,

Harapan Baru Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Negeri

Perlindungan nelayan Indonesia memasuki babak baru setelah pengesahan UU No 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garampada 14 April 2016.

Kabid Pengembang Hukum dan Pembelaan Nelayan Kesatuan nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Martin Hadiwinata mengatakan, soal kelembagaan termasuk anggaran, pendekatan harus lintas sektor, tak hanya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Juga harus ada upaya segera Presiden dengan menginstruksikan untuk implementasi UU ini. “UU ini tak akan operasional jika peraturan turunan tak dipastikan terbit,” katanya, baru-baru ini.

Pemerintah daerah, katanya, perlu segera memahami dan mendorong DPRD mengoperasikan UU ini dalam perda masing-masing daerah. Lalu, penguatan kelembagaan organisasi nelayan sebagai motor utama pengawas UU.

“UU ini mewajibkan pemerintah pusat dan daerah merencanakan ruang kehidupan dan akses kepada nelayan kecil, tradisional, pembudidaya ikan dan petambak garam kecil.”

Klausul ini, katanya,  sekaligus menjawab urgensi penghentian praktik ugal-ugalan reklamasi pantai di seluruh perairan Indonesia yang sengaja menimbun penangkapan ikan nelayan dan menutup akses mereka melaut.

Selain itu, penting juga akses terhadap Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan untuk nelayan kecil. Asuransi ini ditanggung negara. Juga BPJS ketenagakerjaan buruh (anak buah kapal), biaya asuransi ditanggung perusahaan atau pemilk kapal. “Dengan UU pengesahan ini diharapkan bisa memberi manfaat dan kesejahteraan nelayan,” katanya.

Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim mengatakan, selama ini sulit bagi nelayan, termasuk di pesisir Pantura Jawa dapat asuransi, jaminan kesejehteraan dan perlindungan. Setiap tahun, nelayan hilang dan meninggal di laut terus meningkat.

Sejak 2013, Kiara konsisten mendorong pemerintah memberi jaminan kesejahteraan dan perlindungan nelayan. Pada 2015, KKP memiliki program Rp250 miliar asuransi nelayan diambil dari APBN.

Catatan Kiara, ada sejumlah persoalan dihadapi nelayan Jawa Tengah, seperti reklamasi pesisir untuk pemukiman mewah. Bersamaan juga membangun jalan tol sepanjang pesisir utara Jateng. Jika berjalan maka pesisir utara Jateng bakal mengalami kehancuran permanen. Ada juga tambang pasir besi di Jepara dan menghancurkan pesisir dan mata pencaharian masyarakat. Juga pembangungan PLTU Batang.

“Ketiga persoalan ini refleksi paradigma pembangunan bias daratan, minus kesadaran ekologis. Hanya beriorientasi keuntungan sesaat bagi segelintir orang dan mengorbankan nelayan,” kata Halim.

Persoalan lain Jateng, belum ada perda zonasi, namun tiba-tiba sudah dibangun industri di pesisir. Kapal-kapal nelayan tradisional juga sering ditabrak perahu besar. Pelanggaran ini, katanya,  kerap dibiarkan.

Belum lagi soal pengakuan kepada nelayan perempuan minim secara politik padahal peran mereka sangat besar.

Kiara berpandangan, pengesahan UU ini mestinya kemenangan bagi masyarakat nelayan. Namun, katanya,  untuk skema perlindungan dan pemberdayaan perempuan nelayan masih perlu perjuangan.

Petambak garam di Pantura tidak mendapatkan harga jual garam yang jelas, sehingga tak jarang mereka merugi. Foto: Tommy Apriando
Petambak garam di Pantura tidak mendapatkan harga jual garam yang jelas, sehingga tak jarang mereka merugi. Foto: Tommy Apriando

Kesejahteraan nelayan?

Halim mengatakan, setidaknya lebih 20 proyek reklamasi mengatasnamakan kesejahteraan masyarakat merampas ruang hidup masyarakat pesisir. Dalam konsultasi ataupun proses pembuatan kebijakan, pelibatan masyarakat pesisir minim. Padahal, mereka paling terdampak “Ruang penghidupan terampas. Kerugian materiil dan immateriil dirasakan. Kehilangan akses laut. Kondisi ini diperburuk konflik horizontal pasca proyek-proyek datang.”

Kiara menilai, pembangunan harus mempertimbangkan banyak faktor. Pertama, pembangunan proyek untuk siapa dan apakah ada dampak negatif bagi masyarkat pesisir. Kedua, negara harus mampu memastikan pelibatan masyarakat dari awal perencanaan sampai implementasi. Ketiga, pembangunan atau proyek tak cacat hukum, alias izin jelas dan mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Keempat, pembangunan harus ramah gender dan mempertimbangkan kebutuhan kaum rentan seperti anak-anak, lansia, perempuan, dan penyandang cacat.

“Pengesahan UU ini jadi momentum negara hadir menjamin masyarakat pesisir terlindungi dari perampasan ruang hidup dan memastikan kesejahteraan masyarakat pesisir.”

Atma Khikmi dari Lembaga Bantuan Hukum Semarang mengatakan, perlindungan nelayan belum jelas karena UU baru disahkan, masih perlu aturan pelaksana.

Beragam ‘pembangunan’ berbuntut ancaman bagi pesisir Jateng, dari tambang pasir besi sampai reklamasi. Ia berpotensi merusak lingkungan dan mengancam mangrove seperti di Desa Tapak, Semarang. Dia menilai, pemda belum berpihak pada nelayan.

Data LBH Semarang sepanjang 2015, ada beberapa kasus pencemaran dn perusakan pesisir dan laut terjadi di berbagai daerah, seperti di Jepara, sudah ada PLTU bahkan akan diperluas. Juga pertambangan pasir besi mengancam nelayan Jepara, rencana reklamasi di Desa Tapak, Tugu, yang mengancam kelestarian mangrove.

Indonesia,  negara kepulauan, lebih dari 13.487 pulau, dua pertiga perairan yang memiliki keragaman hayati melimpah.  Luas laut mencapai 3.257.483 km persegi. Indonesia tercatat memiliki garis pantai 95.181 km, menjadikan negara ini memiliki garis pantai terpanjang ke empat dunia.

“Kondisi ini tak dibarengi kesejahteraan yang seharusnya dimiliki nelayan. Kebijakan-kebijakan yang melindungi pelestarian lingkungan khusus pesisir dan laut Jawa,” kata Much Arifin, warga Desa Tapak,  Pesisir Semarang.

Dia meminta, pemerintah menyelesaikan berbagai kasus dan konflik wilayah laut-pesisir dan masyarakat nelayan. “Dengan memperjelas pengaturan berkaitan zonasi wilayah pesisir dan mempercepat pelaksanaan UU ini,” katanya.

kan segar tangkapan nelayan belum memiliki nilai jual yang baik dibeberapa TPI, sehingga perlu sosialisasi dan peran negara. Foto: Tommy Apriando
kan segar tangkapan nelayan belum memiliki nilai jual yang baik dibeberapa TPI, sehingga perlu sosialisasi dan peran negara. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh