanaan kami juga belajar bagaimana menggunakan prinsip partisipatif.”

Secara pribadi, Misbawati mengakui memperoleh banyak hal dari kegiatan AgFor, khususnya terkait manajemen pelaksanaan proyek yang sistematis dan terukur.

“Kami akhirnya tahu bahwa ternyata setiap ada kegiatan harus dikaji dulu, identifikasi potensi dan identifikasi orang-orang terlibat. Ini menjadi pembelajaran buat kami dari pemerintah untuk bekerja secara terarah, terkordinir dan punya rencana. Itulah yang kami dapatkan selama bekerjasama dengan AgFor.”

Terkait upaya menggali potensi dan imbal jasa lingkungan, Pemda Bulukumba bersama AgFor telah membuat kelompok mikrohidro, sehingga masyarakat bisa menikmati penerangan dengan menggunakan energi air.

Meski demikian, Misbawati mengakui masih banyak tantangan yang mereka hadapi selama ini, khususnya terkait kemitraan Pemda dan AgFor dan pelaksanaan proyek.

“Tidak semua SKPD menggunakan prinsip partisipatif sehingga ketika diajak berdiskusi dengan AgFor mereka merasa sangat lama. Selain itu kalau ada kegiatan, banyak yang tidak terlibat karena tidak ada uang setelah pertemuan. Itulah yang menjadi tantangan kami.”

Ia berharap proyek AgFor di Sulawesi ini bisa menjadi contoh nasional dari kerjasama yang efektif antara masyarakat, pemerintah daerah dan peneliti atau lembaga atau organisasi pelaksana.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,